Breaking News

Kamis, 26 September 2019

SAAT TURUN SUJUD, TANGAN DULU ATAU LUTUT DULU?


Oleh : Abi Aufa

Bagian I
Mungkin diantara kita masih ada yang bingung saat kita hendak turun kepada sujud, manakah yang harus didahulukan,tangan dulu atau lutut dulu?

Langsung saja kita liat penjelasan ulama yang diakui seluruh umat islam, tanpa sok merasa paling pintar terhadap Al-Quran dan Hadits, karena para ulama sangat paham terhadap dalil2 syariat dibandingkan kita.

1.    Imam Nawawi
Di dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab beliau menjelaskan

مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُقَدِّمَ فِي السُّجُودِ الرُّكْبَتَيْنِ ثُمَّ الْيَدَيْنِ ثُمَّ الْجَبْهَةَ وَالْأَنْفَ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَالْخَطَّابِيُّ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَحَكَاهُ أَيْضًا الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ عَنْ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَالنَّخَعِيُّ وَمُسْلِمُ بْنُ بشار وسفيان الثوري واحمد واسحق وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ قَالَ وَبِهِ أَقُولُ
(المجموع شرح المهذب 3/421)

Mazhab kami (Imam Asy-Syafi’i) berpendapat, “Dianjurkan meletakkan kedua lutut terlebih dahulu ketika sujud, setelah itu kedua tangan, lalu dahi dan diakhiri hidung”.

At-Tirmidzi dan Al Khatthabiy berkata : “Inilah yang dikemukakan oleh sebagian besar ulama”.

Al-Qadhi Abu At-Thayyib juga meriwayatkan pendapat ini dari para Fuqaha secara keseluruhan.

Ibnu Al-Mundziri meriwayatkannya dari Umar bin khatthab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, An-Nakha’i, Muslim bin basyar, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq dan kalangan ahli ra’yi.
Ibnu Al-Mundziri berkata : “Inilah pendapatku”.
(Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab 3/421)

Bahkan untuk menguatkan pendapat ini imam Nawawi membawakan perkataan Al Khatthabiy, yaitu ;

وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ هُوَ أَثْبَتُ مِنْ حَدِيثِ تَقْدِيمِ الْيَدَيْنِ وَهُوَ أَرْفَقُ بِالْمُصَلِّي وأحسن في الشكل ورأى العين
(المجموع شرح المهذب 3/421)

Telah berkata Al Khatthabiy, “(hadits yang mendahulukan lutut) ini lebih kuat dari hadits yang mendahulukan kedua tangan, dan cara ini lebih bagus untuk orang yang shalat, lebih indah bentuknya dan lebih asri untuk dipandang.
(Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab 3/421)

Bersambung...


Read more ...

BERSEDEKAP DI DADA KETIKA SHALAT, TASYABBUHKAH?

Oleh : Abi Aufa

Menjawab judul diatas jujur gak berani, tetapi ada ulama yang menyinggung masalah ini di dalam kitabnya...

Gak mau berlama² langsung aja kita liat kitab Ibnu Qayyim al Jauziyyah salah seorang murid Ibnu Taimiyah

روى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه نهي عن التكفير وهو وضع اليد على الصدر
(بدائع الفوائد ج ٣ ص ٩١)

Telah ada riwayat dari Nabi yang menyebutkan bahwa beliau melarang takfir; yaitu melarang meletakkan kedua tangan persis diatas dada.
(Bada’i al-Fawaid karya Ibnu Qoyyim al-Jauziyah)

Nah ayo...itu kitabnya ibnu qayyim lo,  bukan kitabnya ulama aswaja

Bagi yang ingin mendownload versi pdf silahkan klik tautan dibawah dan baca hal 982-983

Bada'i al-Fawaid Karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah


Dan biasanya kalau sudah seperti itu, tetangga sebelah suka bawa² hadits untuk melegalkan tuduhannya, diantaranya yang terkenal

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى

“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai kaum selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi, juga Nashrani."
(HR. Tirmidzi)

Masih ada satu lagi hadits pamungkasnya, yaitu

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”
(HR Abu Dawud)

Udah itu aja😊😊😊


Note :
Video lengkapnya bisa dilihat
Cara Beribadahnya orang Yahudi

Read more ...

Minggu, 28 Juli 2019

Tata cara shalat menurut mazhab Syafi'i

Beginilah tata cara shalat menurut mazhab Syafi'i dan tentunya sudah sangat sesuai banget dengan Al Quran dan Sunnah



Read more ...

Kamis, 25 Juli 2019

SYAIR ABU NAWAS YANG MENJADI SEBAB PENGAMPUNANNYA

Ada satu kisah yang menganggumkan sebelum wafatnya Abu Nuwas, kononnya Abu Nawas sempat menulis untaian syair di secarik kertas, lalu diletakkan di bawah bantal.

Berikut bunyi untaian syairnya :

يا رَبِّ إِن عَظُمَت ذُنوبي كَثرَةً
فَلَقَد عَلِمتُ بِأَنَّ عَفوَكَ أَعظَمُ

"Duhai Tuhan, walau dosaku sangatlah banyak,
saya yakin kemaafan-Mu lebih banyak".

إِن كانَ لا يَرجوكَ إِلّا مُحسِنٌ
فَبِمَن يَلوذُ وَيَستَجيرُ المُجرِمُ

"Jika yang berharap pada-Mu cuma orang baik saja,
maka pada siapa lagi orang jahat bisa berlindung?".

أَدعوكَ رَبِّ كَما أَمَرتَ تَضَرُّعاً
فَإِذا رَدَدتَ يَدي فَمَن ذا يَرحَمُ

"Aku meminta pada-Mu dengan tulus seperti yang diperintahkan. Bila Engkau tolak tanganku, maka siapa lagi yang bisa memberikan rahmat?".

ما لي إِلَيكَ وَسيلَةٌ إِلا الرَجا
وَجَميلُ عَفوِكَ ثُمَّ أَنّي مُسلِمُ

"Cuma rasa harap, kemaafan-Mu yang cantik dan beragama Islam, yang Aku punya untuk menghadap-Mu".

Menurut mimpi rekannya, beliau mendapatkan ampunan Allah سبحانه وتعالى berkat untaian syair yang dibuatnya itu.

Dan jika kisah ini benar, maka tentu itu bukan semata-mata karena menulis syair tersebut, tapi karena untaian syair itu adalah curahan isi hatinya kepada Allah سبحانه وتعالى. Ungkapan jiwa dan keyakinannya saat itu.

Ya Rabb, untaian syair beliau ini juga curhatan isi hati kami, ungkapan jiwa dan keyakinan hamba-Mu yang lemah ini.🤲😢
Read more ...

Kamis, 11 Juli 2019

BENARKAH IMAM SYAFI'I رحمه الله تعالى MEMBENCI / MENCELA SUFI (TASAWWUF)???


Bagian II

Sebelumnya kita sudah membahas 1 perkataan imam syafi'i yang dipotong oleh para SaWah (salafi palsu/wahabi) untuk menolak ajaran tassawwuf. Kali ini saya akan lanjutkan kembali perkataan imam syafi'i yang dipahami secara serampangan.

Mereka mengutip perkataan imam syafi'i di dalam kitab "manaqib Syafi'i karya imam al Baihaqi"

سمعت أبا عبد الله الرازي يقول: سمعت إبراهيم بن المولد يحكي عن الشافعي أنه قال: لا يكون الصوفي صوفيا حتى يكون فيه أربع خصال: كَسُولٌ أكُول، نئوم، كثير الفضول.
(مناقب الشافعي للبيهقي ٢/٢٠٧)

Aku telah mendengar Abu Abdillah ar-Razi berkata: Aku telah mendengar Ibrahim ibn al Mawlid berkata dalam meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i: “Seseorang tidak akan menjadi sufi hingga terkumpul pada dirinya empat perkara; pemalas, tukang makan, tukang tidur, dan tukang berlebihan”.
(Manaqib asy-Syafi'i karya imam al Baihaqi Juz 2 hal 207)

Lagi² mereka yang menolak tasawwuf dengan mencukupkan perkataan imam syafi'i hanya sampai disini tanpa mau menerima penjelasan imam al Baihaqi sang pembawa berita yang pastinya lebih mengerti maksud perkataan imam syafi'i karena beliau salah satu ulama mazhab syafi'i yang membela pendapat imam mazhabnya dari pemahaman orang² yang keliru.

Agar tidak gagal paham, mari kita melihat penjelasan imam al Baihaqi mengenai penolakan sang imam terhadap ahli sufi (tasawwuf) masih dikitab yang sama dan halaman yang sama

وإنما أراد به ذمّ من يكون منهم بهذه الصفة، فأمّا من صفا منهم في الصّوفية بصدق التوكل على الله عز وجل، واستعمال آداب الشريعة في معاملته مع الله عز وجل في العبادة، ومعاملته مع الناس في العشرة – فقد حُكِيَ عنه أنه عاشرهم وأخذ عنهم.
(مناقب الشافعي للبيهقي -٢٠٨ ٢/٢٠٧)

Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini (sifat yang telah disebutkan diatas). Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam mu’amalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.
(Manaqib asy-Syafi'i karya imam al Baihaqi Juz 2 hal 207 - 208)




Nah dengan begitu, sudah sangat jelas kalau imam syafi'i tidak menolak ahli sufi (tasawwuf) secara mutlak, karena dilain waktu beliau juga ada memuji para ahli sufi sesuai keterangan diatas (bagian I).

Sekarang kita akan lihat, siapakah imam al Baihaqi sang pengarang kitab diatas dan kenapa kita harus mengikuti penjelasan imam al Baihaqi untuk mengetahui maksud imam syafi'i sebenarnya...
Mari kita melihat perkataan Imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya siyar a'lam an nubala :

وَلَوْ شَاءَ البَيْهَقِيّ أَنْ يَعمل لِنَفْسِهِ مَذْهَباً يَجتهد فِيْهِ؛ لَكَانَ قَادِراً عَلَى ذَلِكَ، لسعَة علُوْمه، وَمَعْرِفَته بِالاخْتِلاَف، وَلِهَذَا ترَاهُ يُلوِّح بِنَصْر مَسَائِل مِمَّا صَحَّ فِيْهَا الحَدِيْثُ
(سير أعلام النبلاء ١٨/١٦٩)

“Seandainya Al-Baihaqi mau membuat madzhab untuk dirinya di mana dia berijtihad, niscaya dia mampu melakukannya karena keluasan ilmu dan pengetahuannya tentang perselisihan ulama. Karena itu, kalian melihatnya membela permasalahan-permasalahan yang didukung oleh hadis sahih.”
(Siyar A’lam An-Nubala 18/169)




Yang ingin mendownload kita Siyar A'lam nya imam adz-dzahabi diatas silahkan klik tautan dibawah

Siyar A'lam An Nubala Juz 18

Jadi dalam hal ini sangat jelas imam Adz-Dzahabi sendiri mengakui keilmuan imam al Baihaqi dan mengatakan membela mazhab imam Syafi'i yang didukung oleh hadits² shahih.

Jadi jangan sok pintar memahami sendiri perkataan imam syafi'i tanpa mengikuti pemahaman dari murid² dan ulama² syafi'iyyah yang muktabarah dan lebih parahnya lagi mereka malah anti mazhab tapi sok paham maksud dari perkataan imam mazhab.
Read more ...

Rabu, 10 Juli 2019

BENARKAH IMAM SYAFI'I رحمه الله تعالى MEMBENCI / MENCELA SUFI (TASAWWUF)???



Bagian I

Kalau kita membaca tulisannya para SaWah (salafi palsu/wahabi) mengenai tasawwuf, maka yang kita dapati adalah imam Syafi'i sangat membenci para sufi (orang yang mendalami ilmu tasawwuf)...

Mereka mengutip perkataan imam Syafi'i :


لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَـصَوَّفَ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ لَمْ يَأْتِ عَلَيْهِ الظُّهْرُ إِلاَّ وَجَدْتَـهُ أَحْمَقَ
(مناقب الشافعي ٢٠٧/٢)

“Kalau ada orang menjadi Sufi di pagi hari, maka tidaklah datang waktu Zhuhur kecuali orang tersebut akan engkau jumpai menjadi manusia yang dungu”.
(Manaqib Syafi’i karya Imam al-Baihaqi 2/207).

Kalau membaca perkataan imam Syafi'i sampai disini saja, memang akan terkesan imam Syafi'i membenci tasawwuf secara mutlak, tetapi jika kita jujur dan ingin mencari kebenaran kita akan melihat perkataan imam syafi'i yang lain malah memuji seorang sufi yang bernama Muslim al-Khawwash.

Mari kita perhatikan kelanjutan teks diatas masih di kitab dan halaman yang sama

سمعت الشافعي يقول: ما رأيت صوفيا قطّ إلا مسلم الخَوَّاص
(مناقب الشافعي ٢٠٧/٢)

Aku telah mendengar asy-Syafi'i berkata:
“Aku tidak pernah melihat seorang yang benar² sufi kecuali Muslim al-Khawwash “.
(Manaqib Syafi’i karya Imam al-Baihaqi 2/207).

Ketika melihat dua perkataan imam Syafi'i diatas seakan² saling bertentangan antara dua perkataan beliau diatas.



Tapi jangan khawatir masih dikitab yang sama dan halaman yang sama imam baihaqi asy-Syafi'i menjelaskan lebih lanjut maksud celaan imam syafi'i terhadapa tasawwuf.

قلت: وإنما أراد به من دخل في الصوفية واكتفى بالاسم عن المعنى، وبالرسم عن الحقيقة، وقعد عن الكسب، وألقى مؤنته على المسلمين، ولم يبال بهم، ولم يرع حقوقهم، ولم يشتغل بعلم ولا عبادة، كما وصفه في موضع آخر.

 (مناقب الشافعي ٢٠٧/٢)

Aku (al-Baihaqi) katakan: “ Sesungguhnya yang dimaksud oleh Imam Syafi’i : adalah orang yang masuk dalam kalangan sufi yang hanya mencukupkan dengan “nama” saja sementara dia tidak paham makna intinya, dia hanya mementingkan catatan tanpa mendalami hakekatnya, hanya duduk dan tidak mau berusaha, ia menyerahkan biaya hidup dirinya ke tangan kaum muslimin, sementara dia tidak peduli dengan mereka, tidak pernah menyibukkan diri dengan mencari ilmu dan ibadah”, Sebagaimana maksud ucapan Imam Syafi’i ini ia ungkapkan dalam riwayat lainnya.
(Manaqib Syafi’i karya Imam al-Baihaqi 2/207)

Jadi setelah kita perhatikan penjelasan diatas, sebenarnya imam syafi'i tidak membenci/mencela sufi (tasawwuf), hanya saja yang beliau tolak adalah sufi yang pemalas, baik dalam perkara dunia apalagi dalam perkara akhirat yaitu menuntut ilmu dan ibadah....

Yang ingin mendownload kitab manaqib imam syafi'i juz 2 diatas silahkan klik tautan dibawah
Manaqib Asy-Syafi'i Lil Baihaqi

Bersambung...
Oleh : Abi Aufa
Read more ...

Selasa, 02 Juli 2019

ULAMA SALAF MENJAWAB PERTANYAAN DIMANA ALLAH




Imam Yahya Bin Mua'dz Ar-Radzi (W 258 H) salah seorang imamnya para salaf, pernah ditanya seseorang mengenai dimana Allah, mari kita lihat jawaban beliau

َأَخْبَرَنَا مُحَمَّد بْن الْحُسَيْن رحمه اللَّه تعالى ، قَالَ : سمعت عَبْد الْوَاحِد بْن بَكْر يَقُول : حَدَّثَنِي أَحْمَد بْن مُحَمَّد بْن عَلِي البردعي ،  قَالَ : حَدَّثَنَا طاهر بْن إِسْمَاعِيل الرازي قَالَ : قيل ليحيى بْن معاذ : أخبرني عَنِ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ .

فَقَالَ : إِلَه واحد.

فقيل لَهُ : كَيْفَ هُوَ ؟

فَقَالَ : ملك قادر.

فقيل : أين هُوَ ؟

فَقَالَ : هُوَ بالمرصاد.

فَقَالَ السائل : لَمْ أسألك عَن هَذَا.

فَقَالَ : مَا كَانَ غَيْر هَذَا كَانَ صفة المخلوق فأما صفته فَمَا أخبرتك عَنْهُ.
(الرسالة القشيرية في علم التصوف ٣٣-٣٤)




Imam Yahya bin Muadz ar Radzi رضي الله عنه pernah ditanya : kabarkan kepada ku tentang Allah...
Maka dijawab : Allah itu adalah Tuhan yang Esa.

Maka ditanyakan kembali kepada Yahya bin Muadz ar Radzi, bagaimanakah keadaanNya?
Maka dijawab : Allah itu yang maha memiliki lagi maha kuasa.

Maka ditanyakan kembali, dimanakah Allah?
Maka dijawab : Allah itu maha melihat terhadap segala perbuatan kita

Maka orang yang bertanya tersebut menyanggah : Aku tidak menanyakan engkau tentang itu. (si penanya yang awam bertanya mengenai tempatnya Allah dan berharap sang imam menjawab secara jelas dimanakah tempat Allah)

Maka dijawab kembali oleh Yahya bin Muadz ar Radzi : "Selain apa yang saya jawab tentang pertanyaan itu adalah sifat makhluk, sedangkan sifat Allah ta'ala maka itulah jawaban yang telah aku sampaikan tadi."
(Ar-Risalah al Qusyairiyyah hal 33 - 34)

Yang ingin mendownload kitab diatas silahkan klik tautan dibawah
Ar-Risalah al Qusyairiyyah

Perhatikan jawaban dari imam Yahya bin Muadz ar Radzi ketika ditanya dimana Allah, beliau tidak menjawab Allah dilangit, karena itu menunjukkan tempat, sehingga bisa serupa dengan sifatnya makhluk.

Abi Aufa
Read more ...

Rabu, 29 Mei 2019

FATWA MUBAZIR ALBANI YANG TIDAK MAU DIPAKAI PARA SEKTE SAWAH (SALAFI PALSU/WAHABI) DI INDONESIA

Membaca judul diatas mungkin ada yang bertanya² emang ada ya???

Jawabannya tentu saja ada...

Ok tanpa memperpanjang lagi langsung saja kita lihat mana fatwa mubazir albani yang tidak mau dipakai oleh pengikutnya di Indonesia.

Telah sama² kita ketahui, pelaksanaan ibadah tarawih yang dilakukan oleh para SaWah di Indonesia setiap malamnya pasti diselingi dengan ceramah singkat, baik dilakukan sebelum maupun setelahnya.

Tapi tahukah anda wahai para SaWah (salafi palsu/wahabi), ceramah yang kalian lakukan itu dianggap oleh muhaddits kalian albani sebagai bid'ah yang wajib ditinggalkan...

Gak percaya???

Mari saya sampaikan buktinya...






Terdapat didalam kitab "al Mausuah al Fiqhiyah al Muyassarah" seorang murid senior al bani yang juga dianggap ahli hadits bernama Husain Al-Awaysyah menukil perkataan albani di dalam kitabnya, yaitu;

سألت شيخنا- رحمه الله- عن هذا.

Husain al Awaisah mengatakan, “Kutanyakan hal ini (pengajian dalam kegiatan I’tikaf- kepada guru kami, al Albani”.)

فقال: الاعتكاف عبادة محضة فنحن لا نري هذا كما ننكر على الأئمة في شهر رمضان من فصلهم الصلاة وإنشاء استراحة تتخللها موعظة أو درس.
وهذا كقول القائل: تقبل الله لمن صلي فهذه زيادة لم تكن في عهد النبي- صلي الله عليه وسلم- ولا السلف

Maka albani menjawab :“I’tikaf adalah ritual ibadah sehingga kami tidak setuju dengan kegiatan ini sebagaimana kami mengingkari para imam masjid yang ketika di bulan Ramadhan membuat jeda diantara rakaat tarawih untuk istirahat yang cukup lama yang diisi dengan kultum atau pengajian.

Tambahan dalam ibadah semacam ini tidak jauh beda dengan ucapan ‘taqabbalallahu’ kepada orang yang baru saja selesai mengerjakan shalat.

Ini semua adalah tambahan yang tidak ada di masa Nabi tidak pula di masa salaf”
(al Mausuah al Fiqhiyah al Muyassarah jilid 3 hal 358)

Yang ingin mendownload silahkan klik tautan dibawah

al Mausuah al Fiqhiyah al Muyassarah jilid 3

Jadi kalau kalian para SaWah (salafi palsu/wahabi) masih mengakui keilmuan albani, maka mulai sekarang kalian harus meninggalkan ceramah tarawih selama ramadhan karena hal itu tidak pernah dilakukan Nabi juga para ulama salaf.

Ingat ini bukan kami aswaja yang menyampaikan tapi albani...

Ayo para SaWah (salafi palsu/wahabi) berani kalian membangkang albani??? 😁😁😁

✍ Abi Aufa
Read more ...

MELAFAZKAN NIAT.., SIAPA TAKUT?

Bagian IV (Tamat)

Kalau sebelumnya kita telah berwisata kekitabnya para ulama 3 mazhab, maka tinggal satu mazhab lagi yang belum kita kunjungi yaitu mazhab Hanbali, apakah mazhab ini menolak untuk melafazkan niat???
Yuk langsung saja kita cek ke kitabnya ulama mazhab Hanbali.

4. Mazhab Hanbali
Saya akan coba membawakan 3 ulama pakar dalam mazhab Hanbali

1⃣  Al-Imam al-Mardawi al-Hanbali (w 885 H)
Beliau mengatakan di dalam kitabnya al inshaf :

يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ بِهَا سِرًّا، وَهُوَ الْمَذْهَبُ ،... قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: هُوَ الْأَوْلَى عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ
(الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف ١/١٤٢)

“Disunahkan melafazkan niat secara sirr (pelan) dan ini adalah pendapat madzhab (Hanbali), berkata al-Imam az-Zarkasyi al-Hanbali (w 794 H)  : Pendapat ini adalah pendapat yang paling utama menurut mayoritas mutaakhirin (ulama Hanbali).”
(Al-Inshaf 1/142)

Yang ingin mendownload versi pdfnya silahkan klik tautan dibawah

Al-Inshaf

2⃣ Ibnu Qudamah (w 620 H),
salah seorang ulama yang fatwanya menjadi rujukan di dalam mazhab madzhab Hanbali  menyebutkan dalam kitab al-Mughni:

وَمَعْنَى النِيَّةِ الْقَصْدُ وَمَحَلُهَا الْقَلْبُ وَإِنْ لَفَظَ بِمَا نَوَاهُ كَانَ تَأْكِيْداً
(المغني لابن قدامة ١/٣٣٦)

Arti niat adalah berkeinginan, tempatnya di dalam hati, dan jika seseorang melafalkan apa yang ia niatkan, maka itu sebagai penguat.
(al-Mughni, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi, 1/336 versi maktabah).

3⃣ al-Imam al-Buhuti al-Hanbali (w 1051 H)
Ketika beliau mengomentari perkataan Abu Naja al-Hanbali (w 968 H) Imam al-Buhuti mengatakan :

(وَاسْتَحَبَّهُ) أَيْ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ (سِرًّا مَعَ الْقَلْبِ كَثِيرٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ) لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
(كَشَّافُ الْقِنَاعِ عَنْ الْإِقْنَاعِ ١/٨٧)

“Mayoritas ulama mutaakhirin madzhab Hanbali sangat menganjurkan melafadzkan niat karena kesesuaian antara hati dan lisan.
(kisyaf al-Qina' 'an matni al-Iqna' 1/87)

Yang ingin mendownload versi pdf langsung klik tautan dibawah

kisyaf al-Qina' 'an matni al-Iqna'

Nah beginilah pendapatnya para ulama 4 imam mazhab, tidak ada satupun dari mereka yang mencela melafazkan niat dalam ibadah, bahkan mereka semua menganjurkan untuk melafazkan niat sesuai yang telah kita kemukakan.

Nah sekarang pertanyaannya para SaWah (salafi palsu/wahabi) mengambil ilmu darimana dengan gampangnya menghujat amaliah orang yang melafazkan niat dengan tidak mengikuti alquran dan sunnah?
Bahkan ini menjadi dalil kalau para SaWah (salafi palsu/wahabi) tidak memahami alquran dan sunnah sebagaimana yang dipahami para ulama salaf, mereka hanya memahami dengan hawa nafsunya saja, yang penting bisa berbeda dan menghujat amaliah orang lain maka terpuaskanlah nafsu mereka...

Na'udzubillahi mindzalik

Menutup tulisan ini, saya akan bawakan satu pendapat ulama masa kini yang diakui kealimannya sebagai kesimpulan yaitu asy-Syeikh Wahbah az-Zuhaili (w 1436 H), beliau mengatakan :

محل التعيين هو القلب بالاتفاق، ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية، والأولى تركه في صلاة أو غيرها
(الفِقْهُ الإسلاميُّ وأدلَّتُهُ ١/٧٧٣)

Tempatnya niat adalah dihati menurut kesepakatan ulama, sedangkan melafazkannya dengan lisan adalah mandub (dianjurkan) menurut mayoritas ulama selain mazhab Maliki, mazhab Maliki mengatakan : "boleh melafazkan niat tetapi meninggalkannya lebih utama, baik itu dalam shalat maupun lainnya.
(Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuhu 1/773 versi maktabah)

Bagi yang ingin mendownload versi pdf silahkan klik/copas tautan dibawah ini ke browser anda dan silahkan cek pada halaman 613

Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuhu Juz 1

Bagi yang ingin mendownload versi lengkapnya silahkan klik/copas tautan dibawah ke browser anda

Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuhu versi lengkapnya

(Tamat)
✍Abi Aufa
Read more ...

MELAFAZKAN NIAT.., SIAPA TAKUT?

Bagian III


 Pada bagian sebelumnya kita sudah berwisata ke kitabnya ulama hanafiyah, sekarang kita coba berwisata ke kitabnya ulama Malikiyah dan syafi'iyah.

2. Mazhab Maliki
a. Salah seorang ulama madzhab Maliki, Syeikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H) dalam Hasyiyah-nya, beliau mengatakan :

وَالنِّيَّةُ: قَصْدُ الشَّيْءِ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وَجَازَ التَّلَفُّظُ بِهَا وَالْأَوْلَى تَرْكُهُ فِي صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهَا وَهِيَ فَرْضٌ فِي كُلِّ عِبَادَةٍ.
(حاشية الصاوي على الشرح الصغير ١/٣٠٤)

“Niat adalah berkeinginan terhadap sesuatu, tempatnya adalah di dalam hati, diperbolehkan melafazkannya, akan tetapi lebih utama adalah meninggalkanya, baik dalam shalat atau ibadah lainnya, niat hukumnya wajib dalam setiap ibadah.
(Hasyiyah ash-Shawi ‘ala asy-Syarhi ash-Shaghir,  1/304 versi maktabah).

b. Al-‘Allamah ad-Dardir al-Maliki (w 1204 H) menyebutkan dalam kitab asy-Syarhu al-Kabir:

(وَلَفْظُهُ) أَيْ تَلَفُّظُ الْمُصَلِّي بِمَا يُفِيدُ النِّيَّةَ كَأَنْ يَقُولَ نَوَيْتُ صَلَاةَ فَرْضِ الظُّهْرِ مَثَلًا (وَاسِعٌ) أَيْ جَائِزٌ بِمَعْنَى خِلَافِ الْأَوْلَى .وَالْأَوْلَى أَنْ لَا يَتَلَفَّظَ لِأَنَّ النِّيَّةَ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ وَلَا مَدْخَلَ لِلِّسَانِ فِيهَا.
(حاشية الدسوقي على الشرح الكبير

Melafazkannya yaitu pengucapan orang yang hendak shalat dengan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi niat (menguatkan niat) seperti mengucapkan, “Saya berniat shalat fardhu Zhuhur.” Luas yaitu boleh, maksudnya boleh menyelisihi pendapat yang lebih utama. Adapun yang lebih utama adalah tidak melafazkannya (niat), karena niat tempatnya di dalam hati dan tidak ada tempat masuk bagi lisan.
(Syarhu al-Kabir, Ad-Dardir, 233).

Bagi yang ingin mendownload versi pdf silahkan klik tautan dibawah

asy-Syarhu al-Kabir

Perhatikan kedua ulama malikiyah diatas, walaupun dalam pandangan mazhab ini tidak melafazkan niat merupakan hal yang paling utama, tetapi tidak serta merta mereka meremehkan pendapat yang berbeda dengan mazhabnya, bahkan mereka masih tetap membolehkan untuk melafazkan niat.

3. Mazhab Syafi'i
Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi atau lebih dikenal sebagai Imam Nawawi (w 676 H) seorang ulama besar dalam mazhab Syafi'i mengatakan :

النِّيَّةُ الْوَاجِبَةُ فِي الْوُضُوءِ هِيَ النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَلَا يَجِبُ اللَّفْظُ بِاللِّسَانِ مَعَهَا: وَلَا يجزئ وحده وان جمعها فَهُوَ آكَدُ وَأَفْضَلُ هَكَذَا قَالَهُ الْأَصْحَابُ وَاتَّفَقُوا عَلَيْهِ
(المجموع شرح المهذب ١/٣١٦)

“Niat yang wajib ketika berwudhu adalah niat di dalam hati, tidak wajib melafazkannya dengan lisan dan tidak sah bila niat hanya di lisan saja (tanpa ada niat dalam hati), dan apabila niat dalam hati digabung dengan melafazkannya dengan lisan maka itu lebih kuat dan lebih afdhal, seperti inilah pendapat ualma Syafi’i dan mereka sepakat tentang ini.
(Majmu' syarah muhadzdzab 1/316)

Sangat jelas pernyataan imam Nawawi yang mewakili mazhab Syafi'i bahwa mengabungkan antara niat di hati dan melafazkannya adalah lebih afdhal...

Setelah kita membaca pendapat 3 Mazhab dari mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi'i belum kita temui yang mempermasalahkan melafazkan niat....

Nah tinggal satu mazhab lagi yang belum kita bahas yaitu mazhab Hanbali, apakah mazhab ini mempermasalahkannya?

Tunggu jawabannya berikutnya, Insya Allah...

✍Abi Aufa
Read more ...

MELAFAZKAN NIAT.., SIAPA TAKUT?

Bagian II



Hai gaes kalau sebelumnya kita sudah berwisata ke kitab Imam Mujathid mutlak al Imam asy-Syafi'i رحمه الله تعالى.

Untuk lebih memperkuat lagi, kali ini gaes saya bawa berwisata ke kitabnya para ulama mazhab yang empat, biar semakin jelas kalau para SaWah (salafi palsu/wahabi) itu kurang piknik kitabnya para ulama mazhab.

Yuk gaes berangkat... 

1. Mazhab Hanafi
Berkata al-Imam ‘Alau ad-din al-hashfakiy al-Hanafi (w 1088 H) :

والجمع بين نية القلب وفعل اللسان هذه رتبة وسطى بين من سن التلفظ بالنية ومن كرهه لعدم نقله عن السلف
(رد المحتار على الدر المختار ١/٢٥١)

“Menggabungkan niat dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan merupakan posisi yang adil antara pihak yang menjadikannya sunah dan pihak yang memakruhkannya dengan alasan tidak ada contoh dari ulama salaf.”
(Rad al-mukhtar 1/251)





Lihat bagaimana luasnya pemahaman ulama mazhab hanafi, mereka tau dalam hal melafazkan niat telah terjadi khilaf, tetapi bukan sok merasa benar sendiri... pendapat yang berbeda itu malah dipadukan dan dianggap itulah sikap yang adil (pertengahan).

Jauh sebelum itu al-Imam Fakhruddin ‘Utsman az-Zaila’i al-Hanafi (w 743 H) sudah terlebih dahulu mengatakan :

وَأَمَّا التَّلَفُّظُ بِهَا فَلَيْسَ بِشَرْطٍ وَلَكِنْ يَحْسُنُ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ
(تبيين الحقائق شرح كنز الدقائق وحاشية الشِّلْبِيِّ ١/٩٩)

“Adapun melafadzkan niat maka bukan merupakan syarat sah shalat tetapi hal ini bagus dilakukan agar terkumpul azamnya (untuk shalat)”
(Tabyin al-Haqoiq syarh kanzu ad-Daqoiq 1/99)



Yang ingin mendownload versi pdf silahkan klik tautan dibawah


Perhatikan perkataan sang imam diatas, beliau menganggap baik niat yang dilafazkan dengan lidah.
Dengan bukti ini, maka mazhab hanafi pun membolehkan bahkan menganggapnya sesuatu yang baik perbuatan melafazkan niat.

Gimana gaes, masih percaya sama SaWah (salafi palsu/wahabi) yang suka memecah belah umat islam???
Ayo belajarlah dari luasnya pemahaman ulama mazhab hanafi diatas, agar gak selalu merasa paling benar sendiri...

Untuk mazhab lainnya, insya Allah kita akan sambung ya gaes, pastinya diwaktu yang berbeda...🙏
Abi Aufa
Read more ...

Kamis, 09 Mei 2019

MELAFAZKAN NIAT.., SIAPA TAKUT?


Halo gaes... Kalau kamu ngakunya pengikut salaf tapi masih mempermasalahkan mengenai melafazkan niat baik ketika shalat, puasa maupun ibadah lainnya, maka kamu perlu lebih banyak berwisata ilmu lagi dech dikitab²nya para ulama...

Nich gue bantuin sedikit agar wawasan lo semua pada luas, jadi gak gampang dikit² nuduh bid'ah, dan yang terpenting memahami ayat dan hadits tidak selalu harus tekstual, apa kalian kira kalian lebih paham dari ulama salaf...???

Sebelum berwisata ilmu dikitabnya para ulama, sebaiknya siapkan mental dan niat yang lurus untuk mencari kebenaran, bukan sekedar bertaqlid buta kepada seseorang yang dianggap ulama oleh kalangan awam...

Ok gaes, kita mulai...

Siapa yang tidak mengenal ulama salaf ini, seorang Mujtahid mutlak yang ilmunya diakui oleh seluruh kaum muslimin, beliau adalah Al-Imam Asy-Syafi'i رحمه الله تعالى (w 204 H).

Di dalam kitabnya Al-Umm beliau mengatakan

 وَكَانَ الْفَرْضُ مِنْهَا مُؤَقَّتًا أَنْ لَا تُجْزِيَ عَنْهُ صَلَاةٌ إلَّا بِأَنْ يَنْوِيَهَا مُصَلِّيًا
(الأم للشافعي ١/١٢١)

"Dan adalah shalat fardhu yang memiliki waktu itu tidak sah kecuali dengan berniat MUSHALLI (yaitu berniat ushalli)".
(Al Umm 1/121 versi maktabah)

Perhatikan gaes...Sangat jelas perkataan imam Syafi'i mengatakan shalat wajib itu tidak sah kecuali dengan niat USHALLI (AKU SHALAT) !!!
Hal ini terlihat jelas sekali dalam ucapan beliau yaitu إلَّا بِأَنْ يَنْوِيَهَا مُصَلِّيًا yang dalam bahasa arab bermakna "Aku Berniat Shalat" Yaitu USHALLI !!!

Bahkan Al Hafizh Ibnu Muqri' (w. 381 H) di dalam kitabnya yang berjudul Al Mu'jam beliau membawa satu riwayat yang sangat jelas kalau imam syafi'i melafazkan niat sebelum shalat, perhatikan teksnya

٣١٧ - أَخْبَرَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ، ثنا الرَّبِيعُ قَالَ: " كَانَ الشَّافِعِيُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ فِي الصَّلَاةَ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، مُوَجِّهًا لَبَيْتِ اللَّهِ مُؤْدِيًا لِفَرْضِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اللَّهُ أَكْبَرُ "
(معجم ابن المقرئ ١/١٢١ ح : ٣١٧)

bahwa Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Rabi' lbn Sulaiman (murid Imam asy-Syafi'i), bahwa imam asy-Syafi'i ketika hendak memulai shalatnya mengucapkan ;
Bismillah, Muwajjihan Li Baitillah, Mu'addiyan LiFardhillah 'Azza wa Jalla, Allahu Akbar

"Dengan nama Allah, aku berdiri menghadap baitullah, untuk menunaikan kewajiban dari Allah 'azza wa jalla, Allahu Akbar"
(Mu'jam Ibnu Muqri' 1/121, no 317 versi maktabah)

Bagi yang ingin mendownload kitab Mu'jamnya Ibnu Muqri' langsung sedot aja gaes di tautan ini, tapi halamannya sedikit berbeda yaitu hal 70 dengan No 336

Kitab Mu'jam Ibnu Muqri'

Inilah cikal bakal dari melafazkan niat di dalam shalat, begitu juga dengan niat puasa maka diqiyaskan dengan niat shalat seperti tersebut diatas.

Jadi gaes.., kalau ada yang menyatakan ulama salaf tidak ada yang melafazkan niat, maka itu adalah suatu kedustaan.

Ini baru satu gaes, insya Allah kedepannya, saya akan buktikan ulama salaf lainnya...

✍ Abi Aufa
Read more ...

Minggu, 20 Januari 2019

Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi dalam Catatan Sejarah Ulama Terdahulu

Bagian I

 

 

Dalam catatan sejarah Arab oleh al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi di dalam kitab "Tarikh Al Khulafa" telah merekam suatu kejadian besar yang pernah melanda Indonesia khususnya Aceh pada tahun 2004 yaitu Gempa dan Tsunami, dan kejadian ini pernah terjadi sebelumnya pada tahun 640 H di Palestina...

 


وفي سنة ستين (وأربعمائة) كانت بالرملة الزلزلة الهائلة التي خربتها حتى طلع الماء من رءوس الآبار، وهلك من أهلها خمسة وعشرون ألفا، وأبعد البحر عن ساحله مسيرة يوم، فنزل الناس إلى أرضه يلتقطون السمك، فرجع الماء عليهم فأهلكهم.
(تاريخ الخلفاء ص : ٦٤٦)

 

Pada tahun 460 H, terjadi sebuah gempa besar di Ramlah (Palestina) hingga membuat Ramlah hancur lebur. Gempa itu telah membuat air menyembur dari pinggiran sumur.Jumlah korban yang meninggal akibat gempa itu adalah dua puluh lima ribu jiwa. Gempa itu juga telah membuat kering air yang diperkirakan jarak antara pantai dan tempat yang kering itu sekitar sehari perjalanan. Orang-orang kemudian turun ke pantai untuk menangkap ikan yang terdampar, namun tiba-tiba air kembali pasang dan merekapun tenggelam.

(Tarikh Al Khulafa : 646)

 

Yang ingin mendownload kitabnya, silahkan klik tautan dibawah
Kitab Tarikh Al Khulafa

Bersambung...

Read more ...

Kamis, 10 Januari 2019

ABU LAHAB SAJA GEMBIRA KETIKA NABI DILAHIRKAN


Sebenarnya kisah abu lahab diringankan azab kuburnya setiap malam senin bukan menjadi dalil utama bagi pendukung maulid, tetapi ada seorang penceramah yang sok merasa dirinya pintar, dengan lantangnya menguraikan mengenai ini seakan² kita pendukung maulid menjadikan kisah abu lahab sebagai rujukan utama atas kebolehan maulid.

Sekarang kita akan coba tampilkan kisah tersebut, dan kita lihat bagaimana pendapat ulama mengenai hal ini.

Kisah ini terdapat dalam hadits riwayat Imam Bukhari yang berasal dari Urwah bin Zubair mengatakan

وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ ، كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، َلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ – أي بسوء حال -، قَالَ لَهُ : مَاذَا لَقِيتَ ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ : لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ “
(صحيح البخاري، ج : ٧ ص : ٩)

Dan Tsuwaibah adalah hamba sahaya milik Abu Lahab yang dia merdekakan kemudian menyusui Nabi Muhammad ﷺ. tatkala Abu Lahab telah meninggal sebagian keluarganya melihat dalam mimpi tentang buruknya keadaan dia. Lalu dia berkata, “Apa yang terjadi?” Abu Lahab berkata, “Aku tidak mendapatkan apapun sepeninggal kalian kecuali aku diberi minum karena memerdekakan Tsuwaibah.”
(Shahih Bukhari Juz 7 halaman 9 No hadits 5101)

Untuk memahami hadits diatas jangan memakai otak sendiri, lagipula otak kita belum mampu mencerna...dan sebaiknya sadar diri kalau kita ini bodoh, maka ikut saja apa yang dikatakan oleh ulama...

Sekarang mari kita lihat pendapat ulama mengenai kisah abu lahab diatas...

Mengenai hal ini Abu al Qasim Abdurrahman bin Abdullah bin ahmad Al Suhaili (wafat th. 581 H) mengatakan :


وَكَانَتْ ثُوَيْبَةُ قَدْ بَشّرَتْهُ بِمَوْلِدِهِ فَقَالَتْ لَهُ أَشَعَرْت أَنّ آمِنَةَ وَلَدَتْ غُلَامًا لِأَخِيك عَبْدِ اللّهِ ؟ فَقُالْ لَهَا : اذْهَبِي ، فَأَنْتِ حُرّةٌ فَنَفَعَهُ ذَلِكَ وَفِي النّارِ
(الروض الأنف في شرح السيرة النبوية, ج : ٥، ص : ١٩٢)

Tsuwaibah memberi tahukan kabar gembira kelahiran Muhammad ﷺ kepada Abu lahab, seraya berkata ‘aku berikan kabar gembira bahwa aminah melahirkan anak laki-laki dari saudaramu abdullah' abu lahab berkata ‘pergilah, sekarang kamu merdeka’, maka hal ini lah yang memberikan manfaat kepada abu lahab di neraka.
(al-Raudhu al-Unf, Juz 5 hal 192)

Dan yang menukil pendapat Imam Al Suhaili ini sangat banyak, diantaranya ada imam Ibnu Hajar al Asqalani pengarang kitab Fathul Baari syarah shahih bukhari, begitu juga ada Imam Ibnu Katsir pengarang kitab tafsir yang sangat terkenal...

Yang ingin mendownload kitab al-Raudhu al-Unf Juz 5 diatas dapat di unduh pada tautan ini
https://archive.org/download/Rawd_Al_Enf_Siheili/Rodanf05.pdf

Karena terbatasnya media maka saya bawakan satu pendapat saja yaitu pendapatnya Al hafizh Ibnu Katsir (wafat th. 774 H) untuk lebih memperjelas mengenai kisah diatas yang disebutkan di dalam kitabnya "al Bidayah wan Nihayah" dengan menukil perkataan Abdurrahman Al Suhaili diatas

Karena terbatasnya media maka saya bawakan satu pendapat saja yaitu pendapatnya Al hafizh Ibnu Katsir (wafat th. 774 H) untuk lebih memperjelas mengenai kisah diatas yang disebutkan di dalam kitabnya "al Bidayah wan Nihayah" dengan menukil perkataan Abdurrahman Al Suhaili diatas

وَذَكَرَ السُّهَيْلِيُّ وَغَيْرُهُ: إِنَّ الرَّائِيَ لَهُ هُوَ أَخُوهُ الْعَبَّاسُ. وَكَانَ ذَلِكَ بَعْدَ سَنَةٍ مِنْ وَفَاةِ أَبِي لَهَبٍ بَعْدَ وَقْعَةِ بَدْرٍ. وَفِيهِ أَنَّ أَبَا لَهَبٍ قَالَ لِلْعَبَّاسِ إِنَّهُ لَيُخَفَّفُ عَلَيَّ فِي مِثْلِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ. قَالُوا لِأَنَّهُ لَمَّا بَشَّرَتْهُ ثُوَيْبَةُ بِمِيلَادِ ابْنِ أَخِيهِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَعْتَقَهَا مِنْ سَاعَتِهِ فَجُوزِيَ بِذَلِكَ لِذَلِك
(البداية والنهاية، ج : ٢، ص : ٢٧٣)

Suhaili dan para ulama lainnya menyebutkan bahwa anggota keluarga yang bermimpi melihat Abu Lahab adalah Abbas, saudara Abu Lahab. Mimpi itu terjadi setahun setelah kematian Abu Lahab, yaitu setelah perang Badar. Dalam mimpi tersebut Abu Lahab berkata kepada Abbas : Sesungguhnya pada hari Senin aku mendapat keringanan. Para ulama menyebutkan bahwa ketika Tsuwaibah menyampaikan kepada Abu Lahab berita kelahiran keponakannya, yaitu Muhammad bin Abdullah, Abu Lahab langsung memerdekannya. kebaikannya ini dibalas dengan keringanan (siksa/diberi minum) tersebut.
(Al-Bidayah wan Nihayah, Juz II, halaman 273)

Coba perhatikan banyak ulama yang menyatakan tentang bermanfaatnya perbuatan abu lahab dengan memerdekakan budah tsuwaibah, karena apa? Bukan tanpa sebab... melainkan karena rasa senang dan gembiranya atas kelahiran keponakannya yaitu baginda Nabi kita Muhammad ﷺ.

Terakhir saya kutip sebuah syair karangan Al hafizh Syamsuddin Muhammad ibn Nashiruddin ad Dimasyqi

إِذَا كَانَ هَذَا كَافِـراً جَاءَ ذَمُّـُه
بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيْمِ مُخَلَّّدًا

Jika orang kafir ini (abu lahab) yang  sudah dipastikan masuk neraka dan abadi didalamnya

أَتَى أَنَّهُ فِي يَوْمِ الاِثْنَيْنِ دَائـِمًـا
يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدًا

Setiap hari senin selalu mendapatkan keringanan siksaan akibat pernah bahagia dengan Muhammad

فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي كَانَ عُمْرُهُ
بِأَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَمَاتَ مُوَحِّدًا

Bagaimana lagi dengan seorang hamba yang sepanjang usianya selalu bahagia atas kelahiran Muhammad dan wafat dalam keadaan bertauhid.

Semoga bisa dipahami dan bermanfaat...

Selesai

والله أعلم بالصواب

Read more ...

Rabu, 09 Januari 2019

NABI ﷺ MERAYAKAN HARI KELAHIRANNYA


Ada segelintir orang yang dalam ceramahnya memprovokasi dengan mengatakan Nabi ﷺ saja tidak pernah merayakan hari kelahirannya (maulid) kenapa juga kita merayakannya?

Maka kita jawab, mengatakan Nabi ﷺ tidak pernah merayakan hari kelahirannya adalah suatu kedustaan besar atas nama Rasulullah dan ini ancamannya sangat berat, seperti yang disabdakan oleh beliau ﷺ sendiri

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ 
 
Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku, Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.
(HR. bukhari No. 1291 dan Muslim No. 4)

Kenapa saya katakan mereka berdusta atas nama Rasulullah ﷺ, karena memang Nabi ﷺ sebenarnya merayakan hari kelahirannya, perhatikan hadits shahih dibawah ini

 



وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيه

Beliau ditanya mengenai puasa pada hari senin, beliau menjawab: "Itu adalah hari ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku."
(HR. Muslim)

Sangat jelas Nabi memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari senin...

Ayo... Masih berani mengatakan Nabi tidak pernah merayakan hari kelahirannya???

Bersiap²lah mencari tempat duduknya dineraka...

Dan ingat kami seribu kali lebih percaya perkataan Rasulullah daripada perkataan kalian para SaWah (salafi palsu/wahabi)

والله أعلم بالصواب


Bersambung...
Read more ...

Jumat, 04 Januari 2019

Hadits Shahih Fadilah Surat Yasin



Sumber: Al-Masail karya Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dan Ar-Rasail karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Kedua buku tersebut memuat satu judul yang sama yaitu membahas tentang hadits-hadits seputar keutamaan surah YASIN. Mereka mengumpulkan semua hadits terkait lalu menjelaskan kelemahan sanadnya satu persatu. Yang paling lengkap dalam menulis adalah Ustadz Yazid, karena dia memuat 16 buah hadits terkait sedang Ustadz Abdul Hakim hanya memuat 7 hadits yang kesemuanya juga dimuat oleh Ustadz Yazid.

Di akhir pembahasan mereka berkesimpulan bahwa tak ada hadits shahih yang menjelaskan secara spesifik mengenai keutamaan surah YASIN

Setelah mengamati dengan seksama dan mencari dari berbagai sumber lain, ternyata ada satu hadits yang sepertinya luput dari pembahasan kedua ustadz ini. Hadits itu adalah hadits dari Jundab bin Abdullah ra, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ قَرَأَ يس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ

”Barangsiapa membaca YASIN pada suatu malam hanya dengan mengharap Wajah Allah, maka dia akan diampuni.”

Hadits ini terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, nomor hadits 2626 (berdasarkan penomoran maktabah syamilah edisi kedua) pada bab: Al-Hadatsu fish shalaah.

Sedangkan dalam kitab Mawarid Azh-Zham`an yang disusun oleh Al-Haitsami hadits ini ditempatkan pada kitab: Al-Mawaaqiit, bab: Al-Qiraa`atu fii Shalaatil Lail.

Sedangkan dalam kitab Al-Ihsan yang merupakan penyusunan ulang Shahih Ibnu Hibban terdapat pada Kitab: Ash-Shalaah, bab: Qiyaamul lail.

Sanad hadits ini adalah: Ibnu Hibban berkata, Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim mawla (mantan budak) Tsaqif menceritakan kepada kami, (katanya), Al-Walid bin Syuja’ bin Al-Walid As-Sukuni menceritakan kepada kami, (katanya), ayahku menceritakan kepada kami, (katanya), Ziyad bin Khaitsumah menceritakan kepada kami, (katanya), Muhammad bin Juhadah menceritakan kepada kami, dari Jundab ra, Rasulullah SAW bersabda…..

Apakah semua perawi yang disebutkan diatas tsiqah dan sanadnya bersambung? Berikut penjelasannya satu persatu:

Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim mawla Tsaqif dikenal dengan gelar As-Siraj seorang hafizh yang tsiqah. Biografinya dijelaskan panjang lebar penuh pujian oleh Adz-Dzhabi dalam Siyar Al-‘Alam An-Nubala` juz 14 hal. 388, (program maktabah syamilah edisi 2), dan dalam kitab Tadzkiratul Huffazh juz 2 hal. 371 (program maktabah syamilah).

Al-Walid bin syuja’ merupakan perawi tsiqah yang dipakai oleh Muslim dalam shahihnya. Ibnu Hajar dalam kitab At-Taqrib mengomentarinya, “Tsiqah, termasuk periode kesepuluh, wafat tahun 143 menurut pendapat yang benar.”

ayahnya, yaitu Syuja’ dengan kunyah Abu Badr As-Sukuni, dikomentari oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Shaduq, wara’ termasuk periode kesembilan, dia punya beberapa keraguan….”. Sedangkan Adz-Dzahabi mengomentarinya, “Seorang imam, ahli hadits dan jujur….” (Siyar Al-A’lam An-Nubala`, juz 9 hal. 353).

Ziyad bin Khaitsumah Al-Ju’fi Al-Kufi, Al-Hafiz dalam At-Taqrib mengomentarinya, “tsiqah, termasuk periode ketujuh.” Kita pastikan dia adalah Al-Ju’fi Al-Kufi karena dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim dikatakan bahwa salah satu yang meriwayatkan darinya adalah Syuja’ bin Al-Walid, dan itu cocok dengan sanad di atas.

Muhammad bin Juhadah, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam As-Siyar (juz 6 hal. 174) sebagai salah satu imam yang tsiqah dan memang meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri. Ibnu Hibban mengatakan, “Dia meriwayatkan dari Al-Hasan dan Qatadah.” (Ats-Tsiqaat, juz 7 hal. 404).

Al-Hasan Al-Bashri, cukup terkenal dan tidak ada masalah dengan kredibilitasnya, tinggal lagi memastikan apakah dia mendengar langsung hadits ini dari Jundab, sebab disini dia melakukan ‘an’anah.

Jundab bin Abdullah bin Sufyan Al-Bajali, sahabat Nabi SAW, tak perlu dibahas.

Syekh Al-Albani menganggap lemah hadits ini dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah, nomor hadits 6623. Dia menyebutkan empat hadits dengan redaksi di atas, yaitu dari Abu Hurairah, dari Jundab (yang kita bahas ini), dari Ibnu Mas’ud dan dari Ma’qil bin Yasar. Di sana dia menjelaskan kelemahannya satu persatu dan semua dapat diterima kecuali hadits Jundab ini.

Al-Albani mengemukakan dua alasan kelemahan hadits Jundab bin Abdullah ini yaitu tadlis Al-Hasan Al-Bashri dan ikhtilaf terhadap Muhammad bin Juhadah. Tapi dia tidak menjelaskan ikhtilaf apa yang dimaksud, sehingga alasannya belum bisa diterima.

Jawaban untuk tadlis yang dilakukan Al-Hasan dalam riwayat ini:

Dalam beberapa literatur yang saya baca dapat disimpulkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri memang mendengar hadits dari Jundab. Al-Hafizh dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib mengatakan begini, ”Dia meriwayatkan dari Ubay bin Ka’b, Sa’d bin Ubadah, Umar bin Al-Khathtab padahal dia tidak pernah bertemu dengan mereka. Dia juga meriwayatkan dari Tsauban, ’Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Utsman bin Abu Al-Ash, Ma’qil bin Sinan padahal dia tidak mendengar langsung dari mereka. Dan (dia juga meriwayatkan) dari Utsman, Ali, Abu Musa, Abu Bakrah, Imran bin Hushain, JUNDAB AL-BAJALI, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Amr bin Al-Ash, Mu’awiyah, Ma’qil bin Yasar, Anas, Jabir dan banyak sahabat Nabi SAW yang lain serta para tabi’in.”

Dari sini kita bisa paham bahwa mulai dari nama Utsman sampai kepada Jabir maka pendengaran Al-Hasan akan hadits mereka tak perlu diragukan. Wallahu a’lam.

Bukti paling konkrit bahwa Al-Hasan Al-Bashri memang mendengar langsung dari Jundab adalah sebagaimana riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya hadits nomor 3463, kitab Ahadits Al-Anbiya`, bab: Maa Dzukira ’an Bani Israail. Hadits yang sama juga terdapat dalam Shahih Muslim, no. 113. Hadits ini menceritakan seorang yang mati bunuh diri dan Allah mengharamkan surga untuknya.

Al-Hasan Al-Bashri memang dikenal sebagai mudallis. Namun, dia masuk dalma kategori mudallis yang tidak parah. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Thabaqatul Mudallisin (atau nama lainnya Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-tadlis) memasukkannya dalam peringkat kedua dari golongan para mudallis (Lihat kitab tersebut pada biografi nomor 40). Artinya, bila memang benar dia pernah mendengar dari syekhnya maka tadlisnya bisa diterima, apalagi ‘an’anah-nya masuk dalam syarat Al-Bukhari dan Muslim.

Jadi, hadits diatas tsiqah para rawinya dan bersambung sanadnya. Hanya ada sedikit permasalahan terhadap hafalan Syuja’ bin Al-Walid, sehingga dengan demikian hadits di atas menjadi hasan lidzaatih. Tapi bila ditambahkan dengan beberapa syahid (penguat) dari jalur lain yang sanadnya dah’if, maka hadits ini menjadi shahih lighairih. Wallahu a’lam

Berdasarkan sumber dari www.rajawana.com Tulisan oleh :Anshari Taslim
Read more ...
Designed By