Breaking News

Kamis, 24 Oktober 2013

Komentar Bejat Ulama Wahabi Tentang Kesyahidan Syaikh Ramadhan Al-Buthi


fakta wahabi
Ini adalah cuplikan komenatar Ulama WAHABI, Dr Abdul Aziz bin Nada Al Utaiby (dia ini adalah murid dari bin Baz, Al Bani, Utsaimin dan Muqbil bin Hadi Al Wadi’i) ketika ditanya mengenai meninggalnya Syaikh Romdhon Al Buthy.

السؤال:
ما تعليقكم على مقتل البوطي في عملية تفجيرية انتحارية؟ وهل يجوز الفرح بمقتله؟
الجواب:
1-اللهم نسألك حسن الختام، والستر أمام الأنام، ولا تختم لنا وأهلينا وإخواننا خاتمة سوء.
2- يجوز الفرح بهلاك كل من يكيد للإسلام والمسلمين شراً، كـ (الكفار والمبتدعة) وغيرهما.
3- وأما البوطي فأقول: أذهب إلى فرح أهل السنة بهلاك المبتدعة، إذا بيّن لهم ولم يرجعوا إلى الحق، والبوطي من رؤوسهم.
السؤال:
ولكن عمل التفجير نفسه الذي تم في المسجد وهلك فيه البوطي لا يجوز؟
الجواب:
صحيح إن وسيلة قتله لا تتفق مع الوسائل المشروعة، ولكن الفرح لهلاكه جائز، رغم أننا لا نقر الوسيلة.
والمعلوم: أن من واجب الولاة الأخذ على يد المبتدعة، بأنواع التعزير حماية للدين، كالقتل والسجن والجلد والنفي والتغريب (السجن)، فإن كف أذاهم وتعزيرهم مطلبٌ شرعي، ولكن إذا فقد ولي الأمر، وعمت الفوضى، فلا ينبغي لآحاد المسلمين القيام بعقابهم نيابة عن الولاة؛ فإن هذا مخالف للشرع، وقد يدفع المبتدعة لمقاتلة أهل السنة، فتكون مفاسد عظيمة... ولكن إن حصل وهلك أحد أولئك المبتدعة، بسببٍ ما، لا دخل لأهل السُّنة فيه، فيفرح لهلاكه، وندعو الله أن لا يتبع ذلك مفسدة، وردّة فعل على أهل السُّنة.. قال الراغب الأصفهاني: لا شيء أوجب على السلطان من رعاية أحوال المتصدين للرياسة بالعلم، فمن الإخلال بها ينتشر الشر، ويكثر الاشرار، ويقع بين الناس التباغض والتنافر.أهـ
كتبه. عبد العزيز بن ندى العتيبي
9 من جمادى الأولى 1434هـ

TERJEMAH :

PERTANYAAN :

"Apa komentar Anda tentang kematian Al Buty yang disebabkan oleh aksi bom bunuh diri? Apakah boleh bergembira dengan kematiannya?"

JAWAB :
“Ya Allah, kami memohon husnul khatimah, serta ditutupinya aib-aib kami di hadapan manusia. Dan janganlah Engkau mematikan kami, keluarga kami, saudara-saudara kami dengan su’ul khatimah.

Boleh hukumnya bergembira atas kematian setiap orang yang melakukan makar jahat terhadap Islam dan kaum muslimin, seperti orang-orang kafir, ahli bid’ah dan selainnya.

Adapun Al Buty, maka aku katakan, “Saya berpendapat, Ahlis Sunnah boleh bergembira atas kematian ahli bid’ah, jika telah dijelaskan pada mereka, namun mereka tidak mau bertaubat. Dan Al Buthy salah satu dari sekian banyak pentolan ahli bid’ah.”
PERTANYAAN :

"Akan tetapi, aksi bom bunuh diri yang dilakukan di mesjid, sehingga membunuh Al Buty dan yang lain bukankah adalah aksi yang tidak diperbolehkan ?"

JAWAB :
“Benar, sarana pembunuhan Al Buty ini tidak sesuai dengan syariat. Akan tetapi, bergembira akan kematiannya boleh, meski kita tidak menyetujui cara pembunuhan seperti ini.

Dan sudah maklum, bahwa diantara tugas penguasa untuk menghukum ahli bid’ah dengan berbagai macam bentuknya sebagai penjagaan terhadap agama, seperti hukum bunuh, penjara, dera, usir asingkan (penjara).

Karena mencegah kerusakan ahli bid’ah, serta menghukum mereka adalah sesuatu yang disyariatkan. Akan tetapi, jika penguasa kaum muslimin tidak ada dan kekacauan tersebar, maka tidak selayaknya salah satu dari kaum muslimin melakukan hukuman terhadap ahli bid’ah untuk menggantikan tugas penguasa. Karena ini menyelisihi syariat, dan bisa jadi hal ini akan menjadi sebab para ahli bid’ah membantai ahli sunnah, sehingga akan timbul kerusakan yang teramat sangat berbahaya.

Akan tetapi, jika salah satu ahli bid’ah mati dikarenakan sebab tertentu yang tidak dilakukan oleh Ahlis Sunnah. Maka, hendaknya Ahlis Sunnah bergembira disertai doa kepada Allah, agar kematiannya tidak mengakibatkan kerusakan yang akan menimpa Ahlis Sunnah."

Ar Raghib Al Asfahany berkata : "Tidak ada sesuatu yang lebih wajib bagi penguasa dari pada mengantisipasi orang-orang yang ingin menentang kekuasaan dengan berdasar ilmu. Jika hal ini diremehkan, maka keburukan akan menyebar, kejelekan akan menjadi banyak, serta terjadi permusuhan dan perpecahan diantara sesama manusia.”

Abdul Aziz Al Utaiby, 09 Jumadal Ula 1434 H

Semoga bermanfaat dan semoga mampu menyadarkan kita semua betapa bahaya dan radikalnya ajaran Wahhabi yang sesat ini.





Read more ...

Video Ceramah Ustadz Idrus Ramli - Radikalisme Wahhabi


video - fakta wahabi
Alhamdulillah, kali ini saya kembali tampilkan video Ustadz Muhammad Idrus Ramli, pada kesempatan ini Video beliau mengenai Radikalisme Wahhabi, sebagai tambahan ilmu untuk kita semua agar lebih mengenal siapa itu Wahhabi dan sejarahnya yang pada akhirnya kita semua mampu mewaspadai dan menghindari ajaran wahhabi yang tidak sesuai dengan Al Qur'an dan Assunnah ini.

Ustadz Idrus Ramli ini selain aktif dalam menjawab tulisan-tulisan dari Ustadz-ustadz Wahhabi, yang bisa kita lihat di page facebook beliau, (bisa dilihat disini : Fanspage Ustadz Muhammad Idrus Ramli) atau bisa juga dilihat di blog ini yang sudah saya dokumentasikan. beliau juga aktif dalam penulisan buku, ceramah dan lain lain serta dialog terbuka untuk menyampaikan Ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah yang sejati.  -Semoga Allah Meridhoi Perjuangan Beliau- Aamiin..

Mari langsung kita simak Video Ceramah beliau dalam menjelaskan mengenai Radikalisme Wahhabi.







Semoga bermanfaat
Read more ...

Senin, 16 September 2013

PESAN & WASIAT HABIB MUNZIR (mohon dibaca & mohon doanya)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Berikut ini kami sampaikan pesan dari Habib Munzir Almusawa yang kami dapat dari kawan-kawan pecinta Majelis Rasulullah.


Malam ini aku tersandar di pembaringan dan terpaku bertafakkur…, airmata terus mengalir, alangkah lemahnya hamba ini menghadapi gelombak ombak…

Dihadapanku acara esok malam di monas, sedangkan acara malam minggu membuat dadaku pecah, ketika sakit dikepala belakangku kambuh, dan sakitnya terasa seluruh urat panas membara sampai ke kuku dan tulang… dan puncak sakitnya adalah di kepala bagian belakang…

Malam minggu biasanya kutemui 15-20 ribu muslimin, namun tubuh yg sudah rapuh ini terus merangkak menuju majelis yg kukira akan menemui jamaah yg lebih banyak..

Ternyata yg kutemui hanya sekitar 300 orang saja, serasa meledak dadaku karena sedih dan menahan sakit, ingin rasanya kujatuhkan tubuhku dipangggung dan terserah apa yg akan terjadi..

Dg tubuh yg terus menahan sakit aku bertahan, mataku nanar dan panas, wajah dan telinga serasa menjadi tebal bagai ditampar berkali kali.. keluhan sakit adalah sebab peradangan otak yg terus menjadi jadi
Aku terus menoleh kekiri dan kanan, berharap para kekasihku datang berbondong bondong meramaikan acara, namun hanya beberapa puluh saja duduk di shaf, dan sisanya belasan orang berdiri disekitar panggung…, gelombang jamaah tidak tiba juga, tak lama tiba konvoi pun mungkin hanya 50 orang saja
Aku terhenyak, kepalaku semakin sakit, seluruh tubuhku seakan berteriak kesakitan tak kuasa menahan sakitnya.. Allah.. Allah,..Allah… wahai tubuh penuh dosa kau harus bertahan…

Ceramah selesai ,, acara ditutup, aku melangkah ke mobil dg lemah dan ingin kuteriakkan pada semua orang jangan satupun menyentuh kulitku karena sangat terasa sakitnya.. namun aku harus menerima nasibku untuk dikerubuti, mereka datang dan setia padaku.., mereka orang orang berjiwa Muhammad saw, aku tak boleh kecewakan mereka

Aku membatin memandangi jumlah yg sangat sedikit dihadapan panggung besar dan lapangan bola ini……….. 12 tahun aku berdakwah, inilah hasil dakwahku, sisanya adalah buih di lautan..
Sampai dimarkas kerebahkan tubuh penuh derita dg hati yg hancur, ketika mata hampir terlelap maka aku terhentak bagai dibentak syaitan, esok malam acara monas, bagaimana nasibmu munzir….!, adakah akan seperti ini ini…????, hujan akan turun dank au terpaku kecewa dihadapan guru mulia..???
Aku bagai tersengat stroom tegangan tinggi, menangis sekeras kerasnya… sakit dikepalaku sudah tak tertahan, jika kuhantamkan kepala ini ke tembok hingga kepala ini hancur tdak akan terasa sakitnya karena sudah dikalahkan oleh sakit yg jaub lebih berat..

Tubuhku gemetar, lalu aku berkata : ainiy, bantu aku membuka jubah dan sorbanku dan gamisku, bantu aku rebah, ini sudah larut malam, makanan apa yg ada ainiy?, saya lapar, dan perlu makan sedikit untuk makan obat, ia berkata : jam segini wahai habib sudah tdk ada apa2, banyak restoran padang dan penjual makanana masih tutup pula karena liburan panjang..,

Baiklah, buatkan indomi saja, sekedar pengganjal untuk makan obat..
Prof sudah mengatakan, jika sakit di kepala tak mau hilang dg obat penahan sakit yg saya berikan, habib harus segera ke rscm untuk suntik otak…

Berkali kali memang ia menembuskan jarum sepanjang hampir 15cm itu kedalam otakku sedalam dalamnya.. ah,,, tidak ada waktu untuk opname.. aku harus bertahan…

Dihadapankau acara monas,pasrah pada Allah.. lalu saat mata hampir terpejam pikiranku dihentakkan lagi dg beban berikutnya, 12 rabiul awal pada 26 februari…., bulan depan…!!!, lalu kedatangan guru mulia pada sekitar maret….!!, mestilah ada acara akbar pula..!, lalu 27 rajab isra mikraj..!, lalu nisfu sya;ban..!!, lalu badr pada pertengahan ramadhan..!!, lalu habisnya massa kontrak markas MR dibulan juni…

Aku teringat mimpiku beberapa minggu yg lalu, aku berdiri dg pakaian lusuh bagai kuli yg bekerja sepanjang hari, dihadapanku Rasulullah saw berdiri di pintu kemah besar dan megah, seraya bersabda : “semua orang tak tega melihat kau kelelahan wahai munzir, aku lebih tak tega lagi…, kembalilah padaku, masuklah kedalam kemahku dan istirahatlah…

Ku jenguk dalam kemah mewah itu ada guru mulia, seraya berkata :kalau aku bisa keluar dan masuk kesini kapan saja, tapi engkau wahai munzir jika masuk kemah ini kau tak akan kembali ke dunia..
Maka Rasul saw terus mengajakku masuk, “masuklah.. kau sudah kelelahan.., kau tak punya rumah di dunia(memang saya hingga saat ini masih belum punya rumah) , tak ada rumah untukmu di dunia, karena rumahmu adalah disini bersamaku.., serumah denganku.., seatap dg ku…, makan dan mium bersamaku .. masuklah,,,

Lalu aku berkata : lalu bagaimana dg Fatah Jakarta? (Fatah tegaknya panji kedamaian Rasul saw), maka beberapa orang menjawab dibelakangku : wafatmu akan membangkitkan ribuan hati utk meneruskan cita citamu,..!!, masuklah,,,!

Lalu malaikat Izrail as menggenggamku dari belakang, ia memegang dua pundakku, terasa seluruh uratku sudah digenggamannya, seraya berkata : mari… kuantar kau masuk.. mari…
Maka kutepis tangannnya, dan aku berkata, saya masih mau membantu guru mulia saya…, maka Rasul saw memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku..

Aku terbangun…
Semalam ketika aku rebah dalam kegelapan kulihat dua tamu bertubuh cahaya, namun wajahnya tidak bertentuk kecuali hanya cahaya, ia memperkenalkan bahwa ia adalah Izrail as..
Kukatakan padanya : belum… belum.. aku masih ingin bakti pada guru muliaku.. pergilah dulu, maka ia pun menghilang raib begitu saja.

Tahun 1993 aku bermimpi berlutut dikaki Rasul saw, menangis rindu tak kuat untuk ingin jumpa, maka Sang Nabi saw menepu pundakku… tenang dan sabarlah..sebelum usiamu mencapaii 40 tahun kau sudah kumpul bersamaku”

Usia saya kini 37 tahuh pada 23 feb 73, dan usia saya 38 tahun pada 19 muharram ini.
Peradangan otak ini adalah penyakit terakhirku, aku senang wafat dg penyakit ini, karena Rasul saw beberapa bulan sebelum wafatnya terus nebgeluhkan sakit kepala..
Salam rinduku untuk kalian semua jamaah Majelis Rasulullah saw kelak, jika terjadi sesuatu padaku maka teruskan perjuanganku.. ampuni kesalahanku.., kita akab jumpa kelak dg perjumpaan yg abadi..
Amiin..

Kalau usiaku ditakdirkan lebih maka kita terus berjuang semampunya, tapi mohon jangan siksa hari hariku.. hanya itu yg kuminta..

Semoga Allah panjangkan umur beliau untuk berdakwah di jalan Allah dan Rasulullah. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...

Ada Orang yang Mengaku sebagai Muhaddits? Cek Dulu Apakah Kriteria-kriteria Berikut ini Sudah Terpenuhi?


Bismillahirrahmaanirrahiim.

Menjadi seseorang ahli hadits yang mencapai derajat sebagai Muhaddits, apalagi derajat muhadditsul muhadditsiin (muhadditsnya para muhaddits), sungguh tidak enteng dan tidak mudah kriteria persyaratan serta tanggungjawabnya. Sehingga tidak sembarangan orang boleh mendakwakan bahwa dirinya sendiri atau orang lain telah mencapai derajat muhaddits, ia harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang sangat berat dan harus pula diakui oleh ulama’-ulama’ lainnya yang memiliki kompetensi. Untuk mengetahui bagaimana beratnya dan ketatnya kriteria-kriteria tersebut, ada baiknya kita simak apa yang disampaikan oleh al-Imam Taajuddin as-Subki rahimahullah yang tercantum di dalam salah satu kitab karya beliau yaitu kitab Mu’id an-Ni’am wa Mubiid an-Niqam.


Ada suatu kelompok orang yang mengkaji kitab Masyaariq al-Anwaar karya ash-Shaaghaaniy, dan bahkan ditambah pula dengan mengkaji kitab Mashaabih karya al-Baghawi, lalu mereka mengira hanya dengan kriteria yang sedemikian itu saja maka mereka dapat mencapai derajat sebagai muhaddits. Maka sejatinya pendapat mereka itu merupakan wujud kebodohan mereka terhadap ilmu hadits, meskipun mereka hafal isi kedua kitab tersebut di luar kepala, dan ditambah lagi dengan dua kitab lagi yang semisal kedua kitab tadi, maka belumlah mereka mencapai derajat sebagai muhaddits, dan tidak akan mengantarkan mereka mencapai derajat muhaddits sedikitpun hingga onta dapat masuk ke lubang jarum. (Taajuddin As Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam, halaman 81)


Maka apabila mereka menyatakan bahwasanya  mereka telah sampai pada derajat tinggi di dalam bidang ilmu hadits –menurut persangkaan mereka— yaitu hanya cukup dengan menyibukkan diri mengkaji kitab Jami’ul Ushul karya ibnu al-Atsir, dan ditambah lagi dengan kitab ‘Ulum al’-Hadits karya ibnu Sholah atau kitab ringkasannya yang berjudul at-Taqrib wa at-Taysir karya imam an-Nawawi, atau kitab lain yang semisalnya, lalu mereka mendakwa, “Barang siapa yang mencapai derajat ini, maka ia telah menjadi seorang muhadditsnya para muhaddits, dan dapat diumpamakan seperti Bukhari zaman ini,” atau dengan perkataan-perkataan dusta mereka yang lainnya, maka sesungguhnya hal-hal yang telah kami sebutkan tadi ia tidak dapat dihitung sebagai seorang muhaddits sedikitpun hanya dengan bermodalkan kadar ilmu yang seperti itu. (Tajuddin As Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam, halaman 81-82)


Sesungguhnya yang disebut muhaddits adalah mereka yang mengetahui Isnaad, ‘ilal, nama-nama rijal, al-‘aali dan an-naazil, hafal banyak matan, menyimak Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, dan ditambahkan pula dengannya seribu juz daripada kitab-kitab hadits. Dan yang demikian ini adalah derajat yang paling rendah dari seorang muhaddits. (Tajuddin As Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam, halaman 82-83)

Selain itu mari kita simak juga kitab Tadrib ar-Rawi fii Syarhi Taqriib an-Nawawi karya al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah. Di kitab tersebut disebutkan mengenai kriteria Muhaddits dan al-Hafizh. Mengenai kriteria al-Hafizh, al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menukil pendapat dari al-Imam Taqiyyuddin as-Subki:


Dan telah berkata Syaikh Taqiyyuddin as-Subki: “Bahwasanya ia telah bertanya kepada al-Hafizh Jamaluddin al-Mizzi perihal batasan-batasan jumlah banyaknya hafalan yang ditentukan bagi seseorang yang bergelar al-Hafizh? Maka Syaikh al-Mizzi menjawab: Perihal ini dikembalikan kepada para pakarnya. Maka aku (Syaikh Taqiyyuddin As-Subki) bertanya: Dimana ditemukan pakarnya? Sangat langka tentunya, jawab syaikh al-Mizzi: Sangat sedikit memang. Minimal orang yang bergelar al-Hafizh mengetahui para perawi hadits, baik biografinya, perilakunya, dan negerinya, yang ia ketahui lebih banyak daripada yang tidak diketahui. Agar lebih jelas mengenai permasalahan ini kepada khalayak ramai, aku (Syaikh Taqiyyuddin as-Subki) berkata: Orang yang semacam ini sangat langka di zaman ini.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 15)

Adapun mengenai kriteria Muhaddits, dijelaskan lagi oleh beliau dengan menukil pendapat beberapa ulama diantaranya:


Dan berkata Syaikh Fatkhuddin ibn Sayyidunnaas: “Dan adapun muhaddits di zaman kami adalah orang yang menghabiskan waktunya dengan hadits-hadits baik secara riwayat maupun dirayah, dan mengumpulkan riwayat-riwayat, mengetahui sebagian besar para perawi di masanya, ia termasuk orang yang unggul di bidang ini dan dikenal kebagusan daya hafalnya serta masyhur kedhabitannya (tingkat ketelitiannya), maka apabila ia memiliki keluasan di dalam hadits hingga ia mengetahui guru-gurunya, dan guru-guru daripada guru-gurunya, tingkatan demi tingkatan, sekiranya yang ia ketahui daripada tiap tingkatan lebih banyak daripada yang tidak ia ketahui, maka orang ini disebut sebagai al-Hafizh.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 15)


Dan sungguh telah menetapkan para salaf mengenai muhaddits dan al-Hafizh dengan makna, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id as-Sam’aani dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Zur’ah ar-Razi, ia berkata, “Aku mendengar Abu Bakr bin Abi Syaibah berkata: Barang siapa yang tidak menuliskan hadits sebanyak dua puluh ribu hadits secara imla’ maka ia tidak terhitung sebagai ahli hadits.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 13)


Di dalam kitab al-Kaamil karya ibnu ‘Adiy dari jalur an-Nufailiy, ia berkata: “Aku mendengar Husyaiman berkata: Barang siapa yang tidak menghafalkan hadits, maka ia tidak termasuk daripada ahli hadits.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 13)

Berdasarkan keterangan dari kitab Tadrib ar-Rawi diatas, maka salah satu syarat menjadi seorang muhaddits adalah menghafal hadits. Tentunya menghafalnya tidak sebatas menghafal hadits puluhan atau ratusan hadits saja, akan tetapi mencapai ratusan ribu hingga jutaan hadits beserta sanad perawinya dan hukum-hukum yang menyertainya.


Dan diriwayatkan mengenai kadar banyaknya hafalan hadits seorang yang bergelar al-Hafizh, telah berkata imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: Aku susun kitab al-Musnad dan aku memilihnya dari 750.000 hadits. Dan telah berkata Abu Zur’ah ar-Raziy: Bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal hafal Satu juta hadits. Dan telah berkata Yahya bin Ma’iin: Aku telah menulis satu juta hadits dengan tanganku sendiri. Dan telah berkata al-Bukhari: Aku menghafal seratus ribu hadits shahih, dan dua ratus ribu hadits selain hadits shahih. Dan telah berkata Muslim: Aku karang kitab musnad ini dari tiga ratus ribu hadits shahih. Dan telah berkata Abu Dawud: Aku tulis apa-apa dari Rasulillah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebanyak lima ratus ribu hadits, lalu aku memilih daripadanya untuk aku tulis di kitab as-Sunan. (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 16)


Dan telah berkata al-Hakim di dalam al-Madkhal: Bahwasanya salah seorang dari para Huffazh hafal sebanyak 500.000 hadits. Aku mendengar Abu Ja’far ar-Razi berkata: Aku mendengar Abu Abdillah bin Warah berkata: Aku bersama Ishaq bin Ibrahim Naisaburi, maka berkata seorang laki-laki dari Iraq: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata: Hadits shahih yang aku hafal sebanyak 700.000 lebih, dan lelaki ini, yakni Abu Zur’ah, sungguh ia telah menghafal 700.000 hadits, berkata al-Baihaqi: aku meriwayatkan semua yang shahih daripada hadits-hadits Nabi dan perkataan para shahabat dan Tabi’iin. (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 16)

Lihatlah, para imam kita, hafal ratusan ribu hingga jutaan hadits!
  1. Imam Ahmad bin Hanbal hafal 700.000 hingga satu juta hadits
  2. Imam Yahya bin Ma’iin hafal satu juta hadits.
  3. Imam al-Bukhari hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits selain hadits shahih.
  4. Imam Muslim hafal 300.000 hadits shahih.
  5. Imam Abu Dawud hafal 500.000 hadits
Para imam tersebut tidak hanya hafal matan hadits saja, akan tetapi semua ilmu yang berkaitan dengan hadits seperti isnaad, ‘ilal, nama-nama rijal, al-‘aali dan an-naazil sebagaimana yang disebutkan oleh Taajuddin as-Subki di awal pembahasan.

Terakhir, sebagai bahan renungan, jika pada zamannya imam Taqiyyuddin as-Subki (Sekitar abad 7 H) jumlah orang yang memenuhi syarat mendapat gelar al-Hafizh saja dapat dibilang langka, apalagi di zaman kita sekarang ini, abad 14 H? Jika ada seseorang yang tiba-tiba mengaku atau “dimunculkan/diorbitkan/dikarbitkan” oleh kalangan tertentu sebagai muhaddits zaman ini atau Bukhari-nya zaman ini kemudian dengan seenaknya ia mengkritik hadits-hadits yang diriwayatkan oleh  para imam muhaddits diatas, mengacak-acak karya imam-imam besar tersebut, sedangkan syarat-syarat paling minimal untuk mendapat legitimasi derajat muhaddits saja tidak terpenuhi, maka sejatinya ia telah merusak Islam dari dalam.


Referensi:
1, Kitab Mu’id an-Ni’am wa Mubid an-Niqam, karya imam Taajuddin as-Subki.
2. Kitab Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, Karya imam Jalaluddin as-Suyuthi.

Sumber

ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...

Hukum Menghidangkan Makanan Kenduri Kematian Menurut al-Imam Ibnu Hajar al-Haytami



Telah ditanya al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami -semoga Allah Ta’aala selalu memberikan manfaat dengan beliau- mengenai permasalahan menyediakan makanan bagi orang ta’ziyah yang umum dilakukan di negeri Yaman, yang mana hal tersebut kadang dilakukan oleh orang lain (bukan keluarga) namun semua pengeluaran (biaya) dimintakan kepada ahli waris dan kadang-kadang dikerjakan oleh salah seorang ahli waris dan semua biaya dimintakan kepada ahli waris yang lain. Maka bagaimanakah hukumnya (menyediakan makanan tersebut)?

al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjawab:
Bila menyediakan makanan bagi orang-orang yang  berta’ziyah tersebut mendorong kepada maksiat seperti niyahah maka hukumnya haram secara mutlaq (baik yang melakukannya pewaris atau orang lain, menggunakan harta mahjur ‘alaih ataupun tidak) dan jika menyediakan makanan tersebut tidak mendorong kepada maksiat dan dilakukan oleh orang lain tanpa ada izin dari pewaris hukumnya boleh dan tidak dapat dimintakan biaya kepada ahli waris karena ia melakukan tabarru’ (kebaikan). Demikian juga diperbolehkan jika dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa ada izin dari ahli waris lainnya maka tidak dapat dimintakan ganti biayanya kepada ahli waris lainnya.

Dan haram bagi pewaris atau orang yang menerima wasiat melakukan hal tersebut (menyediakan makanan bagi orang yang berta’ziah) dari harta peninggalan bila ada sebagian ahli waris yang belum mukallaf atau mahjur ‘alaih (orang yang tidak dibolehkan mempergunakan harta) karena boros (safih).
Bila si mayat mewasiatkannya (penyediaan makanan untuk orang yang berta’ziah) maka jika atas jalan haram atau makruh maka masiatnya tidak berlaku. Dan bila tidak (bukan atas jalan haram atau makhruh) maka wasiat tersebut berlaku hanya dari 1/3 harta si mayat jika tidak di izinkan oleh ahli waris untuk lebih dari kadar 1/3 harta mayat, maka pada saat demikian boleh dikerjakan oleh orang yang di wasiatkan. Wallahu a’lam.


Kesimpulan:

Dari jawaban al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dapat disimpulkan bahwa hukum menyediakan makanan pada hari kematian adalah;

1. Dihukumi Haram, apabila :
a. Pemberian makanan tersebut untuk mendorong orang-orang melakukan kemaksiatan seperti niyahah atau meratapi kematian. (Faktanya di masyarakat tidak pernah kita melihat ada orang yang menyediakan makanan dengan tujuan untuk niyahah seperti ini)
b. Di ambil dari harta warisan sedangkan di antara ahli waris ada yang belum baligh atau mahjur `alaih (misalnya orang gila)

2. Dihukumi Boleh, apabila:
a. Menggunakan harta selain harta warisan
b. Menggunakan harta warisan atas dasar persetujuan semua ahli waris.
c. Dikerjakan oleh sebagian ahli waris dari harta miliknya sendiri (selain harta warisan) atau harta warisan yang menjadi bagiannya.

3. Apabila orang yang wafat tersebut pernah mewasiatkan untuk menyediakan makanan pada hari kematiannya, maka pelaksanaan wasiat tersebut hanya berlaku pada kasus dimana menghidangkan makanan dihukumi boleh, sedangkan pada kasus haram atau makruh maka wasiat tersebut tidak berlaku.

Sumber


ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...

Habib Rizieq : Wahabi Memfitnah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab


fakta wahabi
Kelompok Wahabi atau Salafi Wahabi selalu membanggakan diri nya sebagai kelompok pembela Ahlusunah yang murni dan pengikut setia ajaran SYEKH MUHAMAD BIN ABDUL WAHAB padahal dalam buku-buku yang mereka karang sangat bertentangan oleh apa yang di ajarkan SYEKH MUHAMAD BIN ABDUL WAHAB bahkan menjurus pada penyimpangan.

Berikut ini penjelasan dari Habib Rizieq Syihab atas beberapa fitnah yang sering di lontarkan oleh kelompok Wahabi dalam setiap dakwah nya.

12 FITNAH TERHADAP SYEKH MUHAMAD BIN ABDUL WAHAB.

1. Aku di Fitnah Telah membatalkan para Imam Madzhab.

2. Aku di Fitnah Telah mengatakan bahwa umat islam sejak 600 tahun yang lalu mereka semuanya sesat.

3. Aku di Fitnah Telah mengajar orang untuk Ijtidad keluar dari Madzhab.

4. Aku di Fitnah katanya saya Telah tidak Taqlid.

5. Aku di Fitnah Bahwa Perbedaan ulama adalah Adzab/siksa.

6. Aku di Fitnah bahwa saya mengkafirkan orang TAWASUL kepada orang Sholeh.

7. Aku di Fitnah Telah mengkafirkan Imam Qusyayri dengan Kitab BURDAHNYA.

8. Aku di Fitnah Andaikata aku mampu menghancurkan Rumahnya Nabi Niscaya Aku hancurkan Rumah Nabi.

9. Aku di Fitnah andai Punya kemampuan niscaya aku Ambil Mizabnya Ka'bah untuk diganti dengan Kayu.

10. Aku di Fitnah katanya Telah Mengingkari BERZIARAH KUBUR NABI.

11. Aku di Fitnah Katanya Telah melarang Berziarah Kubur kepada kedua orang Tua.

12. Aku di Fitnah katanya Telah mengkafirkan orang yang besumpah kepada Selain Allah.

Simak videonya berikut ini :






Semoga wahabiyyun kelas ustadz sampai kelas jama'ahnya tobat dari kesalahannya. Aamiin.
Read more ...

Ustadz Muhammad Idrus Ramli Menjawab Abul Jauzaa' Mengenai Atsar Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma


Ini adalah jawaban dari ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Abul Jauzaa' Al Wahabi diblognya mengenai Atsar Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Muhammad Idrus Ramli menjawab Abul Jauzaa' mengenai KEBOHONGAN DAN KEBODOHAN ILMIAH ABUL JAUZAA’, TENTANG ATSAR IBNU UMAR radhiyallahu ‘anhuma

SETELAH SAYA MENULIS CATATAN TENTANG KESHAHIHAN ATSAR IBNU ‘UMAR radhiyallahu ‘anhuma, KETIKA KAKINYA MATI RASA, LALU MENGATAKAN “YA MUHAMMAD”, SEBAGIAN TEMAN FB MEMBERITAHUKAN BAHWA ABUL JAUZAA’ (USTADZ WAHABI), MENULIS BANTAHAN TERHADAP TULISAN TERSEBUT. SETELAH SAYA LIHAT, TERNYATA ABUL JAUZAA’ MENDHA’IFKAN ATSAR TERSEBUT DENGAN BERTAKLID BUTA KEPADA PARA PENULIS DI MULTAQA AHLI HADATS (NAMA SITUS WAHABI). OLEH KARENA ITU, TULISAN INI AKAN MENGUNGKAP KEBOHONGAN ILMIAH ABUL JAUZAA’.

SUNNI: “Di antara dalil istighatsah adalah, atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: خَدِرَتْ رِجْلُ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ " يَا مُحَمَّدُ "

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, ia berkata : Kaki Ibnu ‘Umar pernah mati rasa (kesemutan). Lalu seorang laki-laki berkata kepadanya : “Sebutlah orang yang paling engkau cintai”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Wahai Muhammad” [Al-Adabul-Mufrad no. 964].

Atsar tersebut telah kami buktikan keshahihannya dalam catatan kami di fans page ini, pada beberapa waktu yang lalu.”

WAHABI: “Riwayat tersebut lemah dengan alasan ‘an’anah Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Memang Sufyaan al-Tsauri dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari Zuhair bin Mu’aawiyyah, seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya (di akhir usia Abu Ishaaq).”.

SUNNI: “Telah saya jelaskan dalam tulisan saya, bahwa ikhtilath nya Abu Ishaq tidak berpengaruh dalam periwayatan haditsnya. Terutama berkaitan dengan atsar Ibnu Umar di atas. Terbukti riwayat Zuhair dari Abu Ishaq, setelah mengalami ikhtilath, sama dengan riwayat Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum ikhtilath. Sehingga antara riwayat Sufyan al-Tsauri dan riwayat Zuhair bin Mu’awiyah saling menguatkan. Riwayatnya Sufyan semakin kuat dengan mutaba’ah nya Zuhair. Sedangkan riwayat Zuhair, seandainya memang lemah, menjadi kuat dengan riwayat Sufyan al-Tsauri. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits??? Sedangkan terkait dengan ‘an’anah nya Abu Ishaq al-Sabi’i, telah kami jawab, terselamatkan dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq yang diriwayatkan oleh al-Harbi dalam Ghariibul-Hadiits 2/673 : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, dari orang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar. Syu’bah berkata :

كفيتكم تدليس ثلاثة: الأعمش وأبو إسحاق وقتادة

“Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga orang : al-A’masy, Abu Ishaq, dan Qatadah” [Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no. 29].”

Dengan demikian, kelemahan riwayat Sufyan al-Tsauri karena factor ‘an’anah nya Abu Ishaq, terlematkan dan dihukumi muttashil (sambung), dengan riwayatnya Syu’bah dari Abu Ishaq berkaitan dengan atsar tersebut. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???”

WAHABI: “Tapi bagaimanapun riwayat Syu’bah tetap lemah, karena terdapat perawi mubham (tidak jelas identitasnya), antara Abu Ishaq dengan Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma.”

SUNNI: “Bukankah lemahnya riwayat Syu’bah, karena factor perawi yang mubham, telah dikuatkan oleh riwayat Sufyan al-Tsauri dan Zuhair bin Mu’awiyah yang menyebutkan bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad. Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan:

الثالث: إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان دون الحسن لذاته.

“Apabila suatu hadits diriwayatkan dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, maka akan hilang kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu, tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).

Dalam pernyataan al-Imam an-Nawawi dan as-Suyuthi di atas, hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalur yang dha’if, apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis dan jahalah, kelemahannya menjadi hilang karena ada jalur lain yang menguatkan dan menjelaskan. Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas sekali antara riwayat Syu’bah, Sufyan al-Tsauri dan Zuhair saling menguatkan. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???

WAHABI: “Atsar Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum di atas, juga diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 168, tetapi riwayat ini lemah dengan sebab Muhammad bin Khidaasy, seorang yang majhuul. Juga diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 170, tetapi riwayat dari jalur ini lemah dengan sebab Muhammad Mush’ab, dan al-Haitsam bin Hanasy juga seorang yang majhuul.”

SUNNI: “Anda terlalu gegabah dalam menghukumi ketiga perawi yang Anda sebutkan sebagai perawi lemah dan majhul. Berikut penjelasan status ketiga perawi yang Anda zhalimi itu.

1) Muhammad bin Khidasy, sepertinya beliau Mahmud bin Khidasy al-Thaliqani, hanya terkadang dalam sebagian kitab ditulis Muhammad bin Khidasy. Beliau seorang al-imam al-hafizh al-tsiqah, sebagaimana disebutkan oleh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal. Meriwayatkan dari Husyaim, Ibnu al-Mubarak, Fudhail bin Iyadh, Sufyan bin Uyainah dan seangkatannya. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Nairuz al-Anmathi, perawi atsar Ibnu Umar dalam riwayat Ibnus-Sunniy.

2) Muhammad bin Mush’ab al-Qarqasani, kata al-Dzahabi, fiihi dhu’fun (terdapat kelemahan), dalam artian status kelemahan Muhammad bin Mush’ab adalah kelemahan yang ringan (khafif), bukan kelemahan mutlak. Bukan pula perawi lemah, dalam level menengah ke bawah, akan tetapi masih di atas mereka. Oleh karena itu, al-Tirmidzi masih men-shahih kan haditsnya. Anehnya, kelompok anti istighatsah hanya mengutip pendapat ulama yang menganggap nya lemah saja. Sementara para ulama yang menilainya adil dan tsiqah, tidak mereka kutip. Di antara ulama yang menilai nya adil adalah Ibnu Adi dalam al-Kamil, Ahmad bin Hanbal dan al-Bukhari dalam al-Tarikh. Perawi yang statusnya diperselisihkan antara lemah dan adil, haditsnya bernilai hasan, sebagaimana dalam ilmu mushthalah hadits. (Kalau Anda ingin tahu, redaksi bahasa Arabnya, akan kami kemukakan dalam catatan selanjutnya).

3) Al-Haitsam bin Hanasy, bukan perawi majhul, akan tetapi perawi yang tidak diragukan ke-tsiqah-annya. Beliau meriwayatkan hadits dari dua orang sahabat Ibnu Umar dan Hanzhalah bin Rabi’ah al-Usaidi al-Katib (sekretaris wahyu). Ulama yang meriwayatkan dari al-Haitsam bin Hanasy adalah Abu Ishaq al-Sabi’i dan Salamah bin Kuhail. Silahkan Anda cek dalam Ibnu Abi Hatim al-Jarh wa al-Ta’dil; al-Daraquthni, al-Mu’talif wa al-Mukhtalif; dan Abu Nu’aim al-Ashfihani, Ma’rifah al-Shahabah.

Dengan demikian, riwayat Ibnu al-Sunni melalui kedua jalur tersebut, kelemahannya hanya karena faktor ‘an’anah, dan telah dikuatkan oleh riwayat Syu’bah di atas, sehingga posisinya menjadi shahih atau hasan lighairihi. Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan:

الثالث: إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان دون الحسن لذاته.

“Apabila suatu hadits diriwayatkan dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, akan hilang kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu, tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).

WAHABI: “Itu kan mushthalah hadits ulama dulu. Kami mengikuti mushthalah hadits yang sekarang.”

SUNNI: “Apakah Anda pengikut al-Albani?”

WAHABI: “Ya tentu. Siapa lagi kalau bukan al-Albani.”

SUNNI: “Menurut kaedah yang pernah dikemukakan oleh al-Albani, atsar Ibnu Umar tersebut seharusnya shahih dan menjadi hujjah. Al-Albani berkata dalam kitab nya Tamam al-Minnah:

تقوية الحديث بكثرة الطرق ليس على اطلاقه : من المشهور عند اهل العلم أن الحديث اذا جاء من طرق متعددة فإنه يتقوى بها ويصير حجة وان كان كل طريق منها على انفراده ضعيفا. ولكن هذا ليس على اطلاقه بل هو مقيد عند المحققين منهم بما اذا كان ضعف رواته في مختلف طرقه ناشئا من سوء حفظهم، لا من تهمة في صدقهم او دينهم، وإلا فإنه لا يتقوى مهما كثرت طرقه.

“Menilai kuatnya hadits berdasarkan banyaknya jalur tidak bersifat mutlak. Di antara yang populer menurut ahli ilmu, bahwa suatu hadits apabila datang dari jalur yang banyak, maka dapat menjadi kuat dan menjadi hujjah, meskipun masing-masing jalur secara parsial bernilah lemah. Tetapi ini tidak bersifat mutlak. Akan tetapi dibatasi menurut muhaqqiqin dari ahli ilmu, dengan batasan apabila kelemahan perawinya dalam berbagai jalurnya timbul dari hapalan mereka yang buruk, bukan karena kejujuran dan agama mereka yang dicurigai. Kalau tidak demikian, maka tidak bisa kuar meskipun jalur-jalurnya banyak.” (Al-Albani, Tamam al-Minnah, hal. 31).

Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas (meskipun sebenarnya kita tidak butuh pada al-Albani, karena kaedah tersebut berlaku umum dalam kitab-kitab mushthalah hadits), atsar Ibnu Umar di atas harus dinilah kuat dan menjadi hujjah, karena jalurnya banyak, dan kelemahannya bukan karena faktor perawinya tidak jujur, pendusta atau fasiq, akan tetapi karena faktor ‘an’anah.”

WAHABI: “Apakah riwayat Syu’bah (jalur kedua) dapat menguatkan riwayat Ats-Tsauriy dan Zuhair (jalur pertama) – sehingga dapat disimpulkan bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’d ?.
Jawabnya : Tidak, dengan sebab :
1. Riwayat Ats-Tsauriy tidak shahih hingga ‘Abdurrahmaan karena ‘an’anah Abu Ishaaq, sedangkan riwayat Syu’bah shahih hingga perawi mubham tersebut. Atau dengan kalimat singkat : Riwayat Syu’bah lebih shahih hingga tingkatan syaikh-nya Abu Ishaaq daripada riwayat Ats-Tsauriy.”

SUNNI: “Penilaian Anda bahwa atsar tersebut lemah, sesuai dengan kaedah ilmu mushthalah hadats (bid’ah) yang Anda ikuti. Kalau berdasarkan ilmu mushthalah hadits, seperti kami ketengahkan pernyataan para ulama di atas, riwayat atsar di atas, harusnya dinilai shahih.”

WAHABI: “2. Jalur riwayat ketiga dan keempat oleh Ibnus-Sunni, di mana Abu Ishaq meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Syu’bah dan al-Haitsam bin Hanasy, merupakan qarinah tambahan adanya idlthiraab dalam periwayatan Abu Ishaaq, sehingga hadits tersebut lemah.”

SUNNI: “Anda sungguh lucu dan mengherankan. Seorang wanita yang berduka cita karena anaknya mati, akan sangat terhibur dengan humor Anda dalam menghukumi hadits. Anda tidak mengerti kriteria hadits mudltharib, tapi dalam catatan-catatan Anda, seakan-akan Anda sudah sangat alim melebihi al-Baihaqi, al-Dzahabi dan al-Suyuthi dalam bidang hadits. Anda harus tahu, bahwa menghukumi suatu riwayat itu mudltharib, harus membuktikan adanya pertentangan dalam sanad atau matan. Dan sebelum menghukumi bahwa suatu riwayat dikatakan mudltharib, harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:

Pertama, apabila kedua riwayat tersebut dapat digabungkan, maka harus digabungkan. Khawatir riwayat tersebut bertentangan hanya secara lahiriah, sedangkan pada hakikatnya, tidak bertentangan.

Kedua, jika tidak bisa digabungkan, maka solusinya dilakukan tarjih, mana yang lebih kuat dari sekian riwayat tersebut.

Ketiga, kalau tarjih tidak bisa dilakukah, karena semua riwayatnya memiliki kekuatan yang sejajar, maka hadits tersebut dihukumi tawaqquf, dan menunjukkan bahwa riwayat tersebut lemah. Ini sebenarnya yang harus Anda ketahui. Oleh karena itu, banyak sekali hadits mudltharib, tetapi tidak mempengaruhi dalam melemahkan hadits tersebut menurut para ulama huffazh.

Sekarang, sebelum saya menjelaskan lebih jauh pernyataan para ulama dalam mushthalah hadits, saya akan membantah Anda dengan pernyataan Ibnu Taimiyah, yang di-ma’shum-kan oleh kaum Wahabi, bahkan selevel dengan ke-ma’shum-an imam-imam Syiah di mata orang Syi’ah. Ibnu Taimiyah berkata:

إِنَّ أَبَا إسْحَاقَ كَانَ الْحَدِيثُ يَكُونُ عِنْدَهُ عَنْ جَمَاعَةٍ يَرْوِيه عَنْ هَذَا تَارَةً وَعَنْ هَذَا تَارَةً كَمَا كَانَ الزُّهْرِيُّ يَرْوِي الْحَدِيثَ تَارَةً عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَتَارَةً عَنْ أَبِي سَلَمَةَ وَتَارَةً يَجْمَعُهُمَا فَمَنْ لَا يَعْرِفُهُ فَيُحَدِّثُ بِهِ تَارَةً عَنْ هَذَا وَتَارَةً عَنْ هَذَا يَظُنُّ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّ ذَلِكَ غَلَطٌ وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ. (مجموع فتاوى ابن تيمية، 18/25).

“Sesungguhnya Abu Ishaq, hadits miliknya diriwayatkan dari banyak orang. Ia terkadang meriwayatkan dari ini, dan terkadang dari ini. Sebagaimana al-Zuhri meriwayatkan hadits terkada dari jalur Sa’id bin al-Musayyab dan terkadang dari jalur Abu Salamah, dan terkadang menggabungkan keduanya. Orang yang tidak tahu, maka menyampaikan haditsnya, kadang dari ini dan kadang dari ini. Sebagian manusia beraumsi bahwa riwayat tersebut keliru. Padahal keduanya shahih.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 18 hal. 25).

Pernyataan Ibnu Taimiyah, bagi kaum Wahabi sama dengan wahyu. Di sini Anda berada antara dua pilihan, yang termanispun dari keduanya pasti terasa pahit. Ada kalanya Anda salahkan imam Anda atau Anda harus mengakui kesalahan dan kebohongan Anda dalam ilmu hadits.

Al-Hafizh al-Sakhawi berkata dalam Fath al-Mughits:

إن اختلاف الرواة في اسم رجل أو نسبه لا يؤثر ذلك لأنه إن كان الرجل ثقة كما هو مقتضى صنيع من صحح هذا الحديث فلا ضير كا تقدم في كل من المعل والمنكر لا سيما وفي الصحيحين مما اختلف فيه على راويه جملة أحاديث وبذلك يرد على من ذهب من أهل الحديث إلى أن الاختلاف يدل على عدم الضبط في الجملة فيضر ذلك ولو كانت رواته ثقات إلا أن يقوم دليل على أنه عند الراوي المختلف عليه عنهما جميعا أو بالطريقتين جميعا والحق إنه لا يضر فإنه كيف ما دار كان على ثقة

“Perselisihan para perawi tentang nama seseorang atau nasabnya tidak akan berpengaruh. Karena apabila orang tersebut tsiqah, dipercaya, sebagaimana yang telah menjadi tuntutan sikap orang yang men-shahihkan hadits ini, maka tidaklah berbahaya sebagaimana telah dikemukakan, dalam hadits mu’all dan munkar. Lebih-lebih dalam Bukhari-Muslim, di antara perawi yang diperselisihkan, terdapat banyak hadits. Dengan demikian, dapat dibantah terhadap kalangan ahli hadits yang berpendapat bahwa perbedaan menunjukkan tidak adanya dhabth secara umum sehingga membahayakan meskipun para perawinya dipercaya, kecuali jika ada dalil bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh sang perawi yang diperselisihkan itu dari keduanya atau dengan kedua jalur itu. Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidaklah berbahaya, karena bagaimanapun, riwayat tersebut melalui perawi yang tsiqah.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, Fath al-Mughits, juz1 hal. 239).

Al-Imam al-Hafizh Ibnu Daqiqil-‘Id berkata dalam kitabnya al-Iqtirah fi Fann al-Ishthilah sebagai berikut:

الثامن عشر - المضطرب :
وهو أحد أسباب التعليل عندهم وموجبات الضعف للحديث .
والأمر فيه منقسم ، فإن كان أحد الوجوه مروياً من وجه ضعيف والآخر من وجه قوي ، فلا تعليل والعمل بالقويِّ متعيَّن .
وإن لم يكن كذلك ، فإن أمكن الجمع بين تلك الوجوه بحيثُ يمكن أن يكون المتكلم معبِّراً باللفظين الواردين عن معنى واحد ، فلا إشكال أيضاً ، مثل أن يكون في أحد الوجهين قد قال الراوي : عن رجل . وفي الوجه الآخر سُمِّي رجلاً ، فهذا يمكن أن يكون ذلك المُسمَّى ، هو ذلك المبهم ، فلا تعارض .
وإن لم يكن كذلك ، بأن يسمى مثلاً الراوي باسم معين في رواية ، ويسمى آخر باسم آخر في رواية أخرى . فهذا محل نظر إذ يتعارض فيه أمران :
أحدهما : أنه يجوز أن يكون عن الرجلين معاً .
الثاني : أن يغلب على الظن أنَّ الراوي واحد ، اختلف فيه .
فههنا لا يخلو إما أن يكون / الرجلان معاً ثقتين أو لا .
فإن كانا ثقتين ، فههنا مقتضى مذاهب الفقهاء والأصوليين أن لا يضر هذا الاختلاف ؛ لأنه إن كان الحديث عن هذا المعيَّن ، فهو عدل .
وإن كان عن الآخر ، فهو عدل ، فكيفما انقلبنا ، انقلبنا إلى عدل ، فلا يَضُرُّ هذا الاختلاف .

Silahkan Anda artikan sendiri.

Al-Imam al-Zarkasyi berkata dalam al-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah:

( قوله ) " المضطرب هو الذي يختلف الرواة فيه فيرويه بعضهم على وجه وبعضهم على وجه آخر مخالف " ينبغي أن يقال " على وجه يؤثر " ليخرج ما لو روي الحديث عن رجل مرة وعن آخر أخرى قال ابن حزم " فهذا قوة للحديث وزيادة في دلائل صحته كما إذا روى الأعمش الحديث عن سهيل بن أبي صالح عن أبيه عن أبي هريرة ويرويه [ غير ] الأعمش عن [ سهيل عن ] أبيه عن أبي سعيد إذ من الممكن أن يكون أبو صالح سمع الحديث من أبي هريرة وأبي سعيد معا فرواه مرة عن هذا ومرة عن هذا " انتهى

“Mudltharib adalah, hadits yang dipertentangkan oleh para perawi, sehingga sebagian perawi meriwayatkannya dari satu jalur, dan sebagian dari jalur lain yang bertentangan. Hendaknya, dikatakan, dari jalur lain yang berpengaruh, agar dapat mengecualikan seandainya suatu hadits, diriwayatkan dari seseorang dalam suatu saat, dari orang lain pada saat yang lain. Ibnu Hazm berkata, ini justru kekuatan bagi hadits dan menambah bukti-bukti keshahihannya. Sebagaimana misalnya apabila al-A’masy meriwayatkan hadits dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya dari Abu Hurairah. Lalu selain al-A’masy meriwayatkannya dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Sa’id. Karena ada kemungkinan Abu Shaleh, memang mendengar hadits tersebut dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id. Sehingga ia terkadang meriwayatkannya dari ini, dan terkadang dari ini.” (Al-Zarkasyi, an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah, juz 2 hal. 224).


WAHABI: “Selain itu, matan riwayat tersebut juga mengandung nakarah dengan adanya permintaan doa kepada selain Allah ta’ala ketika tertimpa musibah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)” [QS. An-Nam : 62].”

SUNNI: “Pada dasarnya, atsar di atas tidak mengandung nakarah. Yang mengandung nakarah justru otak Anda, karena taklid buta kepada Ibnu Taimiyah, yang melarang istighatsah dengan Nabi SAW atau wali yang sudah wafat. Sudah kami tegaskan, bahwa sebelum Ibnu Taimiyah tidak ada yang melarang istighatsah. Larangan istighatsah adalah murni kebohongan Ibnu Taimiyah. Kalau Anda tidak percaya, silahkan Anda buktikan, bahwa Ibnu Taimiyah tidak berbohong. Kami sudah berkali-kali membuktikan kebohongan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ayat al-Qur’an yang Anda kemukakan, tidak mengandung larangan istighatsah. Karena dalam ber-istighatsah, seorang Mukmin meyakini bahwa Allah SWT sebagai Tuhan dan mustaghats bih (yang dimintai tolong) secara haqiqi, sedangkan nabi atau wali yang dipanggil, hanya sebagai mustaghats bih secara majazi. Oleh karena itu, doa istighatsah telah berlangsung dan diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Di antara bukti bahwa istighatsah telah berlangsung sejak masa Rasulullah SAW adalah hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah SAW yang diajarkan agar berdoa dengan redaksi berikut ini:

(اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ).
“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan”.

Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW ini. Ia orang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya. Akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah ketika dia tidak berada di hadapan Nabi SAW (tidak di majlis Rasul SAW ) dan kembali ke majlis Rasul SAW dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang menjadi saksi mata atas peristiwa ini, mengajarkan petunjuk tersebut kepada orang lain pada masa Khalifah Utsman bin Affan RA, yang tengah mengajukan permohonan kepadanya. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta tersebut pada masa Rasul SAW. Setelah itu ia mendatangi Utsman bin Affan dan akhirnya ia disambut oleh beliau dan permohonannya dipenuhi. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ulama ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al-Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan menilainya hasan shahih, al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, Ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majah, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Shaghir dan al-Du’â’ dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah dan al-Da’awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits terkemudian (muta’akhkhirin), hadits di atas disebutkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari, al-Syaukani dan lain-lain.

Hadits ini adalah dalil dibolehkannya ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Nabi SAW pada saat Nabi SAW masih hidup, di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman bin Hunayf kepada tamu Sayidina Utsman, karena hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi SAW hidup, tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (16605), al-Tirmidzi (3502) dan menilainya hasan shahih, al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah (h. 417), Ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majah (I/441), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (IX/19) dan al-Du’â’ (II/1298) dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/313, 519) dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (VI/166) dan al-Da’awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits terkemudian (muta’akhkhirin), hadits di atas disebutkan dan dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari dan lain-lain.
Jika ada yang mengatakan bahwa makna:

(اَللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ).

adalah:

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ.

dengan dalil perkataan Nabi SAW di awal hadits:

إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ.

“Jika engkau mau, engkau bisa bersabar. Dan jika engkau mau, aku akan mendoakan kamu.”

dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi SAW ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang ber-tawassul dan ber-istighatsah adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan!

Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa dalam rangkaian hadits di atas, tidak disebutkan Nabi SAW benar-benar mendoakan orang buta itu. Yang disebutkan dalam riwayat itu adalah bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudhu’, Rasulullah SAW kembali mengajar para sahabat hingga orang buta itu datang lagi dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits di atas:

فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرٌّ قَطُّ.

“Lalu laki-laki buta itu melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW, dan demi Allah kita belum berpisah dan belum lama dalam majlis Rasulullah SAW, tiba-tiba laki-laki itu kembali datang ke majlis dan telah bisa melihat, seakan-akan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.

Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi SAW di awal hadits tersebut adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta itu, bukan mendoakannya secara langsung:

. . . وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.

“Apabila kamu mau, aku akan mengajarkan doa agar engkau berdoa dengannya”.

Jadi pemaknaan lafazh بنبينا dalam hadits di atas dengan بدعاء نبينا itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi ber-tawassul dengan redaksi nida’ (memanggil) sekalipun tidak di hadapan nabi atau wali adalah boleh berdasarkan hadits ini tanpa dilakukan penakwilan dan tanpa memperkirakan terjadinya kalimat yang dibuang.

Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi atau wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya tawassul dan istighatsah dengan para nabi atau wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jadi hadits ini membantah pendapat sebagian orang bahwa ber-tawassul hanya boleh dengan al-hayy al-hadhir (nabi atau wali yang masih hidup dan dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya. Dalam hal ini, Muhammad bin Ali al-Syaukani mengatakan:

وَفِي الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَعَ اعْتِقَادِ اَنَّ الْفَاعِلَ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَنَّهُ الْمُعْطِيْ الْمَانِعُ، مَا شَاءَ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ. (الإمام الشوكاني، تحفة الذاكرين، ص/180).

“Hadits ini menjadi dalil bolehnya ber-tawassul dengan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dengan keyakinan bahwa yang memberi dan menolak secara hakiki adalah Allah. Sesuatu yang dikehendaki Allah akan terjadi. Sesuatu yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi.” (Al-Syaukani, Tuhfat al-Dzakirin, hal. 180).

Dalam bagian lain (Tuhfat al-Dzakirin, hal. 72 dan al-Dur al-Nadhid, hal. 5) al-Syaukani juga mengatakan bahwa ber-tawassul kepada selain nabi seperti orang-orang saleh dan para wali, juga dibolehkan.

Al-Syaukani termasuk tokoh yang diakui oleh kelompok Wahhabi dan dianggap sebagai salah satu pelopor gerakan ijtihad dan anti madzhab. Mereka mengatakan bahwa al-Syaukani sejajar dengan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sebagaimana mereka sebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Muyassarah (juz I, hal. 139-143) yang diterbitkan oleh organisasi al-Nadwah al-‘Alamiyyah li al-Syabab al-Islami di Riyadh Saudi Arabia.

WAHABI: “Anda dalam menjelaskan dalil-dalil istighatsah, mengambil hadits dan atsar dari mana-mana. Itu bukti bahwa Anda sangat membela istighatsah.”

SUNNI: “Alhamdulillah, kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam menetapkan hukum-hukum syar’i, termasuk kebolehan istighatsah mengambil dalil-dalil dari berbagai kitab, dan semuanya bukan kitab sampah. Akan tetapi kitab-kitab yang memang diakui oleh para ulama ahli hadits. Hal ini berbeda dengan Anda, yang melarang dan mengkafirkan istighatsah, hanya mengambil dari informasi bohong si narapidana, Ibnu Taimiyah. Silahkan Anda buktikan, bahwa sebelum Ibnu Taimiyah ada ulama salaf yang melarang istighatsah. Kalau perlu, Anda cari dalam kitab-kitab sampah sebelum Ibnu Taimiyah, kalau memang ulama yang melarang istighatsah. Pasti tidak akan Anda dapatkan. Bukti bahwa ajaran anti istighatsah, adalah ajaran tidak benar, sesat dan menyesatkan.”

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli



Read more ...

Senin, 22 Juli 2013

Benarkah Doa Berbuka Puasa Yang Selalu Kita Baca Adalah Dhoief ?




Sumber  Kami mendapat maklumat di dalam facebook ada yang beranggapan bahawa Doa Berbuka Puasa yang dibaca oleh umat Islam pada setiap hari di Bulan Ramadhan datangnya dari hadith dhoief sebagaimana dakwaan di bawah :

TELA’AH RIWAYAT HADITS “DO’A IFTHAR”

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ و بك أمنت وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ برحمتك يا أرحم الراحمين

TIDAK ADA HADITSNYA !
Dalam Kitab "Mirqatul Mafatih" dinyatakan:

وأما ما اشتهر على الألسنة اللهم لك صمت [ وبك آمنت ] وعلى رزقك أفطرت فزيادة وبك آمنت لا أصل لها ، وإن كان معناها صحيحاً ، وكذا زيادة وعليك توكلت ولصوم غد نويت بل النية باللسان من البدعة الحسنة .
مرقاة المفاتيح ج 4 ص 426

"...Adapun do'a yang populer dengan tambahan WA BIKA AMANTU... tidak ada asalnya walaupun maknanya baik. (IV:426)

DO'A BUKA PUASA YG DLO'IF
Ditulis oleh : Al Ustadz ‘Abdul Hakim ‘Abdat

Di bawah ini akan saya turunkan beberapa hadits tentang dzikir atau do’a di waktu berbuka puasa, kemudian akan saya terangkan satu persatu derajadnya sekalian. Maka, apa-apa yang telah saya lemahkan (secara ilmu hadits) tidak boleh dipakai atau diamalkan lagi, dan mana yang telah saya nyatakan syah (shahih atau hasan) bolehlah saudara-saudara amalkan. Kemudian saya iringi dengan tambahan keterangan tentang kelemahan beberapa hadits lemah tentang keutamaan puasa yang sering dibacakan di mimbar-mimbar khususnya di bulan Ramadhan.


HADITS PERTAMA

Artinya :

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul ‘Alim (artinya : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui).

(Riwayat : Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya ‘Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu’jamul Kabir).

Sanad hadits ini sangat Lemah/Dloif
Pertama :
Ada seorang rawi yang bernama : Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah. Dia ini rawi yang sangat lemah.
Kata Imam Ahmad bin Hambal : Abdul Malik Dlo’if
Kata Imam Yahya : Kadzdzab (pendusta)
Kata Imam Ibnu Hibban : pemalsu hadits
Kata Imam Dzahabi : di dituduh pemalsu hadits
Kata Imam Abu Hatim : Matruk (orang yang ditinggalkan riwayatnya)
Kata Imam Sa’dy : Dajjal, pendusta.

Kedua :
Di sanad hadits ini juga ada bapaknya Abdul Malik yaitu : Harun bin ‘Antarah. Dia ini rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Imam Daruquthni telah melemahkannya. Sedangkan Imam Ibnu Hibban telah berkata : munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya.

Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Al-Albani, dll.

Periksalah kitab-kitab berikut :
Mizanul I’tidal 2/666
Majmau Zawaid 3/156 oleh Imam Haitsami
Zaadul Ma’ad di kitab Shiam/Puasa oleh Imam Ibnul Qoyyim
Irwaul Gholil 4/36-39 oleh Muhaddist Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

HADITS KEDUA

Artinya :

“Dari Anas, ia berkata : Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Apabila berbuka beliau mengucapkan : Bismillah, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu (artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka).

(Riwayat : Thabrani di kitabnya Mu’jam Shogir hal 189 dan Mu’jam Auwshath).

Sanad hadits ini Lemah/Dlo’if

Pertama :
Di sanad hadist ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly. Dia seorang rawi yang lemah.
Imam Dzahabi mengatakan di kitabnya Adl-Dhu’afa : Bukan hanya satu orang saja yang telah melemahkannya.
Kata Imam Ibnu ‘Ady : Ia menceritakan hadits-hadits yang tidak boleh diturut.
Kata Imam Abu Hatim dan Daruquthni : Lemah !
Sepengetahuan saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : Dia inilah yang meriwayatkan hadits lemah bahwa imam tidak boleh adzan (lihat : Mizanul I’tidal 1/239).

Kedua :
Di sanad ini juga ada Dawud bin Az-Zibriqaan.
Kata Muhammad Nashiruddin Al-Albani : Dia ini lebih jelek dari Ismail bin Amr Al-Bajaly.
Kata Imam Abu Dawud, Abu Zur’ah dan Ibnu Hajar : Matruk.
Kata Imam Ibnu ‘Ady : Umumnya apa yang ia riwayatkan tidak boleh diturut (lihat Mizanul I’tidal 2/7)
Sepengetahuan saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : Al-Ustadz Abdul Qadir Hassan membawakan riwayat Thabrani ini di Risalah Puasa tapi beliau diam tentang derajad hadits ini ?


HADITS KETIGA

Artinya :
“Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Sumtu wa ‘Alaa Rizqika Aftartu.”

(Riwayat : Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni) Lafadz dan arti bacaan di hadits ini sama dengan riwayat/hadits yang ke 2 kecuali awalnya tidak pakai Bismillah.)

Dan sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.

Pertama :
“MURSAL, karena Mu’adz bin (Abi) Zur’ah seorang Tabi’in bukan shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (hadits Mursal adalah : seorang tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa perantara shahabat).

Kedua :
“Selain itu, Mu’adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang MAJHUL. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya”.


HADITS KEEMPAT

Artinya :

“Dari Ibnu Umar, adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan :

ذَهَبَ الظَمَأُ، وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوقُ، وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.

DZAHABAZH ZHAAMA-U WABTALLATIL ‘URUQU WA TSABATAL AJRU INSYA ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, Inysa allah).

(Hadits HASAN, riwayat : Abu Dawud No. 2357, Nasa’i 1/66. Daruquthni dan ia mengatakan sanad hadits ini HASAN. Hakim 1/422 Baihaqy 4/239) Al-Albani menyetujui apa yang dikatakan Daruquthni.!

Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Rawi-rawi dalam sanad hadits ini semuanya kepercayaan (tsiqah), kecuali Husain bin Waaqid seorang rawi yang tsiqah tapi padanya ada sedikit kelemahan (Tahdzibut-Tahdzib 2/373). Maka tepatlah kalau dikatakan hadits ini HASAN.


KESIMPULAN

Maka dari penjelasan al ustadz ‘Abdul Hakim ‘Abdat di atas, maka doa berbuka puasa yang benar adalah DZAHABAZH ZHAAMA-U WABTALLATIL ‘URUQU WA TSABATAL AJRU INSYA ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, Inysa Allah).

Doa berbuka puasa yang diambil dari hadits yang ke 1,2 dan 3 karena tidak syah (sangat dloif dan dloif) maka tidak boleh lagi diamalkan.

Sedangkan hadits yang ke 4 karena riwayatnya telah syah maka bolehlah kita amalkan jika kita suka (karena hukumnya sunnat saja).

***
Ditulis ulang dari milis As Sunnah online tanggal 03 Maret 2000


NAMUN SETELAH DIBUAT PENYELIDIKAN TIDAK SEMUA TAKHRIJ HADITH DI ATAS ADALAH TEPAT BAHKAN ADA HADITH YANG BERTARAF HASAN. 

Sumber :  http://hasbullahmafath.blogspot.com/2009/08/telaah-riwayat-hadits-doa-ifthar.html


PENJELASAN :


Awalnya dari kajian Hadits Dlo’if karya Abdul Hakim Abdat pada hadits ke-3 yang menyimpulkan bahwa Do’a ke-3 itu dla’if dan tidak bisa diamalkan. Saya cari menggunakan Software hadits “Al-Jame’ Al-Kabir” dan “Maktabah Syamilah” ditemukan riwayat Ibnu Abi Syaibah ini :
مصنف ابن أبي شيبة ج: 2 ص: 344
109 ما قالوا في الصائم إذا أفطر ما يقول 9744 حدثنا محمد بن فضيل عن حصين عن أبي هريرة قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صام أفطر قال اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت قال وكان الربيع بن خثيم يقول الحمد الله الذي أعانني فصمت ورزقني فأفطرت

Ibnu Abi Syaibah
dari
Muhammad Bin Fudlail
dari
Hushain Bin Abdurrahman
dari
Abi Hurairah. RA

Lalu saya telusuri setiap rawi mulai dari Ibnu Abi Syaibah dst sampai Abu Hurairah. Namun ketika sampai pada rawi Hushain Bin Abdurrahman ternyata tidak ada gurunya yang bernama Abu Hurairah atau Abdurrahman Bin Shakhr (nama Asli Abu Hurairah). Memang Abu Hurairah pernah menyampaikan hadits kepada yang namanya Hushain, tetapi Hushain Bin Al-Lajlaj bukan Hushain Bin Abdurrahman rawi hadits ini.

Setelah sekian lama mencari korelasi antar rawi hadits ini, ternyata bukan dari Abu Hurairah tetapi dari Abu Zuhrah, sebagaimana dimuat dalam Kitab Do’a Muhammad Bin Fudlail ini,

الدعاء لابن فضيل ، اسم المؤلف: أبو عبد الرحمن محمد بن فضيل بن غزوان الضبي الوفاة: 195هـ ، دار النشر : مكتبة الرشد – الرياض – 1419هـ - 1999م ، الطبعة : الأولى ، تحقيق : د عبد العزيز بن سليمان بن إبراهيم البعيمي
66 حدثنا ابن فضيل حدثنا حصين عن أبي زهرة قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صام ثم أفطر يقول ( اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت )

الدعاء لابن فضيل ج 1 ص 237

Alhamdulillah, Allah melindungi kita dari kesalahan ini…

Maka hadits ke-3 riwayat Ibnu Abi Syaibah memiliki silsilah sanad rawi yang sama dengan riwayat Abu Dawud pada rawi Hushain dan Abu Zuhrah/Mu'adz Bin Zuhroh.

Adapun status Muhammad Bin Fudlail dari Hushain dari Abu Zuhrah
- Muhammad Bin Fudlail bin ghazwan bin Jarir : Tsiqat, memang menurut Ahmad Bin Hanbal "ia dituduh syi'i namun Haditsnya hasan." ia juga rawi Al-Bukhari
- Hushain Bin Abdirrahman, tsiqat.

Selanjutnya, saya fokuskan kepada rowi yang dijadikan alasan hadits ini dianggap dlo'if;

Pertama :
“MURSAL, karena Mu’adz bin (Abi) Zur’ah seorang Tabi’in bukan shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (hadits Mursal adalah : seorang tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa perantara shahabat).

Kedua :
“Selain itu, Mu’adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang MAJHUL. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya”.

RIWAYAT IBNU ABI SYAIBAH (HADITS KETIGA), DLO'IFKAH ?

Sebenarnya alasan dlo'if yang kedua sudah terjawab oleh Ibnu Hajar Al-'Asqalany dalam Syarah Abu Dawud sbb:

…Mu’adz Bin Zuhrah dan ada yang menyebut Abu Zuhrah Adh-Dhibby At-Tabi’i. Dalam At-Taqrib disebutkan. Seperti asalnya adalah Maqbul, hadits darinya mursal sehingga membingungkan siapa shahabat yang menyampaikannya secara mursal dengan ungkapan “telah menyampaikan kepada kami, sesungguhnya Rasulullah SAW…”

Ibnu Hajar berpendapat: (Abu Dawud) mengeluarkan hadits ini dalam sunan dan “al-Marasil” dengan satu lafadz. Al-Bukhari menyebutkan nama Mu’adz sebagai tabi’in tetapi ia berkata Mu’adz Abu (Zuhrah). Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam ‘rawi tsiqat” sedangkan Al-Syairazy mencantumkannya dalam “shahabat” tapi disalahkan oleh Al-Mustagfiry. Mungkin saja hadits ini “Maushul” walaupun Mu’adz seorang tabi’in karena ada kemungkinan ia menyampaikan dari shahabat, karenanya Abu Dawud memuatnya dalam Sunan nya dan juga dalam “Al-Marasil” (Faidhul qadir V:106)

Sedangkan bantahan yang kedua dimuat oleh al-'Asqalany dalam Tuhfatul Asyraf تحفة الأشراف ج 13 ص 313 antara lain menyebutkan bahwa kalimat BALAGHOHU memungkinkan hadits ini MAUSHUL bersambung sanadnya.

Diantara yang memandang HADITH INI HASAN dan tidak mendlo'ifkannya serta tentunya MA'MUL BIH (bisa diamalkan) termuat dalam :

1. Asnal Mathalib

وينبغي له أَنْ يَقُولَ بَعْدَ وفي نُسْخَةٍ عِنْدَ الْإِفْطَارِ اللَّهُمَّ لك صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت لِلِاتِّبَاعِ رَوَاهُ أبو دَاوُد بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ لَكِنَّهُ مُرْسَلٌ وَرُوِيَ أَيْضًا أَنَّهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم كان يقول حِينَئِذٍ اللَّهُمَّ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
أسنى المطالب في شرح روض الطالب ج 1 ص 422

2. Raudhatul Muhadditsin

Abdul Qadir Al-Arnauth menyatakan : "Namun hadits ini memiliki syawahid yang menguatkannya."

روضة المحدثين - (ج 10 / ص 304)
4729 - عن معاذ بن زهرة أنه بلغه أن النبى صلى الله عليه وسلم كان إذا أفطر قال : " اللهم لك صمت و على رزقك أفطرت " .
** د
( الأذكار 162/1 )
** مرسل
** تعقيب : قال عبد القادر الأرناؤوط 1 / 162 : و لكن له شواهد يقوى بها .

Rujuk : http://islamport.com/w/krj/Web/88/4729.htm

3. Badrul Munir. "Hadits ini diriwayatkan pula secara muttasil."

وقد روي هذا الحديث متصلاً أيضاً ، رواه الدارقطني في
( ( سننه ) ) ( 6 ) من حديث ابن عباس مرفوعاً وقال : ' صمنا وأفطرنا '
البدر المنير ج 5 ص 361

4. Tuhfatul Muhtaj : "Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan ia tidak mendlo'ifkannya.

رواه أبو داود ولم يضعفه وهو مرسل

تحفة المحتاج ج 2 ص 96

5. Zadul Ma'ad ; Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mencantumkan do'a ini
زاد المعاد ج 2 ص 237

Catatan : Mursal tabi'in (Abu Zuhroh) termasuk mursal yg dimungkinkan dari rawi tsiqat sehingga Abu Dawud memuatnya dalam "Al-Marasil" juga riwayat "Balaghat" ada kemungkinan Maushul seperti riwayat Imam Malik. (Mausu'ah 'Ulum Hadits Syarif, Wizaratul Awqaf,Mesir : 186)

Wallohu A'lam Bish Showwab

Kiriman Subhan Nurdin

Oleh itu, tidak timbul masalah bahawa doa yang kita baca tidak menepati sunnah, atau bid'ah. Kerana ada sandarannya dari hadith Rasulullah sallaLlahu 'alaihi wasallam.


ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...

Jumat, 12 Juli 2013

Dalil dalil Shahih : Sunnahnya dzikir zahar /suara keras setelah shalat

Slide1 Slide2 Slide3 Slide4 Slide5 Slide6 Slide7 Slide8 Slide9 Slide10 Slide11 Slide12 Slide13 Slide14 Slide15 Slide16

Sumber
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...

Dalil-dalil Diperbolehkannya Berdzikir secara Jahr dan Secara Berjamaah

Bismillah ar-Rahmaan ar-Rahiim.

Sampul Kitab al-Hawi li al-Fatawi

salafytobat.  Berangkat dari sebuah komentar dari salah seorang pengunjung blog ini, yang menuliskan kalimat: “ORANG YANG BERTAQLID DENGAN PERKATAAN IMAM SYAFI’I YANG MEMBAGI BID’AH MENJADI 2, MENGAPA TIDAK JUGA BERTAQLID KEPADA BELIAU DALAM HAL MEMBENCI SELAMATAN KEMATIAN DAN DZIKIR BERJAMAAH“

Silakan lihat komentarnya di link ini http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/02/25/debat-ahlussunnah-wal-jamaah-vs-wahhabi-masalah-tradisi-talqin-mayyit/#comment-271

Saya tidak akan menanggapi perihal pembagian Bid’ah menjadi Bid’ah Hasanah maupun Bid’ah Dholalah, karena sudah banyak saya bahas di blog saya ini. Saya hanya akan membahas masalah dzikir berjamaah, berikut ini saya terjemahkan pendapat al-Imaam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullaah secara lengkap, yang termaktub di dalam kitab karyanya Al-Haawi li al-Fatawi, pada sub bab Natiijat al-Fikr Fi al-Jahr Fi adz-Dzikr.

Dan perlu diketahui pula bahwasanya beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullah adalah salah satu imam dan ulama’ terkemuka di dalam madzhab Syafi’iyyah.

Apakah benar ulama’ dari madzhab asy-Syafi’iyyah membenci DZIKIR BERJAMAAH seperti yang diklaim oleh salah satu komentator blog tadi?

Baiklah, berikut ini saya sajikan kajian dari kitab al-Hawi li al-Fatawi dan saya lampirkan scan halaman per halamannya serta saya terjemahkan. Silakan disimak baik-baik.




Hasil Penelaahan Mengenai Permasalahan Berdzikir dengan Jahr
(Dzikir dengan Mengeraskan Suara)

Dengan asma’ Alloh yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, segala puji bagi Alloh yang memberikan kecukupan bagiku, dan keselamatan kesejahteraan bagi hamba-Nya yang terpilih.

Aku bertanya kepadamu (wahai Syaich as-Suyuthi) semoga Allah Ta’aala memuliakanmu, mengenai suatu hal yang umum dilakukan para pemuka shufiyyah yang menyelenggarakan halaqah dzikr dan men-jahr-kannya di dalam masjid dan mengeraskan suaranya dengan bacaan tahlil, apakah hal yang demikian ini makruh atau tidak?

Jawabannya adalah:

Sesungguhnya hal yang demikian ini tidak dihukumi makruh sama sekali, dan sungguh terdapat banyak riwayat hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara jahr, selain itu terdapat pula hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara sirr (pelan) sehingga perlu dikompromikan kedua cara berdzikir tersebut, yang mana hal tersebut dilaksanakan berbeda-beda menurut keadaan dan masing-masing pribadi. Sebagaimana al-Imaam an-Nawawi mengkompromikan hadits-hadits tentang disunnahkannya membaca Al-Quran secara jahr, dan (hadits-hadits) yang menyebutkan tentang diperbolehkannya membacanya secara sirr, berikut ini akan saya jelaskan secara fasal demi fasal.
Selanjutnya beliau (al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah) menyebut hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengeraskan suara pada saat dzikir, baik secara shorih (terang) maupun iltizam (tersirat).


1.    Hadits Pertama:
Telah diriwayatkan oleh al-Imaam al-Bukhari rahimahullah, bahwasanya Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam: Alloh Ta’aala berfirman: “Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku di dalam dirinya (Sirr), maka Aku akan mengingat dia pada diri-Ku (Sirr), apabila dia mengingat-Ku dalam jumlah kelompok yang besar, maka Aku akan menyebut nama mereka dalam kelompok yang jauh lebih baik dari kelompok mereka.”
Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain dilaksanakan secara jahr.”


2.    Hadits Kedua:
Diriwayatkan oleh al-Bazzaar dan al-Hakiim di dalam al-Mustadrak dan menyatakan keshahihannya, bahwasanya Jabir radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah keluar Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada kami, dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Alloh Ta’aala menebarkan para malaikat untuk mendatangi majlis dzikr di bumi, maka masuklah ke dalam taman-taman surga itu. Mereka berkata: Dimanakah taman-taman surga itu? Beliau bersabda: Majlis-majlis dzikr, sebaiknya kalian berdzikir kepada Allah tiap pagi dan petang.


3.    Hadits Ketiga:
Diriwayatkan oleh Muslim dan al-Hakim dengan lafadz dari abu Hurairah: telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat Sayyarah yang mencari majlis dzikir di bumi, maka apabila mereka menemukan majlis dzikir, mereka saling mengelilingi dengan sayap-sayap mereka hingga mencapai langit,  maka Allah berfirman: Dari mana kalian? Mereka menjawab: Kami telah mendatangi hamba-Mu yang bertasbih, bertakbir, bertahmid,  bertahlil, memohon kepada Engkau, meminta perlindungan-Mu. Maka Allah berfirman: Apa yang kalian pinta? (dan Allah-lah yang lebih mengetahui apa-apa tentang mereka), mereka menjawab: Kami memohon Surga kepada Engkau. Allah berfirman: Apakah kalian sudah pernah melihat Surga?. Mereka menjawab: Tidak, Wahai Rabb. Allah berfirman: Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?, kemudian Allah berfirman: Terhadap apa kalian meminta perlindungan-Ku? Sedangkan Allah Maha Mengetahui perihal mereka. Mereka menjawab: (Kami memohon perlindungan-Mu) dari api neraka. Kemudian Allah berfirman: Apakah kalian pernah melihatnya?. Mereka menjawab: Tidak. Selanjutnya Allah berfirman: Bagaimana seandainya kalau mereka pernah melihatnya?. Kemudian Allah berfirman: Saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka, dan Aku perkenankan permintaan mereka, dan Aku beri perlindungan terhadap mereka atas apa-apa yang mereka minta perlindungan-Ku. Mereka berkata: Wahai Rabb kami, sesungguhnya didalamnya (majlis dzikir) terdapat seorang hamba penuh dosa yang duduk didalamnya dan dia bukanlah bagian dari mereka (yang berdzikir), maka Allah berfirman: Dan dia termasuk ke dalam orang-orang yang Aku ampuni, karena kaum itu adalah kaum yang tidak mencelakakan orang-orang yang duduk bersama mereka.


4.    Hadits Keempat
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari abu-Hurairah dan abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhumaa, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: Tidaklah suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengelilinginya dan melimpahkan rahmat, dan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah Ta’aala menyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya.



5.    Hadits Kelima
Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, dari Mu’awiyyah, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam keluar menuju kepada halaqah daripada sahabatnya, kemudian beliau bersabda: “Kenapa kalian duduk-duduk?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir dan memuji Allah Ta’aala.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwasanya Allah Ta’aala membanggakan kalian kepada malaikat.”


6.    Hadits Keenam
Diriwayatkan oleh al-Hakim sekaligus beliau menshohihkannya dan Baihaqi di dalam Sya’b al-Imaan dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah olehmu di dalam berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga mereka (kaum munafiquun) mengatakan bahwa kalian adalah ‘orang gila’.“


7.    Hadits Ketujuh
Berkata al-Baihaqi di dalam Syu’b al-Imaan dari abu al-Jauza’ radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga kaum munafiquun berkata, ‘Kalian gila’.”
Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: Ini hadits mursal, adapun tujuan pendalilan menggunakan hadits ini dan yang sebelumnya lebih ditujukan untuk dzikir jahr, bukan dzikir sirr.


8.    Hadits Kedelapan
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Sahabat Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Apabila kalian menemukan taman-taman surga, maka ramaikanlah ia.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullaah, apakah yang disebut taman surga itu?” Beliau bersabda: “Halaqah dzikir.”


9.    Hadits Kesembilan
Diriwayatkan oleh Baqi bin Makhlad, dari ‘Abdullah ibn Umar radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati dua majelis, salah satu dari majelis menyeru dan mengagungkan Allah Ta’aala. Dan majelis yang satunya mengajarkan ilmu. Kemudian beliau bersabda: “Kedua-duanya baik, akan tetapi salah satunya lebih utama (daripada majelis yang satunya).”



10.    Hadits Kesepuluh
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari ‘Abdullaah ibn Mughaffal berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Tiada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala kecuali mereka akan dipanggil oleh para pemanggil dari langit: ‘Bangunlah kalian, sesungguhnya kalian sudah diampuni, sungguh keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan-kebaikan’.”


11.    Hadits Kesebelas
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Berfirman Allah Ta’aala pada hari Qiyamah: ‘Orang-orang yang dikumpulkan pada hari ini akan mengetahui siapa saja yang termasuk orang-orang mulia’. Para sahabat bertanya: ’Siapakah yang termasuk orang-orang mulia tersebut Wahai Rasulullaah?’. Beliau bersabda: ‘Majelis-majelis dzikir di masjid’. ”


12.    Hadits Keduabelas
Diriwiyatkan oleh al-Baihaqi dari ibnu Mas’ud radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya gunung memanggil gunung lainnya dengan namanya dan bertanya: ‘Wahai fulan, apakah kamu hari ini sudah dilewati orang yang berzikir kepada Allah?’ Yang apabila dijawab: ‘Ya’ mereka akan merasa sangat gembira. Kemudian Abdullah membaca ayat: ‘(Perkataan gunung) Sungguh-sungguh kalian telah mendatangkan ‘idda (kemunkaran yang sangat besar), sehingga hampir-hampir langit pecah berkeping-keping.’ Beliau berkomentar: ‘Apakah mereka (gunung-gunung) hanya mendengar kemunkaran, dan tidak mendengar kebaikan?’”


13.    Hadits Ketigabelas
Diriwayatkan oleh ibn Jarir di dalam kitab tafsirnya, dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu mengenai firman Allah Ta’aala: “Maka tidaklah langit dan bumi menangis atas mereka”. Bersabda Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Bahwasanya apabila seorang mukmin wafat, menangislah bumi tempat dia sholat dan berdzikir kepada Allah.” Diriwayatkan pula oleh ibn Abi ad-Dunya dari Abu Ubaid berkata: “Sesungguhnya apabila seorang mukmin wafat, maka berserulah bongkahan bumi: ‘Hamba Allah ‘ta’aala yang mukmin telah wafat!’, maka menangislah atasnya bumi dan langit, kemudian ar-Rahmaan berfirman: ‘Mengapa kalian menangisi hamba-Ku?’. Mereka berkata: ‘Wahai Rabb kami, tidaklah dia berjalan di suatu daerah kami melainkan ia berdzikir kepada-Mu ’  ”
Tujuan pendalilan menggunakan hadits ini adalah: “Dengarnya gunung dan bumi akan dzikir tidak lain dikarenakan dzikir tersebut di-jahr-kan”



14.    Hadits Keempatbelas
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan al-Baihaqi dengan sanad Shohih dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Allah Ta’aala berfirman: “Wahai hamba-Ku apabila engkau berdzikir kepada-Ku di dalam kesunyian, maka Aku akan mengingatmu di dalam kesunyian pula, dan apabila engkau berdzikir kepada-Ku dalam kelompok yang banyak, maka Akupun akan mengingatmu di dalam kelompok yang jauh lebih baik dan lebih besar”


15.    Hadits Kelimabelas
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Zaid ibn Aslam berkata: Berkata ibn Adra’: “Pada suatu malam aku pergi bersama Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam, kemudian beliau melewati seorang lelaki di dalam masjid sedang mengangkat suaranya tinggi-tinggi. Aku (ibn Adra’) berkata: ‘Wahai Rasulullaah, barangkali lelaki ini sedang Riya’ (memamerkan ibadahnya)?’ Beliau bersabda: ‘Bukan, dia sedang berdo’a dan mengadu’”. Al-Baihaqi meriwayatkan pula dari ‘Uqbah ibn ‘Amir: Bahwasanya Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepada seorang lelaki bernama Dzul Bajadain: “Sesungguhnya dia banyak berdo’a dan mengadu, itu semua karena dia selalu berdzikir kepada Allah Ta’aala”. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Jabir ibn ‘Abdullah bahwasanya ada seorang lelaki yang meninggikan suaranya ketika berdzikir sehingga lelaki yang lainnya berkata, “Seandainya saja orang ini merendahkan suaranya.” Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Biarkanlah dia, sesungguhnya dia sedang berdoa dan mengadu.”


16.    Hadits Keenambelas
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Syaddad ibn Aus berkata: “Sesungguhnya kami sedang bersama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam pada saat beliau bersabda: ‘Angkatlah tangan kalian dan ucapkanlah  لا اله الا الله ’, maka kami melaksanakan perintah beliau”. Kemudian beliau bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau utus aku karena kalimah ini, Engkau perintahkan aku juga karenanya, Engkau janjikan aku surga juga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda kepada para sahabat: “Bergembiralah kalian, karena Allah sudah mengampuni kalian semua.”


17.    Hadits Ketujuhbelas
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Anas radhiyallaah ‘anhu dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Sesungguhnya Allah Ta’aala memiliki Malaikat Sayyarah yang mencari halaqah-halaqah dzikir. Dan apabila mereka menemukannya maka mereka mengelilingi tempat-tempat tersebut. Kemudian Allah Ta’aala berfirman: “Naungi mereka dengan rahmat-Ku, mereka adalah orang-orang yang duduk yang tidak mencelakakan pendatang yang ikut duduk bersama mereka.”


18.    Hadits Kedelapanbelas
Diriwayatkan oleh at-Thabrani dan ibn Jarir, dari Abdurrahman ibn Sahl ibn Hanif berkata: “Saat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berada di salah satu rumahnya, diturunkanlah ayat: “Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi hari dan petang hari.” (Ayat). Kemudian beliau keluar kepada sahabat dan mendapati mereka sedang berdzikir, diantara mereka ada yang sudah beruban, kusam kulit dan hanya memiliki satu pakaian. Melihat mereka, Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam duduk bersama mereka dan bersabda: “Segala puji bagi Allah Ta’aala yang telah menjadikan diantara kalangan ummatku orang-orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”


19.    Hadits Kesembilanbelas
Diriwayatkan oleh al-Imaam Ahmad di dalam az-Zuhd dari Tsabit berkata: “Salman berada di dalam sebuah kelompok yang berdzikir kepada Allah Ta’aala, kemudian Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati mereka sehingga menyebabkan mereka berhenti, kemudian beliau bersabda: “Apa yang kalian ucapkan?”. Jawab kami: “Kami berdzikir kepada Allah Ta’aala.” Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya aku melihat rahmat turun atas kalian, aku menginginkan bersama-sama kalian di dalam rahmat tadi.” Selanjutnya beliau bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara ummatku orang-orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”


20.    Hadits Keduapuluh
Diriwayatkan oleh al-Ishbahani di dalam at-Targhiib, dari Abu Razin al-Aqili, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepadanya: “Maukah engkau aku tunjukkan rajanya perkara yang dengannya engkau dapat meraih kebaikan dunia dan akhirat?”, dia menjawab: “Mau, wahai Rasulullaah.” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau sering-sering mendatangi majelis-majelis dzikir, dan apabila engkau sedang dalam keadaan sendirian, maka gerakkanlah lisanmu untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala.”


21.    Hadits Keduapuluh satu
Diriwayatkan oleh ibn Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, dan al-Ishbahani dari Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat shubuh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang disinari matahari. Dan sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat ‘ashar hingga terbenamnya matahari, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”


22.    Hadits Keduapuluh Dua
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir setelah orang-orang menyelesaikan sholat wajib sudah atas persetujuan dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam”. Berkata pula ibn ‘Abbas: “Sesungguhnya aku selalu mengetahui apabila mereka telah menyelesaikan sholat, kemudian terdengar mereka berdzikir.”


23.    Hadits Keduapuluh Tiga
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallaah ‘anhu bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk ke dalam pasar kemudian mengucap:

لا اله الا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد يحيى ويميت وهو على كل شيء قدير

Maka Allah Ta’aala akan menetapkan baginya sejuta kebaikan dan menghapus sejuta keburukan, dan menaikkan derajatnya dengan sejuta derajat dan dibuatkan rumah di Surga.”
Di dalam beberapa thuruq (jalur mata rantai periwayatan) di hadits ini tertulis “ فنادى ”
Artinya: “Menyeru.”


24.    Hadits Keduapuluh Empat
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dan beliau menyatakan shohih, dan an-Nasa’i serta ibn Majah, dari Sa’ib bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Jibril ‘alahissalaam mendatangiku dan berkata: ‘Perintahkan para sahabatmu untuk mengeraskan suara mereka di dalam bertakbir.’”


25.    Hadits Keduapuluh Lima
Diriwayatkan oleh al-Maruwzi di dalam kitab al-‘Iidain dari Mujahid, bahwasanya ‘Abdullah ibn ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhuma mendatangi pasar pada hari-hari sepuluh (dzulhijjah) maka keduanya bertakbir. Tidaklah mereka mendatangi pasar kecuali untuk bertakbir. Dan diriwayatkan pula oleh ‘Ubaid ibn ‘Umair berkata: Sesungguhnya ‘Umar selalu bertakbir di dalam qubbahnya, sehingga seisi masjid juga bertakbir, dan juga seisi pasar juga bertakbir, sehingga seluruh Mina bergemuruh suara takbir. Dan diriwayatkan pula dari Maimun ibn Mahran berkata: Aku dapati manusia mengumandangkan takbir di hari ke sepuluh (dzulhijjah)  sehingga aku memisalkannya seperti gelombang lautan dikarenakan begitu banyaknya.



[Fasal]

Kalau engkau mau memikirkan secara mendalam atas hadits-hadits yang telah kami kemukakan di atas, nyatalah bahwasanya seluruhnya tidak memakruhkan mengeraskan suara di dalam berdzikir, sama sekali tidak, akan tetapi semuanya menunjukkannya sebagai kesunnahan, baik secara langsung maupun secara tersirat seperti halnya yang sudah kami paparkan diatas.

Adapun apabila hadits-hadits di atas secara lahiriyahnya bertentangan dengan hadits: “Sebaik-baik dzikr adalah yang tersembunyi (sirr)”, maka dapat dibandingkan secara mu’aradhah antara hadits-hadits jahr dan sirr di dalam membaca Al-Quran, seperti juga dengan bersedekah secara sirr.  Dalam hal ini al-Imaam an-Nawawi rahimahullaah mengkompromikan hadits-hadits tersebut dengan kesimpulan: “Menyembunyikan (sirr) lebih baik kalau khawatir akan menimbulkan riya’, mengganggu orang yang sedang sholat, atau orang yang sedang tidur. Sedangkan jahr lebih baik dilakukan apabila diluar kondisi-kondisi di atas. Karena pada dzikir secara jahr mengandung banyak amalan, faedahnya dapat mengalir kepada para pendengarnya, disamping agar hati para pedzikir terjaga dan mengkonsentrasikan niatnya kedalam fikirannya serta pendengaran menyimak alunan dzikir sehingga dapat mengusir rasa kantuk dan semakin menambah semangat di dalam berdzikir.”

Beberapa ulama’ berpendapat Sunnah men-jahr-kan sebagian bacaan Al-Quran dan men-sirr-kan sebagiannya. Karena boleh jadi orang yang men-sirr-kan bacaannya merasa bosan dan menyukai kembali apabila membacanya secara jahr. Dan terkadang orang yang men-jahr-kan merasa lelah, sehingga ia dapat beristirahat dengan men-sirr-kan bacaannya. Selesai.

Demikian pula pendapat kami (as-Suyuthi) tentang dzikir, dipilah-pilah seperti ini. Dengan demikian, berhasillah dikompromikan antara hadits-hadits yang mu’aradhah (bertentangan).
Bila kamu bertanya: (Bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: “Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dengan mengeraskan suara.”
Aku (as-Suyuthi) mencoba menjawab dengan tiga jawaban:

Pertama: “Ayat tersebut termasuk kategori Makkiyah seperti halnya ayat Al-Isra’: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu di dalam sholatmu dan janganlah pula merendahkannya”. Sesungguhnya ayat ini diturunkan ketika Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam mengeraskan bacaan Al-Quran dan terdengar oleh orang-orang musyrikin, sehingga mereka musyrikin mencaci-maki ayat-ayat Al-Quran dan yang menurunkannya (Allah Ta’aala). Lalu Allah Ta’aala memerintahkan untuk meninggalkan jahr untuk menutup wasilah (cercaan mereka). Sama halnya dengan pelarangan memaki-maki patung-patung mereka pada firman: ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Dan alasan pelarangan tersebut sekarang telah sirna. Ini pula yang ditunjukkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.

Kedua: “Sebagian mufassir, diantaranya: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), dan Ibnu Jarir, mendorong ayat ini kepada  keadaan  pedzikir saat ada pembacaan Al-Quran, bahwa dianjurkan demikian untuk menghormati Al-Quran, agar suara dzikir tidak dikeraskan disisinya. Hal ini diperkuat oleh firman sebelumnya: ”Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah”. Menurut hematku: ‘Saat diperintahkan ‘inshat’ (diam dan memperhatikan) seolah-olah ada kekhawatiran akan kecenderungan kepada menganggur (dari dzikir), maka Allah menegaskan pada ayat selanjutnya, sekalipun ada perintah berhenti dzikir dengan lisan, perintah dzikir dengan hati tetaplah abadi sehingga jangan sampai lalai dari menyebut (nama) Allah Ta’aala. Karena itu, ayat ini diakhiri dengan: ”Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (dari menyebut nama Allah Ta’aala).”

Ketiga: Para ulama sufi menyebutkan, bahwa ayat di atas dikhususkan buat Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam yang memang telah begitu sempurna. Sedangkan orang-orang selain beliau, yang merupakan tempat was-was dan gudangnya pikiran-pikiran yang jelek, dianjurkanlah mengeraskan suara zikir, karena lebih memberi efek pada menolak kekurangan-kekurangan tersebut. Menurutku, pendapat ulama sufi di atas didukung oleh hadits yang dikeluarkan Al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal berkata: bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Siapa saja yang shalat  pada malam hari hendaklah mengeraskan bacaannya, karena sesungguhnya para Malaikat ikut shalat bersamanya dan mendengar bacaan dia, dan sesungguhnya seluruh jin mukmin yang terbang di udara serta tetangga  yang berada dalam rumahnya ikut pula shalat dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya pengerasan bacaan juga dapat mengusir jin-jin fasiq dan setan-setan jahat dari rumah dan sekitarnya”.

Kalau engkau bertanya: (bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: ”Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Dan kata ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘mengeraskan suara doa’, maka aku akan menjawab dengan dua jawaban sebagai berikut:

Pertama: Tafsir yang rajih mengenai ayat ini, bahwa ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘melampaui yang diperintahkan’ atau ‘mengada-ngadakan doa yang tidak ada dasarnya dalam agama’. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah dan Hakim dalam kitab Mustadraknya, sekaligus men-shohihkannya, dari Abu Nu’amah radhiyallaah ‘anh, bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa: ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu sebuah istana putih di sebelah kanan surga.” Abdullah menegur anaknya: “Aku mendengar Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: ‘Akan muncul dalam kalangan umatku nanti suatu kaum yang melampaui batas dalam doa-doa mereka’”. Beginilah penafsiran seorang sahabat yang mulia, yang beliau lebih tahu apa yang dimaksudkan oleh sebuah nash.
Kedua: Anggaplah kita menerima (bahwa ayat di di atas memang melarang mengeraskan suara), tapi hanya mengeraskan suara pada doa, bukan dalam berzikir. Secara khusus doa memang lebih afdhal di-sirr-kan, karena lebih dekat kepada ijabah. Inilah alasannya mengapa Allah Ta’aala berfirman: ”Yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang  lemah-lembut”. Dan karena itulah disunatkan men-sirr-kan bacaan “ta’awwudz” dalam shalat secara ittifaq, karena ia adalah doa.

Kalau engkau bertanya: Telah dinukilkan dari ibn Mas’ud, bahwa beliau menyaksikan suatu kelompok orang yang menyaringkan suara tahlil dalam mesjid, lalu berkata: ”Aku tidak melihat kepada kalian kecuali hanya orang-orang pembuat bid’ah semata”. Kemudian beliau mengusir mereka dari masjid.
Aku (as-Suyuthi) menjawab: Atsar Ibnu Mas’ud ini butuh kepada menjelaskan sanad-sanadnya dan siapa saja yang ada mengeluarkannya dalam kitabnya diantara para Imam Hafidh hadits. Dan, katakanlah memang Atsar itu ‘tsabit’, tetapi kemudian bertentangan dengan banyak hadits yang telah ‘tsabit’ pula di atas. Dan hadits lebih diutamakan kalau terjadi ‘ta’arrudh’. Kemudian, aku melihat secara tidak langsung ada keingkaran dari Abdullah bin Mas’ud terhadap atsarnya sendiri. Diantaranya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Az-Zuhd: ‘Husen bin Muhammad menceritakan kepada kami, Mas’udy menceritakan kepada kami dari ‘Amir bin Syaqiq dari Abu Wa-il berkata: ”Banyak orang yang menduga bahwa Abdullah bin Mas’ud selalu melararang berzikir (secara jahr), tetapi tidaklah aku duduk bersamanya di suatu tempat kecuali beliau selalu berdzikir”. Imam Ahmad mengeluarkan dalam ‘Az-Zuhd’ dari Tsabit Al-Banany berkata: ”Sesungguhnya ahli dzikir ketika duduk hendak berdzikir dengan beban dosa yang semisal gunung sekalipun, maka sesungguhnya tatkala mereka bangun dari ‘dzikrullah’ ia tidak lagi mempunyai dosa sedikitpun.

Selesai
Demikian terjemah dari kitab al-Hawi li al-Fatwi pada Sub Bab Natiijat al-Fikr Fi al-Jahr Fi adz-Dzikr yang dapat saya sampaikan, yang menunjukkan dalil-dalil shohih atas disunnahkannya berdzikir secara jahr dan berjamaah yang sudah umum dilaksanakan dan diamalkan di kalangan kaum ahlussunnah wal jama’ah. Semoga bermanfaat.


ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...
Designed By