Breaking News

Rabu, 10 Juli 2013

Kajian Seputar Niat Puasa yang Benar



Kajian Seputar Niat Puasa yang Benar


Puasa Ramadlan dan puasa-puasa lainnya, baik itu puasa wajib maupun  puasa tathawwu’ (sunnah) tidaklah sah kecuali dengan adanya niat. Hal ini merupakan pandangan para ulama secara umum berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam :

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى

“Sesungguhnya seluruh amal tergantung dengan niat, dan bagi setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkan”

Imam Al-Nawawi didalam al-Majmu’ mengatakan: “Sesungguhnya madzhab kami (Syafi’iyah) menyatakan bahwa puasa Ramadlan tidak sah kecuali dengan niat pada malamnya, ini dipegang oleh Imam Malik, Ahmad, Ishaq, Daud dan jumhur ulama salaf maupun kholaf, sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan sah meskipun niat dilakukan pada siang hari sebelum tergelincir matahari (seperti pelaksanaan puasa sunnah, penj)”

Pengertian niat sendiri adalah al-qashdu  / menyengaja. Sedangkan menurut syara’ adalah Qashdu al-Syai’ Muqtarinan bi-fi’lihi (Menyengaja sesuatu berbarengan/bersamaan dengan pekerjaannya)”

Contoh dari muqaranah adalah semisal ketika hendak memulai sholat, takbiratul ihram yang diucapkan dengan lisan bersamaan dengan niat didalam hati. Demikian juga dengan wudlu’ ketika hendak membasuh muka dan lain sebagainya.

Namun, berbeda halnya dalam masalah puasa. Niat puasa tidak disyaratkanmuqaranah dengan pekerjaannya. Imam al-Suyuthi didalam Asybah wan Nadhairmengatakan ; “Pada dasarnya waktu niat adalah pada awal setiap ibadah dan semisalnya, pengecualian dalam masalah puasa, maka boleh mendahulukan niatnya dari awal waktunya karena sulitnya mengawasi/memantaunya, kemudian terus berlanjut hingga menjadi wajib (yaitu wajib mendahulukan niat dari awal waktunya, penj). Seandainya berniat bersamaan dengan fajar maka itu tidak sah berdasarkan qaul yang Ashoh”  
Zainuddin Zakariyya Yahya al-Anshori didalam al-Ghurrar al-Bahiyyah berkata: “Sesungguhnya ulama tidak mewajibkan adanya muqaranah didalam puasa karena sulitnya memantau fajar dan mengaplikasikan niat padanya”.  


Niat Puasa Dimalam harinya

Oleh karena itu, niat puasa dibulan Ramadlan wajib dilakukan pada malam hari sebelum terbit fajar shodiq atau sebelum masuk waktu Shubuh. Adapun seluruh malamnya tersebut merupakan waktu untuk berniat. Jika pada malam harinya tidak berniat puasa Ramadlan maka puasanya tidaklah sah.

Imam al-Imrani didalam kitab Al Bayan mengatakan : “Puasa bulan Ramadlan dan puasa-puasa wajib lainnya tidak sah kecuali dengan adanya niat pada malam harinya. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Hafshah binti Umar, serta dipegang oleh Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun berbeda dengan Imam Abu Hanifah, ia berkata bahwa puasa bulan Ramadlan dan puasa nadzar tertentu tetap sah meskipun niat pada siang harinya selama belum tergelincir matahari”.

Salah satu yang menjadi dasar dari hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam :

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak diniatkan puasa sebelum adanya fajar maka tidak ada puasa baginya” (HR. al-Nasaai dan al-Baihaqi)

Berdasarkan hadits ini pula tidak sah berniat puasa bersamaan dengan terbitnya fajar. Sebagaimana penjelasan Imam al-Suyuthi diatas. Disamping itu, hal yang demikian juga tidak mungkin, sebab fajar tidak akan diketahui kecuali fajar itu memang telah terbit dan terbitnya fajat itu sudah masuk waktu shubuh.


Ta’yin Niat

Seseorang yang melakukan puasa Ramadlan ataupun puasa nadzar tidak akan bisa dibedakan bentuk pelaksanaannya kecuali dengan ta’yin niat (menentukan jenis puasa). Sama halnya seperti sholat, bentuk pelaksanaan shalat Dhuhur dan Ashar tidak bisa dibedakan kecuali dengan ta’yin niat. Oleh karena itu, puasa bulan Ramadlan tidak sah kecuali dengan ta’yin niat. Ta’yin niat puasa Ramadlan maksudnya menentukan didalam niat bahwa puasa yang akan dilaksanakan adalah puasa Ramadlan.

Imam al-Nawawi didalam Raudlatuth Thalibin berkata: “Wajib ta’yin niat pada puasa fardlu, sama saja apakah itu puasa Ramadlan, puasa nadzar, puasa kaffarah dan puasa fardlu lainnya. Didalam madzhab kami ada satu pandangan yang diceritakan oleh shahibut Tatimmah dari Abi Abdillah al-Halimi bahwa tetap sah puasa Ramadlan dengan niat mutlaq namun itu pandangan yang syadz/menyimpang (dan tertolak, penj)”.

Imam al-Syafi’i beserta Ashhab pun mengatakan bahwa : “Tidak sah puasa Ramadlan, puasa qadla’, puasa kaffarah, puasa nadzar, puasa fidyah haji dan puasa wajib lainnya kecuali dengan Ta’yinun Niyyah”. (Majmu’, al-Nawawi)

Niat puasa sudah mencukupi semisal نويت صوم رمضان (“Sengaja aku niat puasa Ramadlan”). Kata ‘Ramadlan’ dalam niat tersebut adalah jenis puasa yang akan dilaksanakan. Imam Zainuddin al-Malibari berkata:

“Niat yang pendek serta sudah mencukupi adalah Nawaitu Shauma Ramadlan (sengaja aku niat puasa Ramadlan), meskipun tanpa menyertakan kata ‘Fardlu’ menurut pendapat yang muktamad, sebagaimana telah dishahihkan didalam al-Majmu’ serta diikuti oleh kebanyakan ulama, karena puasa Ramadlan bagi orang baligh tidak ada hukum lain kecuali fardlu”

Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khotib : “Frasa (‘tidak disyaratkan ta’yinun sanah / menentukan tahun’), sebab yang wajib dalam niat adalah Nawaitu Shauma Ramadlan (sengaja aku niat puasa Ramadlan) atau al-Shauma min Ramadlan (aku niat puasa di bulan Ramadlan). Dan tidak mencukupi berniat semisal : Nawaitu Shauma Ghadan (aku niat puasa besok) menurut pendapat yang muktamad”.

Adapun niat yang sempurna adalah

نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى

“Aku niat puasa besok untuk menunaikan fardlu Ramadlan tahun ini karena Allah Subhanahu wa Ta’alaa”

Kata ‘shaum/puasa’ terkait dengan ‘Ramadlan’, maka keduanya harus ada tanpa ada khilaf diantara ulama. Adapun pernyebutan Ada’Fardliyah (penyebutan kefardluannya), dan penyandaran pada Allah Ta’alaa (penyebutan Lillaahi Ta’alaa), padanya terdapat khilaf / perbedaan pendapat diantara ulama.

Sedangkan ta’yin tahun (penyebutan ‘hadzihis sanah / tahun ini’) didalam niat, menurut pendapat yang dipegang didalam madzhab (Syafi’i) dan merupakan pendapat yang shahih adalah tidak disyaratkan. Demikian juga Ada’, sebab maksud dari keduanya itu juga sama.

Ulama ada yang mengatakan bahwa niat Fardliyyah tidak disyaratkan karena puasa Ramadlan bagi seorang yang baligh tidak lain kecuali hukumnya fardlu. Pendapat ini dianggap sebagai pendapat yang shahih dan muktamad. Sedangkan sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa niat Fardliyyah disyaratkan sehingga apabila berniat adalah semisal berikut

نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ فَرْضًا

“Sengaja aku niat puasa fardlu Ramadlan”

Penyandaran pada Allah (penyebutan Lillaahi Ta’alaa) didalam niat puasa juga bukan hal disyaratkan didalam niat, sebab sejatinya ibadah yang dilakukan seorang muslim tidak lain kecuali hanya kepada Allah semata.


Niat Untuk Sebulan Penuh Dimalam Pertama

Didalam madzhab Syafi’i, niat wajib dilakukan setiap malam, satu kali berniat untuk satu kali puasa pada hari itu. Hal ini karena puasa setiap harinya merupakan ibadah tersendiri yang tidak saling terkait serta tidak rusak disebabkan rusaknya puasa pada hari sebelumnya ataupun rusaknya puasa pada hari berikutnya.

Berbeda halnya dengan pendapat Imam Malik yang membolehkan menggabungkan niat puasa untuk sebulan penuh selama tidak pernah terputus disebabkan puasanya batal.

Imam al-Nawawi didalam al-Majmu’ berkata : “Madzhab kami berpendapat bahwa setiap harinya butuh berniat, sama saja puasa Ramadlan, puasa qadla, puasakaffarah, puasa nadzar dan puasa tathawwu’, inilah yang juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah, Ishaq, Daud, Ibnul Mundzir, dan mayoritas ulama. Sedangkan Imam Malik berkata: apabila berniat puasa sebulan dimalam pertama Ramadlan maka itu sudah mencukupi untuk seluruhnya dan tidak butuh lagi berniat untuk setiap harinya. Adapun pada Imam Ahmad dan Ishaq terdapat dua riwayat, yang lebih shahih dari keduanya adalah sebagaimana pendapat madzhab kami, riwayat lainnya seperti pendapat Imam Malik”.  


Kesimpulannya adalah niat puasa Ramadlan wajib dilakukan tiap malam, apabila berniat satu kali untuk sebulan penuh maka itu tidak mencukupi.

Akan tetapi ulama menganjurkan agar menyertakan juga niat sebulan penuh dimalam pertama Ramadlan untuk mengambil kemanfaatan taqlid kepada Imam Malik. Didalam Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah disebutkan: “Dan disunnahkan (mandub) berniat pada malam pertama bulan Ramadlan atau berniat puasa Ramadlan seluruhnya karena mengambil kemanfaatan taqlid pada Imam Malik terkait dikhawatirkannya lupa niat pada malam yang lainnya karena menurutnya hal itu sudah mencukupi selama sebulan. Sedangkan menurut pandangan madzhab kami yang demikian itu hanya mencukupi untuk malam pertama saja”. 

Memperbaharui Niat
Jika setelah berniat puasa Ramadlan pada malam harinya kemudian melakukan sesuatu seperti hubungan suami istri, makan, minum dan lain sebagainya. Apakah wajib memperbaharui niat puasanya ?. Imam al-Nawawi didalam al-Majmu ’ berkata:

“Apabila dimalam hari berniat puasa kemudian ia makan, minum, melakukan hubungan suami istri atau melakukan perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa maka tidaklah batal niatnya, dan seperti itu juga jikalau berniat kemudian tidur kemudian bangun sebelum fajar maka niatnya tidak batal dan tidak wajib memperbaharuni niat, inilah pendapat yang benar”

Mengucapkan Niat Puasa

Niat merupakan amaliyah hati, tempatnya tentu saja didalam hati. Puasa tidak sah kecuali dengan adanya niat, sedangkan mengucapkan niat puasa (al-nuthq)tidaklah disyaratkan tanpa ada perselisihan diantara ulama. Artinya adalah jikalau ada mengucapkan atau pun tidak mengucapkan, maka sama sekali tidak akan berpengaruh pada puasanya, sebab itu bukan syarat didalam niat puasa.

Imam Taqiyuddin al-Hishni didalam Kifayatul Akhyar berkata : “Tidak sah puasa kecuali dengan niat untuk kebaikan, sedangkan tempatnya didalam qalbu, dan tidak disyaratkan mengucapkan niat tanpa ada perselisihan pendapat diantara ulama”.

Oleh karena itu, niat puasa cukup didalam hati. Jikalau niat diucapkan melalui lisan seraya berniat didalam qalbunya maka puasanya sah, bahkan ada ulama yang menganjurkan mengucapkan niat dengan lisannya untuk membantu hati dalam mengingat niat. Namun, jika hanya sebatas mengucapkan dengan lisan tanpa berniat puasa didalam qalbu maka itu tidak sah, sebab yang wajib adalah niat didalam hati. MADINATULIMAN.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By