Breaking News

Rabu, 29 Mei 2013

Ustadz Idrus Ramli Menjawab Abul Jauzaa' - Kami Penyembah Kuburan atau Wahabi Pengagum Abu Jahal dan Abu Lahab ?


fakta wahabi
Ini adalah jawaban dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Abul Jauzaa' Al Wahhabi di Blognya yang berjudul “Istighaatsah An-Naabighah Al-Ja’diy ?”.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Menjawab Menjawab Abul Jauzaa' Mengenai "Istighaatsah An-Naabighah Al-Ja’diy ?"

KAMI PENYEMBAH KUBURAN, ATAU MEREKA (WAHABI) PENGAGUM ABU JAHAL DAN LAHAB?

JAWABAN TERHADAP TANGGAPAN USTADZ WAHABI DI BLOG MEREKA, YANG BERJUDUL “Istighaatsah An-Naabighah Al-Ja’diy ?”.

SETELAH KAMI MENULIS JAWABAN TERHADAP USTADZ WAHABI, MUSMULYADI LUKMAN DAN FIRANDA, YANG MEMBELA KEBATILAN IBNU TAIMIYAH TENTANG ISTIGHATSAH, JAWABAN KAMI TIDAK MENDAPAT TANGGAPAN, DARI KEDUA USTADZ TERSEBUT. Sepertinya mereka mengakui kebenaran hujjah kami. BELAKANGAN, SEORANG USTADZ WAHABI LAIN, MENULIS DI BLOGNYA DI INTERNET, TANGGAPAN TERHADAP JAWABAN KAMI. SAYANG SEKALI TANGGAPANNYA, HANYA SEPOTONG DAN SECUIL, DARI SEKIAN BANYAK DATA DAN DALIL KEBOLEHAN DAN ANJURAN ISTIGHATSAH YANG KAMI KEMUKAKAN. DAN ITUPUN TANGGAPAN USTADZ WAHABI TADI JUGA BANYAK MENGANDUNG KESALAHAN. BERIKUT TANGGAPAN KAMI, DENGAN FORMAT DIALOG, AGAR MUDAH DIFAHAMI.

WAHABI: “Mengapa Anda membela ajaran penyembah kuburan, yang kerjanya beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah wafat?”

SUNNI: “Maaf, komentar Anda menandakan bahwa Anda belum mengerti makna ibadah/menyembah secara syar’i. Sehingga dengan mudah Anda membuat stigma penyembah kuburan kepada mayoritas kaum Muslimin yang mengamalkan ajaran kaum salaf, dari generasi Sahabat, tabi’in, ahli hadits, yaitu ajaran istighatsah. Bukankah ajaran istighatsah itu telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW, para sahabat, kaum Salaf yang Saleh dan ahli hadits??? Kalau Anda memang tidak mengerti makna ibadah/menyembah yang sebenarnya, berikut akan saya jelaskan, semoga hidayah Allah datang kepada Anda.

Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin al-Sari al-Zajjaj (241-311 H/855-924 M) – pakar bahasa Arab dan tafsir– berkata:

الْعِبَادَةُ فِيْ لُغَةِ الْعَرَبِ الطَّاعَةُ مَعَ الْخُضُوْعِ.
“Ibadah dalam bahasa Arab adalah ketundukan yang disertai kerendahan diri kepada Allah”.
Al-Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal yang dikenal dengan al-Raghib al-Ashfihani (w. 502 H/1108 M) -pakar bahasa dan tafsir- berkata dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an:

الْعِبَادَةُ غَايَةُ التَّذَلُّلِ.
“Ibadah adalah puncak dari kepatuhan dan kerendahan diri kepada Allah”.
Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki (683-756 H/1240-1355 M) –pakar fiqih, bahasa dan tafsir– ketika menafsirkan ayat:

إياك نعبد
“Hanya Engkaulah yang kami sembah”. (QS. al-Fatihah : 5).
berkata:
“Yakni, kepada-Mulah kami khususkan beribadah yang merupakan puncak dari rasa kekhusyukan dan kerendahan diri”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan ketundukan, kepatuhan, puncak dari penghambaan diri dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Ibadah dalam pengertian ini, tentu hanya diberikan kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain-Nya.

Oleh karena itu memanggil orang yang hidup atau yang sudah meninggal, mengagungkan, ber-istighatsah, berziarah ke makam wali untuk tujuan tabarruk (mendapat barakah), meminta sesuatu yang secara umum tidak mampu dilakukan oleh manusia, dan meminta pertolongan kepada selain Allah bukanlah termasuk ibadah kepada selain Allah, dan sudah barang tentu juga bukan termasuk perbuatan syirik yang dilarang oleh agama. Oleh karena itu, memberikan stigma penyembah kuburan kepada seorang Muslim yang mengamalkan istighatsah, sangat tidak tepat, haram dan termasuk dosa besar. Umat Islam yang Anda vonis sebagai penyembah kuburan, akan menjadi musuh Anda kelak di hari kiamat di hadapan pengadilan Allah SWT. Bertaubatlah dari ajaran Wahabi, dan ikutilah ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah jika Anda ingin selamat kelak di akhirat.”

WAHABI: “Dalil yang Anda gunakan untuk membolehkan istighatsah, yang berupa atsar yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 6/60 no. 3879; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1423 H, adalah lemah sekali. Atsar tersebut sebagai berikut :

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ زِيَادٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْقُرَشِيَّ، يَقُولُ: كَانَ عِنْدَنَا رَجُلٌ بِالْمَدِينَةِ إِذَا رَأَى مُنْكَرًا لا يُمْكِنُهُ أَنْ يُغَيِّرَهُ أَتَى الْقَبْرَ، فَقَالَ:
أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُونَا

Atsar tersebut melalui jalur Abu Ishaaq Al-Qurasyiy, seorang yang majhuul [lihat : Hilyatul-Auliyaa’, 10/141]. Walhaasil, riwayat ini lemah. Apalagi ditambah laki-laki mubham (tidak disebut namanya) – seandainya kita ingin berhujjah dengan perbuatan dan syair yang diucapkannya, semakin menambah kelemahannya.”

SUNNI: “Ada dua tanggapan berkaitan pernyataan Anda tersebut.

Pertama, tanggapan Anda ini membuktikan bahwa larangan beristighatsah datang dari Ibnu Taimiyah secara pribadi, Syaikhul-Islam kaum Wahabi. Sedangkan sebelum Ibnu Taimiyah, tidak ada ulama yang melarang apalagi mensyirikkan istighatsah dan menganggapnya sebagai penyembah kuburan. Sebelumnya telah saya tegaskan sebagai berikut, dan Anda tidak mampu memberikan tanggapan, bukti bahwa ajaran Anda adalah dari Abu Jahal dan Abu Lahab, (sebagaimana akan kami buktikan di akhir tulisan ini).

Ibnu Taimiyah sendiri ketika disidang oleh para ulama tentang istighatsah, ternyata dia tidak melarang istihgatsah dengan makna di atas, akan tetapi melarang istighatsah dengan makna ibadah. Dalam hal ini al-Hafizh Ibnu Katsir, murid Ibnu Taimiyah kebanggaan kaum Wahabi pengikut Tanduk Syetan, dan al-Hafizh Ibnu Rajab bercerita:

في شوال من السنة المذكورة: اجتمع جماعة كثيرة من الصوفية، وشكواه الشيخ إلى الحاكم الشافعي، وعقد له مجلس لكلامه من ابن عربي وغيره، وادعى عليه ابن عطاء بأشياء، ولم يثبت منها شيئاً، لكنه اعترف أنه قال: لا يستغاث بالنبي صلى الله عليه وسلم، استغاثة بمعنى العبادة، ولكن يتوسل به، فبعض الحاضرين قال: ليس في هذا شيء. ورأى الحاكم ابن جماعة: أن هذا إساءة أدب، وعنفه على ذلك، فحضرت رسالة إلى القاضي: أن يعمل معه ما تقتضيه الشريعة في ذلك، فقال القاضي: قد قلت له ما يقال لمثله. ثم إن الدولة خيروه بين أشياء، وهي الإِقامة بدمشق، أو بالإسكندرية، بشروط، أو الحبس، فاختار الحبس
“Pada bulan Syawal tahun tersebut banyak kelompok dari kaum Shufi berkumpul dan mengadukan Ibnu Taimiyah kepada Qadhi (Hakim) bermadzhab al-Syafi’i. Lalu dibuatlah majlis untuk menyidang Ibnu Taimiyah, karena perkataannya tentang Ibnu ‘Arabi dan lainnya. Ibnu ‘Atha’ mendakwanya dengan beberapa persoalan, ternyata tak satupun darinya yang terbukti. Akan tetapi Ibnu Taimiyah mengaku bahwa dia berpendapat, tidak boleh ber-istighatsah dengan Nabi SAW dengan makna beribadah kepada Nabi SAW, akan tetapi boleh beristighatsah dengan makna bertawasul. Maka sebagian orang yang hadir berkata: “Pendapat Ibnu Taimiyah yang ini tidak bisa dituntut. Dan Hakim Ibnu Jama’ah berkata: “Bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut merupakan etika yang buruk kepada Rasulullah SAW,” dan beliau menegurnya atas hal tersebut. Lalu datang surat kepada Qadhi, agar Ibnu Taimiyah ditindak sesuai dengan tuntutan syari’at mengenai etikanya yang buruk itu. Lalu Qadhi berkata: “Aku telah berkata kepadanya, apa yang dikatakan kepada yang sesamanya. Kemudian negara memberinya pilihan, yaitu tinggal di Damaskus, atau di Iskandariyah dengan beberapa syarat, atau masuk penjara. Lalu Ibnu Taimiyah memilih masuk penjara.” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 14, hal 51, dan Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Dzail ‘ala Thabaqat al-Hanabilah, juz 2 hal. 329).
Dalam fakta sejarah di atas, jelas sekali bahwa di hadapan persidangan para ulama, Ibnu Taimiyah hanya melarang beristighatsah dengan Nabi SAW dalam arti beribadah kepada beliau, bukan dalam arti bertawasul, sebagaimana kami jelaskan. Kemudian meskipun perkataan Ibnu Taimiyah tersebut tidak bisa diajukan sebagai dakwaan, tetapi para ulama menganggapnya sebagai etika yang buruk (su’ul adab) kepada Rasulullah SAW, dan dia harus mendekam di penjara. Tampaknya, dalam persidangan tersebut, Ibnu Taimiyah berusaha mengelak dari pendapatnya dalam kitab-kitabnya yang kemudian diusung oleh kaum Wahabi. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, adakalanya karena ia merasa tidak punya hujjah untuk mempertahankannya, atau memang merasa bersalah dengan pendapatnya. Atau ia sadar akan kesalahannya, tetapi masih diikuti oleh kaum Wahabi.

Di sini perlu saya tambahkan, seandainya sebelum Ibnu Taimiyah ada seorang ulama saja, yang melarang istighatsah dengan Nabi SAW atau wali, tentu Ibnu Taimiyah akan menyebutkan di hadapan persidangan para ulama, untuk mempertahankan fatwanya yang batil itu. Ternyata dalam persidangan tersebut Ibnu Taimiyah, tidak mengaku mengeluarkan fatwa larangan istighatsah, dan bahkan mengaku bahwa yang dilarangnya adalah beristighatsah dengan arti ibadah. Bukti bahwa sebelum Ibnu Taimiyah tidak ada ulama yang melarang istighatsah. Pertanyaan kami kepada para Ustadz Wahabi, yang pakar hadits, “mengapa tulisan di atas tidak kalian tanggapi?”

Kedua, berkaitan dengan atsar di atas yang Anda nilai lemah, dengan alasan “Abu Ishaaq Al-Qurasyiy, seorang yang majhuul [lihat : Hilyatul-Auliyaa’, 10/141]. Walhaasil, riwayat ini lemah. Apalagi ditambah laki-laki mubham (tidak disebut namanya) – seandainya kita ingin berhujjah dengan perbuatan dan syair yang diucapkannya, semakin menambah kelemahannya”. Komentar kami sebagai berikut:

1) Seandainya atsar di atas memang lemah, Anda tidak bisa menyalahkan kami ketika mengutip atsar di atas dari al-Baihaqi yang meriwayatkannya dalam Syu’ab al-Iman. Sepertinya Anda tidak membaca kitab Syu’ab al-Iman dari mukaddimah pengarangnya, al-Imam al-Baihaqi dan tujuan kitab tersebut ditulis. Al-Imam al-Baihaqi berkata:

وأنا على رسم أهل الحديث أحب أيراد ما أحتاج إليه من المسانيد والحكايات بأسانيدها والاقتصار على ما لا يغلب على القلب كونه كذبا.
“Dan aku mengikuti aturan ahli hadits, ingin menyajikan apa yang aku butuhkan berupa hadits-hadits musnad dan hikayat-hikayat dengan sanad-sanadnya, serta membatasi pada apa yang menurut dugaan kuat tidak dusta.” (al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, juz 1, hal. 84).
Jadi al-Baihaqi meriwayatkan atsar tersebut, sudah sesuai dengan komitmen yang dijanjikannya, yaitu menyampaikan hadits musnad atau atsar bersanad, yang tidak ada kemungkinan besar palsu atau dusta. Kisah-kisah lemah, sangat ditoleransi dalam bab fadhail al-a’mal, siyar, manaqib dan sejenisnya, sebagaimana dijelaskan dalam mushthalah hadits ahli hadits Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan mushthalah hadits Wahabi pengikut al-Albani.

2) Anda sangat bagus dalam menyalahkan saya, bahwa Abu Ishaq al-Qurasyi yang ada dalam atsar di atas, bukan Abu Ishaq maula ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal al-Hasyimi. Tetapi Anda salah, ketika menyatakan bahwa Abu Ishaq di atas adalah perawi majhul, tidak diketahui kualitasnya, dan merujuk kepada Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’, juz 10 hal. 141. Dalam hal ini Anda hanya bermodal taklid kepada pen-tahqiq kitab Syu’ab al-Iman, Mukhtar al-Nadwi yang cenderung Wahabi. Mengapa Anda saya salahkan, karena Anda tidak mengkaji kitab Syu’ab al-Iman secara utuh.

Dalam kitab Syu’ab al-Iman, al-Baihaqi meriwayatkan atsar dari Abu Ishaq al-Qurasyi sebanyak dua kali. Yang pertama, di juz 6 hal. 60, dalam atsar istighatsah yang tidak ditahqiq dengan sempurna oleh pen-tahqiq nya yang beraliran Wahabi. Mengapa saya katakan tidak sempurna?? Karena dalam ta’liq-ta’liq sebelum dan sesudah atsar tersebut, Mukhtar an-Nadwi selalu memberi penilaian terhadap sanad, shahih atau tidaknya. Sementara atsar Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut, sengaja tidak ia ta’liq, karena berkaitan dengan istighatsah.

Kedua, pada juz 12 hal. 121, berikut ini, al-Baihaqi meriwayatkan astar dari Abu Ishaq al-Qurasyi melalui jalur gurunya al-Hakim yang berkata:

سمعت أبا عبد الله الشيباني يقول سمعت أبي يقول سمعت أبا إسحاق القرشي : و سئل عن السفلة فقال مثل الذي لا يبالي ما قال و ما قيل فيه
“Aku mendengar Abu Abdillah al-Syaibani berkata: “Aku mendengar ayahku berkata: “Aku mendengar Abu Ishaq al-Qurasyi, ketika ditanya tentang safalah, maka ia berkata: “Perumpamaan seseorang yang tidak peduli ada yang dikatakannya dan yang dikatakan orang mengenainya.” (Syu’ab al-Iman, juz 12 hal. 121, cetakan Wahabi).
Ketika men-takhrij atsar tersebut, Mukhtar al-Nadwi berkata:

إسناده جيد، أبو إسحاق القرشي لعله ابراهيم بن محمد بن العباس الشافعي المكي عم الامام الشافعي
“Sanad atsar tersebut jayyid (istimewa/istilah lain dari shahih). Abu Ishaq al-Qurasyi, barangkali Ibrahim bin Muhammad bin al-‘Abbas al-Syafi’i al-Makki, paman al-Imam al-Syafi’i.”
Dalam takhrij barusan, Mukhtar al-Nadwi menilai atsar tersebut jayyid/istilah lain dari shahih, padahal dalam sanadnya terdapat Abu Ishaq al-Qurasyi, yang sebelumnya dikesankan sebagai perawi yang majhul. Sementara pada takhrij sebelumnya (juz 6, hal. 60), Mukhtar al-Nadwi tidak menjelaskan bahwa perawinya semuanya dipercaya, dan mengalihkan pembaca untuk mengetahui kualitas Abu Ishaq al-Qurasyi, agar menelaah kitab Hilyah al-Auliya’ (juz 10 hal. 141), yang tidak memberikan informasi memadai tentang para perawi, sehingga pembaca yang lugu seperti Ustadz Abul Jauzaa’, akan langsung menilainya sebagai perawi majhul. Jadi menurut Mukhtar al-Nadwi, pen-tahqiq Syu’ab al-Iman , Abu Ishaq al-Qurasyi itu bernilai ganda. Ketika membawakan atsar yang berkaitan dengan istighatsah, ia perawi yang majhul. Tetapi ketika membawakan atsar yang tidak berkaitan dengan istighatsah, beliau seorang perawi yang dipercaya. Penilaian ganda semacam ini adalah termasuk Sunnah Sayyi’ah atau bid’ah sayyi’ah nya Syaikh al-Albani dalam kitab-kitabnya. Misalnya, perawi yang bernama Sa’id bin Zaid, haditsnya bernilai hasan ketika meriwayatkan hadits tentang hukum gadai (al-Albani, dalam kitab Irwa’ al-Ghalil, juz 5 hal. 338). Tetapi Sa’id bin Zaid, haditsnya akan bernilai lemah, ketika meriwayatkan hadits tentang tawasul dan tabaruk dengan makam Rasulullah SAW (al-Albani, dalam kitab al-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu , hal. 126). Karakter al-Albani ini sepertinya menular kepada Mukhtar al-Nadwi, pengagum al-Albani. Ustadz Abul Jauzaa’, dan teman-temannya kasihan, menjadi korban penipuan orang-orang seperti al-Albani.

3) Atsar Abu Ishaq al-Qurasyi di atas yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi menjadi bukti yang sangat kuat bahwa istighatsah dengan Rasulullah SAW dan sahabat yang sudah wafat adalah ijma’ ulama salaf yang saleh. Dalam riwayat tersebut dijelaskan:

قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْقُرَشِيَّ، يَقُولُ: كَانَ عِنْدَنَا رَجُلٌ بِالْمَدِينَةِ إِذَا رَأَى مُنْكَرًا لا يُمْكِنُهُ أَنْ يُغَيِّرَهُ أَتَى الْقَبْرَ، فَقَالَ:
أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُونَا
“Aku mendengar Abu Ishaaq Al-Qurasyiy berkata : Dulu di sisi kami ada seorang laki-laki di Madiinah apabila ia melihat kemunkaran yang tidak bisa dirubahnya, ia mendatangi kubur (Nabi) seraya berkata : “Wahai kubur Nabi dan dua shahabatnya (Abu Bakr dan ‘Umar), wahai penolong kami seandainya engkau mengetahui kami”.
Dalam atsar tersebut sangat jelas, bahwa seorang laki-laki yang berkata: “Wahai kubur Nabi dan dua shahabatnya (Abu Bakr dan ‘Umar), wahai penolong kami seandainya engkau mengetahui kami”, di tengah-tengah penduduk Madinah, tanpa ada seorangpun yang menyalahkan, memusyrikkan, dan menganggapnya sebagai penyembah kuburan. Bukti bahwa istighatsah tidak ada yang melarang sebelum datangnya si narapidana, Ibnu Taimiyah. Wallahu a’lam.

WAHABI: “Klaim Anda bahwa syair yang diucapkan laki-laki tak dikenal dalam riwayat di atas adalah syair Nabiighah Al-Ja’diy adalah klaim kosong lagi memaksakan diri.
Pertama, kalau kita mencermati riwayat yang dibawakan Al-Baihaqiy, maka dhahir syair itu diucapkan oleh laki-laki tak dikenal yang semasa dengan Abu Ishaaq Al-Qurasyiy. Jelas, laki-laki itu bukan An-Naabighah atau orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya.

Kedua, sumber yang dipakai Anda untuk menyatakan syair yang diucapkan laki-laki itu adalah syair yang pernah diucapkan oleh An-Naabighah radliyallaahu ‘anhu adalah kitab Al-Isti’aab karangan Ibnu ‘Abdil-Barr. Riwayat yang dibawakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah tersebut berasal dari Al-Haitsam bin ‘Adiy, seorang yang tertuduh melakukan kedustaan lagi matruuk [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdiis/Thabaqaatul-Mudallisiin oleh Ibnu Hajar hal. 146 no. 151]. Dan tidak mungkin Al-Haitsam bin ‘Adiy melihat An-Naabighah dan Abu Muusaa Al-Asy’ariy, karena ia terpaut jaman yang cukup jauh dengan generasi para shahabat. Al-Haitsam wafat tahun 207 H. Kesimpulan riwayatnya ?. Jawab : Sangat lemah.”

SUNNI: “Pernyataan di atas, sepertinya membuktikan bahwa pengetahuan agama Anda sangat minim dan tidak berhati-hati dalam menulis.

Pertama) Anda terlalu kalap dan gegabah menanggapi pernyataan saya. Dalam tulisan sebelumnya, saya tidak menegaskan bahwa laki-laki tak dikenal dalam atsar tersebut adalah sahabat an-Nabighah al-Ja’di. Anda jangan ngawur. Anda harusnya menggunakan hati dan pikiran yang tenang dan jernih, agar tidak terlalu banyak salahnya.

Kedua) laki-laki mubham/tak dikenal dalam atsar di atas, tidak menjadi soal dalam substansi dan nilai atsar tersebut, karena para ulama Madinah, termasuk Abu Ishaq al-Qurasyi, membiarkan dan tidak menganggapnya syirik atau penyembah kuburan, sebagaimana dalam madzhab Wahabi yang Anda ikuti.

Ketiga) sedangkan pernyataan Anda, bahwa “sumber riwayat syair tersebut yang berasal dari al-Haitsam bin Adi, yang bernilai seorang yang tertuduh melakukan kedustaan lagi matruuk”, agaknya ini membuktikan bahwa Anda masih kurang banyak membaca kitab-kitab rijal al-hadits dan sejarah. Mengapa demikian?

1) Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang al-Haitsam bin Adi:

قلت كان أخباريا علامة روى عن هشام بن عروة وعبد الله بن عياش المنتوف ومجالد قال ابن عدي ما أقل ماله من المسند إنما هو صاحب أخبار
“Aku berkata: al-Haitsam bin Adi seorang pakar sejarah dan sangat alim. Ia meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, Abdullah bin Ayyasy al-Mantuf dan Mujalid. Sedikit sekali hadits nya yang musnad. Beliau hanya ahli sejarah.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Lisan al-Mizan, juz 6 hal. 209, terbitan India).
2) Oleh karena al-Haitsam bin Adi seorang ahli sejarah dan sangat alim, para ulama yang menulis sejarah dan biografi para sahabat, banyak yang mengutip riwayat dari al-Haitsam bin Adi dalam kitab-kitab mereka, seperti al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab, al-Hafizh al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah. Tidak sedikit dari nama dan biografi sahabat Nabi SAW, informasinya hanya dari jalur al-Haitsam bin Adi. Silahkan Anda baca ketiga kitab yang ana sebutkan barusan wahai Ustadz Abul Jauzaa’, Ustadz Muslmulyadi, Ustadz Firanda.com, Ustadz Abu Unaisah dan lain-lain.

3) Anda para ustadz wahabi, jangan terlalu kritis menanggapi perawi al-Haitsam bin Adi. Bersikaplah secara adil dan jujur. Karena kaum Anda, sangat membela mati-matian perawi seperti Saif bin Umar al-Tamimi dan al-Waqidi. Silahkan Anda, dalami sendiri orang-orang seperti Saif bin Umar al-Tamimi, dalam kitab yang pasti sangat Anda kagumi, yaitu kitab Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah, tulisan Dr Muhammad Amhazun. Atau Anda teliti catatan kaki, Muhibbuddin al-Khathib terhadap kitab al-‘Awashim yang terzhalimi dan dipalsu oleh Wahabi.

4) Kisah tentang sahabat an-Nabighah al-Ja’di, yang ber-istighatsah dengan Nabi SAW, adalah kisah sejarah sahabat, bukan hadits Nabi SAW. Oleh karena itu, para ulama selevel al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, masih toleran dan menerima riwayat dari al-Haitsam bin Adi. Lagi pula sebelum Ibnu Taimiyah, tidak ada ulama yang mensyirikkan atau memvonis istighatsah sebagai memyembah kuburan. Anda harus faham itu wahai para ustadz wahabi. Ajaran Anda yang anti istighatsah, itu ajaran sesat, ajaran Abu Jahal dan Abu Lahab, bukan ajaran ulama Salaf. Anda harus faham. Semoga Anda bisa memahami dengan baik, amin.

WAHABI: “Jadi,... rajut-merajut kisah ala Muhammad Idrus Ramli di atas batal dari awal hingga akhir, kekeliruan di atas kekeliruan.”

SUNNI: “Pembaca bisa menilai, saya atau si Wahabi yang keliru terus?”

WAHABI: “Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat kemunkaran yang tidak sanggup diubah adalah jelas, yaitu melalui sabdanya :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa yang melihat kemunkaran, hendaknya ia rubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ia rubah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, At-Tirmidziy no. 2172, Abu Daawud no. 1140 & 4340, An-Nasaa’iy no. 5008-5009, Ibnu Maajah no. 1275 & 4013, dan yang lainnya dari shahabat Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu].
Tak ada dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam perintah mendatangi kubur beliau atau kubur orang shaalih sepeninggal beliau untuk meminta tolong dan berkeluh-kesah.”

SUNNI: “Dalam hadits di atas dan hadits-hadits lain, tidak ada larangan Rasulullah SAW atau vonis syirik dan penyembah kuburan, bagi orang yang mendatangi kubur beliau atau kubur orang shaalih sepeninggal beliau untuk meminta tolong dan berkeluh-kesah. Anda melarang dan mensyirikkan, jelas melanggar ajaran Rasulullah SAW. Dalam catatan saya sebelumnya, telah saya sampaikan data dan fakta istighatsah kaum salaf, sahabat dan ahli hadits. Tetapi tidak Anda tanggapi secara menyeluruh. Justru tanggapan Anda, hanya melokalisir persoalan pada sosok pribadi an-Nabighah al-Ja’di dan astar Abu Ishaq al-Qurasyi.”

WAHABI: “Syair an-Nabighah al-Ja’di, diriwayatkan Ibnul-Jauziy dalam Al-Aghaaniy no. 127 lengkap dengan sanadnya sebagai berikut :

أَخْبَرَنِي أَبُو الْحَسَنِ الأَسَدِيُّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَالِحٍ، وَهَاشِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْخُزَاعِيُّ أَبُو دُلَفَ، قَالا: حَدَّثَنَا الرِّيَاشِيُّ، قَالَ: قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ عَنِ الْهَيْثَمِ بْنِ عَدِيٍّ، قَالَ: " رَعَتْ بَنُو عَامِرٍ بِالْبَصْرَةِ فِي الزَرْعِ، فَبَعَثَ أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فِي طَلَبِهِمْ، فَتَصَارَخُوا يَا آلَ عَامِرٍ يَا آلَ عَامِرٍ، فَخَرَجَ النَّابِغَةُ الْجَعْدِيُّ وَمَعَهُ عُصْبَةٌ لَهُ، فَأُتِيَ بِهِ إِلَى أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، فَقَالَ لَهُ: مَا أَخْرَجَكَ؟ قَالَ: سَمِعْتُ دَاعِيَةَ قَوْمِي، قَالَ: فَضَرَبَهُ أَسْوَاطًا، فَقَالَ النَّابِغَةُ:
رَأَيْتُ الْبَكْرَ بَكْرَ بَنِي ثَمُودٍ وَأَنْتَ أَرَاكَ بَكْرَ الأَشْعَرِينَا
فَإِنْ يَكُنِ ابْنُ عَفَّانَ أَمِينَا فَلَمْ يَبْعَثْ بِكَ الْبَرَّ الأَمِينَا
فَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَسْمُعَونَا
أَلا صَلَّى إِلَهَكُمْ عَلَيْكُمْ وَلا صَلَّى عَلَى الأُمَرَاءِ فِينَا

SUNNI: “Tulisan yang sangat memalukan. Sepertinya Ustadz Abul Jauzaa’ mengutip pernyataan di atas dari Syaikh Google. Mengapa?? Semua orang yang berilmu tahu dan faham, bahwa kitab al-Aghani bukan karangan Ibnul-Jauziy, akan tetapi karangan Abul-Faraj al-Ashbihani. Keduanya berbeda dalam profesi, masa, generasi, madzhab, akidah dan lain-lain. Hanya saja kedua-duanya sama-sama dipanggil dengan nama Abul-Faraj. Sepertinya menurut Abul Jauzaa’, setiap orang yang kun-yah nya Abul-Faraj adalah Ibnu Jauzi. Jangan kalap Ustadz, untuk menanggapi tulisan saya. Santai saja.

Terakhir, mengapa kaum Wahabi saya katakan sebagai pengagum ajaran Abu Jahal dan Abu Lahab??? Jelas, karena kaum Wahabi meyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih mantap tauhidnya dan lebih bersih imannya daripada kaum Muslim yang bertawasul dan beristighatsah. Sebagaimana dijelaskan oleh Si Tanduk Syetan Besar Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, dan diteruskan oleh si Tanduk Setan kecil Muhammad bin Ahmad Basymil dalam buku sampahnya yang berjudul Kaifa Nafhamu al-Tauhid hal. 16. Kitab ini disebarluaskan oleh para ustadz di Indonesia alias kaum Wahabi secara gratis.

DEMIKIAN TANGGAPAN KAMI KEPADA ABUL JAUZAA’. BEBERAPA TULISAN DI DALAMNYA, DAN KOMENTAR MUSMULYADI LUKMAN, BAHWA IBNU TAIMIYAH, TAHU SEGALA-GALANYA, TIDAK PERLU SAYA KOMENTARI, KARENA ITU HANYA PERNYATAAN PARA PENGAGUMNYA SAJA. LAGI PULA, KAMI SUDAH MEMBUKTIKAN KESALAHAN, DAN KEBOHONGAN IBNU TAIMIYAH, TERNYATA SAMPAI SEKARANG MUSMULYADI, ABUL-JAUZA’ DAN FIRANDA, TIDAK BISA MEMBELA SYAIKHUL ISLAMNYA. SEBAGAIMANA TELAH KAMI TULIS DALAM CATATAN SEBELUMNYA DI FP INI.

Sekian tanggapan saya terhadap komentar Ustadz Abul-Jauzaa’, yang ditunggu-tunggu oleh sebagian kaum Wahabi. Astaghfirullaahal ‘azhiim min kulli dzanbin ‘azhiim. Mohonmaaf atas keterlambatan tanggapan ini, karena beberapa hari ini banyak kesibukan. Wallaahu a’lam.

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
Read more ...

Ustadz Idrus Ramli Menjawab Firanda (Wahabi) Mengenai Tahlilan


fakta wahabi
Ini adalah jawaban dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Ustadz Firanda di Websitenya mengenai Tahlilan.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Menjawab Menjawab Firanda Mengenai "Ustadz Idrus Ramli Menjawab Firanda Mengenai Tahlilan"

DIALOG DENGAN WAHABI ANTI TAHLILAN

Beberapa member FP, dari kaum Wahabi yang anti Tahlilan, menulis link ke situs Ustadz Wahabi, yaitu Dr Firanda Andirja, yang menulis bantahan tentang tradisi Tahlilan. Berikut ini jawaban kami terhadap artikel tersebut, secara singkat. Kami tulis dalam bentuk dialog agar mudah dipaham oleh pembaca.

WAHABI: “Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?". Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?”


SUNNI: “Kenyataan di lapangan, yang sangat ngotot memerangi Tahlilan adalah kaum Wahabi, bukan selain Wahabi. Terus mau apalagi?”

WAHABI: “Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!”

SUNNI: “Sudah kami katakan berulang kali, bahwa para ulama Syafi’iyah hanya memakruhkan selamatan/kenduri kematian. Dan makruhnya masih makruh tanzih, bukan tahrim. Para ulama Salaf, dan madzahibul arba’ah (madzhab empat), tidak ada yang mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan. Jadi mereka sepakat tidak mengharamkan.

Imam al-Syafi’i dan Imam al-Nawawi, dengan pendapatnya tersebut bukan Wahabi. Beliau berdua sepakat membagi bid’ah menjadi dua, hasanah dan sayyi’ah, bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dan lain-lain yang dikafirkan dan disyirikkan oleh kaum Wahabi.

Anda perlu mempelajari teori bermadzhab. Agar mengerti hakikat bermadzhab, dan tidak dengan mudah menyalahkan orang karena tidak konsisten dalam bermadzhab. Sehingga tulisan Anda menjadi bahan tertawaan kalangan berilmu.”

WAHABI: “Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan.

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).”


SUNNI: “Anda mengatakan hal tersebut sebagai ijma’, pertanyaan kami, kitab apa yang menjadi dasar rujukan Anda??? Jelasnya, Nabi SAW, sahabat dan ulama Salaf telah berijma’ tidak mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan, bahkan sebagian menganjurkan sebagaimana kami tulis dalam catatan sebelumnya.”

WAHABI: “Istri Nabi SAW yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”

SUNNI: “Anda selalu berdalil dengan teori tarku, Nabi SAW tidak mengerjakan ini dan itu. Sekarang kami bertanya kepada Anda, apakah Nabi SAW pernah melarang kenduri kematian dan Tahlilan, hari ke 3, 7, 40, 100, 1000??? Kalau Nabi SAW tidak melarang, bukankah larangan Anda juga termasuk bid’ah????”

WAHABI: “Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)

فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
"Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)”
SUNNI: “Lebih indah lagi adalah sabda Rasulullah SAW yang membenarkan bid’ah hasanah:

قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR Muslim).
Hadits di atas menjadi Dalil Bid’ah Hasanah, sebagaimana seringkali kami jelaskan dengan mengutip pernyataan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Kalau Anda menggugat kami sebagai pengikut Imam al-Syafii, harus Anda ketahui bahwa Imam al-Syafii berkata:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Anda juga harus tahu, bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama yang paling Anda kagumi melebihi seluruh ulama salaf, para sahabat dan tabi’in, juga mengakui bid’ah hasanah, dan berkata :

وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلاَلُ مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i RA berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).
WAHABI: “Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!”

SUNNI: “Guru-guru Anda kaum Wahabi telah sepakat dan berijma’ bolehnya menggelar hari nasional Kerajaan Saudi Arabia, dan menggelar acara Usbu’ Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi (pekan pendiri Wahabi), setiap tahun yang digelar di Riyadh. Tolong Anda tanyakan kepada guru-guru Anda yang masih hidup. Apa bedanya hal tersebut dengan Tahlilan, Maulid Nabi SAW, Haul dan lain-lain???””

WAHABI: “B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan

Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132
Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)”
SUNNI: “Ada beberapa tanggapan terhadap pernyataan Anda di atas:

Pertama, Anda berarti tidak tahu kondisi riil di masyarakat. Umat Islam Indonesia, dalam kenduri kematian tidak meninggalkan Sunnah. Justru mereka telah melakukannya, dengan berbondong-bondong menyumbangkan beras, kebutuhan pokok dan uang untuk keluarga duka cita.

Kedua, Kesunnahan membantu keluarga duka cita, itu adalah mafhum, bukan manthuq, dari hadits di atas. Nah, karena hal tersebut bersifat mafhum, tentu adanya hukum sunnah dan makruh itu karena ada ‘illat, yaitu meringankan atau memberatkan keluarga duka cita. Ketika ‘illat tersebut hilang, maka hukumnya juga berubah, sebagai banyak sekali dikemukakan oleh para ulama, alhukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman. Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyah berfatwa, bahwa ketika jamuan makanan itu hasil sumbangan dari tetangga atau kerabat jauh, maka hal tersebut tidak dihukumi makruh. Fahham ya duktuur Firanda Andirja. Oleh karena kutipan Anda dari kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, tidak begitu penting untuk dibahas di sini, karena Anda tidak memahaminya dari perspektif ilmu fiqih.”

WAHABI: “Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??”

SUNNI: “Sebaiknya Anda mempelajari terlebih dahulu teori bermadzhab, dan mendalami kaitan agama, dakwah dan tradisi, agar Anda tidak bertanya seperti di atas, yang sama sekali tidak berbobot.”

WAHABI: “Kedua : Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas.”

SUNNI: “Kreasi Tahlilan, yaitu bacaan campuran antara ayat al-Qur’an, shalawat, kalimah Thayyibah dan lain-lain, tidak pernah dibid’ahkan oleh ulama manapun, kecuali kaum Wahabi seperti Anda. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah membenarkannya dan berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:

وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم" فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )... وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).”
WAHABI: “Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih"

SUNNI: “Pernyataan Jarir bin Abdullah, bukan kesepakatan semua sahabat, terbukti dengan atsar dari Khalifah Umar dan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana kami paparkan sebelumnya. Silahkan Anda mengikuti Jarir, dan biarkan umat Islam mengikuti atsar Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum.”

WAHABI: “Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.”

SUNNI: “Pernyataan Anda telah ditolak oleh guru kaum Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Baz yang berfatwa, menganjurkan membaca surah al-Ikhlash dan Mu’awwidzatain setiap selesai shalat secara rutin, dan setiap selesai shalat shubuh dan maghrib tiga kali secara rutin. Demikian ini dianjurkan untuk menolak sihir dan aneka keburukan. Hal tersebut juga tidak ada dasar seperti yang Anda gugatkan kepada kami Ustadz Firanda. Silahkan Anda baca dalam, Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syaikh Ibnu Baz, juz 8, hal. 115, dan juz 8 hal. 88. Fatwa tersebut juga banyak disampaikan dalam fatwa-fatwa dan rosail beliau.”

WAHABI: “Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.”

SUNNI: “Qiyas Anda sungguh Qiyas yang bathil. Menyamakan shalat dengan Tahlilan. Anda gugat saja guru-guru Anda, kaum Wahabi yang telah berijma’ membolehkan menggelar syukuran hari raya Nasional Kerajaan Saudi Arabia dan Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setiap tahun. Anda gugat dengan cara Qiyas Anda di atas, pasti mereka akan menertawakan Anda karena Qiyas Anda tidak nyambung.”

WAHABI: “Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.”

SUNNI: “Anda melarang doa selama 7 hari, padahal ada atsar dari Thawus, ‘Ubaid bin ‘Umair dan Mujahid. Berarti menurut Anda, Tahlilan itu boleh selama tidak dibatasi dengan hari-hari tertentu seperti 3, 7, 40, 100 dan 1000??? Mana dalil khusus yang menerangkan hal ini????

WAHABI: “Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.”

SUNNI: “Kalau pengiriman pahala bacaan al-Qur’an masih diperselisihkan oleh ulama, mengapa Anda mempersoalkan???? Ini kan masalah khilafiyah klasik. Bukankah dalam kaedah fiqih terdapat kaedah, laa yunkarul mukhtalafu fiih wainnamaa yunkarul mujma’u ‘alaih (tidak perlu mengingkari persoalan khilafiyah, akan tetapi yang perlu diingkari adalah persoalan yang disepakati oleh seluruh ulama). Ini kaedah dalam madzhab Syafii. Seandainya Imam al-Syafii, masih hidup pasti akan menegur Anda, yang membesarkan persoalan khilafiyah.”

WAHABI: “Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.”

SUNNI: “Ini ijtihad Anda sendiri, tidak ada ulama yang memberikan persyaratan yang mengirim pahala al-Qur’an itu harus orang yang amanah. Anda mengqiyaskan hal ini dengan tukang wesel pos atau pengantar surat. Qiyas macam apa ini wahai duktur Firanda?”

WAHABI: “Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :

- Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur'an.”


SUNNI: “Pernyataan Anda sangat lucu, dan membuktikan bahwa Anda kurang banyak membaca kitab-kitab para ulama, termasuk para ulama panutan Wahabi yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Ibnu Taimiyah, panutan kaum Wahabi berkata:

وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).
“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).
WAHABI: “Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!”

SUNNI: “Anda tidak berhak mengurus hati orang lain. Itu urusan dia dengan Allah.”

WAHABI: “Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!”

SUNNI: “Owh berarti Anda juga membenarkan menyewa orang membaca al-Qur’an di kuburan, asal dia fasih membacanya dan sesuai dengan Tajwid. Kan begitu. Terima kasih kalau pendapat Anda begitu. Tetapi mengapa Anda sangat marah dengan baca al-Qur’an di kuburan???? Terakhir, kami akan memberi hadiah kepada Anda, pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran jahat Wahabi, yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan, dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut, terbitan Saudi Arabia,

وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).
Ustadz Firanda, kitab Ahkam Tamannil Maut tersebut, diterbitkan pemerintahan Saudi Arabia, dan ditahqiq oleh dua ulama Wahabi senior, yaitu Abdurrahman bin Muhammad al-Sadhan dan Abdullah bin Jibrin.
Wallahu a’lam.
Read more ...

Hadits Istighatsah Yang Di Dha'ifkan Oleh Kaum Wahabi (Takhrij Hadits "Yaa Muhammad")


fakta wahabi
Ini adalah Bantahan dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap Kaum Wahabi yang Mendha'ifkan Atsar Ibnu Umar, yaitu seperti Al-Bani, Mahrus Ali, Firanda dan Ustadz-Ustadz Wahabi yang lainnya.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Bantahan dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap Kaum Wahabi yang Mendha'ifkan Atsar Ibnu Umar mengenai "Hadits Istighatsah Yang Di Dha'ifkan Oleh Kaum Wahabi (Takhrij Hadits "Yaa Muhammad")

TULISAN INI SEBAGAI BANTAHAN TERHADAP KAUM WAHABI YANG MENDHA’IFKAN ATSAR IBNU UMAR, YAITU AL-ALBANI, MAHRUS ALI, FIRANDA DAN USTADZ-USTADZ WAHABI LAINNYA.

Kaum Wahabi berpandangan bahwa istighatsah dengan Nabi SAW atau orang shalih yang sudah wafat termasuk syirik akbar, murtad dan keluar dari Islam. Na’udzu billah min dzalik. Sementara kaum Muslimin sejak generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya membolehkan istighatsah dengan Nabi SAW atau orang shalih yang sudah wafat. Di antara dalil yang menganjurkan dan membolehkan istighatsah adalah hadits mauquf dari Ibnu Umar RA yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Mengingat atsar atau hadits mauquf ini tidak menyenangkan bagi kaum Wahabi, sebagian Wahabi menolak keshahihan hadits tersebutsecara tidak ilmiah, dan bahkan sebagian mereka ada yang mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Imam al-Bukhari. Oleh karena itu, tulisan berikut ini akan mengkaji hadits Ibnu Umar RA tersebut secara ilmiah. Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”
Hadits di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.

Pertama, diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]).

Kedua, diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari Abdurrhman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d (al-Musnad, [2539, h. 369]), Ibnu Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits [II/674]), Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu Asakir (Tarikh Madinah Dimasyq, [XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal, [XVII/142]).

Ketiga, diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hanasy. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [170, h. 115]).

Keempat, diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari Abi Syu’bah. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [168, h. 114]).

Kelima, diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang mendengar Ibnu Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits, [h. 674]).

Derajat Hadits

Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan al-Tsauri, dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan Abdurrahman bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib, [3877]) dan Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas bernilai shahih tanpa keraguan. Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim al-Thayyib, [h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-Wabil al-Shayyib, [h. 302]) menganggap istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan yang baik (kalimah thayyibah). Beliau juga menganjurkan agar ucapan istighatsah “Ya Muhammad” tersebut diamalkan oleh orang yang kakinya terkena mati rasa.

Bersama Kaum Wahabi

Hadits shahih di atas, merupakan dalil yang sangat tegas tentang kebolehan istighatsah. Dan tentu saja, kaum Wahabi berupaya menepis keshahihan hadits tersebut dengan berbagai alasan. Dalam upaya menolak keshahihan hadits di atas, kaum Wahabi terbagi menjadi dua aliran.

Pertama, kaum awam seperti Mahrus Ali – dalam Sesat Tanpa Sadar-nya -, yang menolak hadits di atas, dengan alasan hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain (bukan jalur di atas) yang sangat lemah. Tentu saja, kelompok awam ini tidak perlu dilayani. Kelompok ini karena keawamannya dalam bidang ilmu hadits, akan menolak setiap hadits shahih, yang diriwayatkan melalui jalur lain yang lemah. Kelompok awam ini tidak segan-segan mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari karena telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar RA di atas.

Kedua, kaum alim seperti al-Albani dan lain-lain yang berusaha merekayasa kedha’ifan hadits di atas secara “ilmiah”. Kelompok ini yang akan kita layani. Dalam mengomentari hadits di atas al-Albani berkata dalam catatan al-Kalim al-Thayyib:

ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ (٩٦٤) وَابْنُ السُّنِّيُّ (١٦٨)، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ هَذَا وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، فَالْعِلَّةُ مِنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ، مِنْ اخْتِلاَطِهِ وَتَدْلِيْسِهِ، وَقَدْ عَنْعَنَهُ فِيْ كُلِّ الرِّوَايَاتِ عَنْهُ.
Hadits dha’if, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (964) dan Ibnu al-Sunni (168). Abdurrahman bin Saad ini dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i. Jadi illat (alasan) kedha’ifan hadits ini terletak pada Abu Ishaq, karena faktor ikhtilath (berubah hafalannya) dan tadlis (menyamarkan riwayat). Ia telah meriwayatkannya secara mu’an’an (memakai redaksi “dari”) dalam semua riwayat.” (Al-Albani, al-Kalim al-Thayyib, h. 173).
Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan kedhaifan hadits tersebut terletak pada perawi Abu Ishaq Amr bin Abdullah al-Sabi’i, yang 1) ikhtilath, dan 2) melakukan tadlis (menyamarkan riwayat).

Alasan Ikhtilath

Sekarang kita akan mengkaji secara ilmiah, kedua faktor di atas yang menjadi alasan Wahabi dalam mendha’ifkan atsar Ibnu Umar di atas. Pertama, seputar faktor ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini adalah, benarkah mendha’ifkan atsar Ibnu Umar tersebut dengan alasan ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i? Jawabannya, tentu tidak benar karena tiga alasan:

Pertama, alasan ikhtilath hanya bisa digunakan ketika perawi dari Abu Ishaq al-Sabi’i menerima hadits di atas setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, seperti riwayatnya Zuhair bin Muawiyah, al-Haitsam bin Hanasy dan Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan hadits Ibnu Umar tersebut juga diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Oleh karena itu, al-Albani hanya mengomentari riwayat hadits di atas, yang melalui jalur al-Haitsam bin Hanasy dalam al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah. Al-Albani tidak memberikan komentar terhadap riwayat Sufyan al-Tsauri ketika men-ta’liq al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari. Dengan kecerdikannya, al-Albani hanya mengalihkan pembaca agar merujuk kepada al-Kalim al-Thayyib, yang dimungkinkan dilakukan pendha’ifan karena faktor ikhtilath¬-nya Abu Ishaq. Sedangkan, riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad tidak mungkin didha’ifkan dengan dalih ikhtilath. Di sini jelas sekali nilai kejujuran al-Albani dalam kajian ilmu hadits.

Kedua, seandainya kita menerima klaim al-Albani bahwa al-Haitsam bin Hanasy menerima hadits tersebut setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, para ulama ahli hadits justru menolak dan tidak mempersoalkan asumsi ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam konteks ini al-Hafizh al-Dzahabi berkata:

عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ شَاخَ وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ.
Amr bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di Kufah dan kuat hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan tidak pernah ikhtilath. (Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).
Pernyataan al-Dzahabi di atas telah menepis adanya dugaan ikhtilath terhadap Abu Ishaq.

Al-Hafizh al-Dzahabi juga memasukkan Abu Ishaq dalam kategori para perawi tsiqah yang dipersoalkan, tetapi haditsnya tidak dapat ditolak (harus diterima). Dalam hal ini al-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum sebagai berikut:

أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.
Abu Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami masa tua, hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath). (Al-Hafizh al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum, [h. 203]).
Ketiga. Seandainya klaim ikhtilath-nya Abu Ishaq kita terima, para ulama memasukkan ikhtilath-nya Abu Ishaq dalam kategori kelompok pertama, yaitu ikhtilath yang tidak menimbulkan kedha’ifan dalam riwayat dan tidak menurunkan martabat perawi, adakalanya karena masa ikhtilath-nya yang sebentar dan sedikit, dan adakalanya karena ia tidak meriwayatkan hadits ketika mengalami ikhtilath, sehingga haditsnya selamat dari kekeliruan. Dalam konteks ini al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’i berkata:

وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ أَبِيْ إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ.
Tidak seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan tentang ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu Ishaq secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath dalam haditsnya. Ia juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h. 94]).
Berdasarkan paparan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa penolakan kaum Wahabi seperti al-Albani terhadap riwayat Abu Ishaq karena alasan ikhtilath, tidak dapat diterima, karena para imam tidak mempersoalkan ikhtilath yang dinisbatkan terhadap Abu Ishaq al-Sabi’i. Disamping itu Sufyan al-Tsauri meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath.

Alasan Tadlis

Setelah kita mengkaji faktor ikhtilath yang ada pada Abu Ishaq, sekarang kita mengkaji penolakan kaum Wahabi terhadap riwayat Abu Ishaq dengan alasan kedua, yaitu faktor tadlis.

Secara kebahasaan, tadlis artinya menyamarkan. Sedangkan mudallis adalah perawi yang melakukan tadlis. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, tadlis terbagi menjadi dua.

Pertama. penyamaran sanad atau tadlis isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa, dengan mengesankan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut darinya, padahal ia tidak mendengarnya secara langsung, seperti dengan berkata “fulan berkata”, “dari fulan”, dan sesamanya.

Kedua, penyamaran guru atau tadlis syuyukh, yaitu menyebut gurunya dengan nama, kunyah, nisbat atau sifat yang tidak dikenal oleh orang lain.

Yang menjadi persoalan terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i di sini adalah tadlis bagian pertama, yaitu tadlis isnad. Dalam ilmu mushthalah al-hadits diterangkan, perawi yang dikenal melakukan tadlis, apabila dalam periwayatannya tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal. Apabila ia menjelaskan bahwa ia mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya diterima dan dijadikan hujjah. Dalam konteks ini, Abu Ishaq termasuk perawi mudallis (melakukan penyamaran sanad). Selama ia tidak menjelaskan bahwa riwayatnya ia terima secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal dan lemah.

Pertanyaannya di sini adalah, setelah Abu Ishaq terbukti sebagai perawi yang mudallis, lalu dalam hadits tersebut ia meriwayatkan secara mu’an’an, maka dapatkah hadits di atas dinilai dha’if? Jawabannya, hadits tersebut tidak bisa dinilai dha’if, karena kelemahan riwayat Abu Ishaq sebab faktor mu’an’an di atas telah diselamatkan oleh riwayat Syu’bah darinya. Dalam konteks ini al-Imam Syu’bah berkata:

عَنِ النَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ شُعْبَةَ يَقُوْلُ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، اْلأَعْمشِ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ وَقَتَادَةَ. (الحافظ محمد بن طاهر المقدسي، مسألة التسمية ص/٤٧، والحافظ ابن حجر، النكت على مقدمة ابن الصلاح ص/٦٣٠).
Al-Nadhar bin Syumail berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlis-nya tiga orang, al-A’masy, Abu Ishaq dan Qatadah.” (Al-Hafizh Ibnu Thahir, [Mas’alah al-Tasmiyah, 47], dan Ibnu Hajar [al-Nukat ‘ala Ibn al-Shalah, 630]).
Ulama Wahabi kontemporer, Mushthafa al-‘Adawi berkata:

مَا حُكْمُ عَنْعَنَةِ اْلأَعْمَشِ وَقَتَادَةَ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيِّ؟ ج: يَلْزَمُ أَنْ يُصَرّحَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالتَّحْدِيْثِ فَإِنَّهُمْ مُدَلِّسُوْنَ، لَكِنْ إِذَا رَوَى عَنْهُمْ شُعْبَةُ فَلاَ تَضُرُّ عَنْعَنَتُهُم، فَإِنَّهُ قَالَ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَهُمْ وَقَدْ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ مِنْ فَتْحِ الْبَارِيْ: إِنَّ رِوَايَةَ شُعْبَةَ عَنْ أَيِّ مُدَلِّسٍ تَجْبُرُ عَنْعَنَةَ ذَلِكَ الْمُدَلِّسِ (هَذَا مَضْمُوْنُ كَلاَمِهِ).
Soal: Bagaimana hukum ‘an’anah-nya al-A’masy, Qatadah dan Abi Ishaq al-Sabi’i? Jawab: Mereka harus menjelaskan secara tahdits (menerima langsung dari gurunya) karena mereka perawi mudallis. Akan tetapi apabila Imam Syu’bah meriwayatkan dari mereka, maka ‘an’anah mereka tidak berba-haya. Karena Syu’bah telah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlisnya tiga orang.” Kemudian menyebut ketiganya. Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan di beberapa tempat dalam Fath al-Bari, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari perawi mudallis, dapat mengangkis ‘an’anah-nya mudallis tersebut. Ini kesimpulan ucapan beliau. (Mushthafa al-‘Adawi, [Syarh ‘Ilal al-Hadits, h. 56]).
Paparan di atas menyimpulkan, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i yang dikenal mudallis dapat menyelamatkan riwayatnya dari kelemahan karena faktor tadlis. Sementara Ibrahim al-Harbi telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar RA di atas melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam Gharib al-Hadits, al-Harbi berkata:

١) حَدَّثنَا عَفَّانُ حَدَّثنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبى إٍسْحِاقَ عَمَّنْ سمِعَ ابن عُمَرَ قَالَ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَيِلَ : اذْكُرَ أَحَبَّ النَّاسٍ . قَالَ : يَا مُحَمَّدُ. ۲) حَدَّثنَا أَحْمَدُ بنُ يُونُسَ حَدَّثنَا زُهِيْرٌ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ سَعْدٍ : جِئْتُ ابنُ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ . فَقُلْتُ : مَالِرِجْلِكَ ؟ قَالَ : اجْتَمَعَ عَصَبُهَا قُلْتُ : ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ فَبَسَطَهَا.
1) Telah bercerita kepada kami Affan, telah bercerita kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari seseorang yang mendengar Ibnu Umar. Orang tersebut berkata: “Kaki Ibnu Umar terkena mati rasa.” Lalu dikatakan kepadanya, “Sebutkan orang yang paling kamu cintai.” Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad.” 2) Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah bercerita kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad: “Aku mendatangi Ibnu Umar, lalu kakinya terkena mati rasa. Aku berkata: “Ada apa dengan kakimu?” Ia menjawab: “Ototnya berkumpul.” Aku berkata: “Panggil orang yang paling kamu cintai.” Ia berkata: “Ya Muhammad.” Ia pun bisa membentangkan kakinya.” (Al-Imam al-Harbi, [Gharib al-Hadits, h. 673-674]).
Dalam riwayat di atas, Ibrahim al-Harbi meriwayatkan hadits Ibnu Umar, melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Imam Syu’bah. Dengan demikian, hadits Ibnu Umar di atas diselamatkan dari kelemahan dengan alasan tadlis-nya Abu Ishaq. Hadits tersebut harus dikatakan shahih sesuai dengan kaedah ilmu hadits yang berlaku.

Di sini ada dua hal yang perlu dijelaskan.

Pertama, mungkin kaum Wahabi akan menggugat, bahwa dalam riwayat Syu’bah di atas, terdapat perawi mubham (tidak jelas namanya), sehingga hadits ini tidak bisa dinilai shahih. Gugatan tersebut dapat dijawab, bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah di atas telah dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu riwayat al-Harbi sendiri dalam Gharib al-Hadits melalui jalur Zuhair, dan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad melalui Sufyan al-Tsauri, bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad, perawi yang dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Para ulama menjelaskan kesamaran seorang perawi dapat diketahui dari jalur lain yang menjelaskan namanya. (Al-Hafizh al-Suyuthi, [Tadrib al-Rawi, h. 468]). Oleh karena itu, setelah menceritakan riwayat Syu’bah, Ibrahim al-Harbi menceritakan riwayat Zuhair untuk menjelaskan nama perawi mubham dalam riwayat Syu’bah, yaitu Abdurrahman bin Sa’ad.

Kedua, mungkin kaum Wahabi ada yang menggugat, bahwa Zuhair meriwayatkan hadits tersebut dari Abi Ishaq setelah Abi Ishaq mengalami ikhtilath. Gugatan ini dapat dijawab, bahwa riwayat Zuhair telah sesuai dan dikuatkan dengan riwayat Sufyan al-Tsauri yang meriwayatkan hadits tersebut sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Dengan demikian, periwayatan Zuhair dari Abi Ishaq setelah ikhtilath dapat diselamatkan dari kelemahan.

Berdasarkan paparan di atas, kiranya di sini dapat disimpulkan bahwa semua argumen kaum Wahabi yang berupaya melemahkan hadits Ibnu Umar RA di atas tidak proporsional dan menemukan kegagalan. Hadits Ibnu Umar RA di atas adalah hadits shahih tanpa keraguan berdasarkan kaedah ilmu hadits yang diterapkan oleh para ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.

BERSAMA DR FIRANDA ANDIRJA

FIRANDA: “Ternyata kalimat "Ibnu Umar beristighatsah" itu berasal dari kantongnya M. Idrus Ramli sendiri, semoga Allah memaafkannya, sebab setidaknya saya tahu bahwa kalimat ini rupanya suatu pemahaman yang ia petik dari kata Nidaa' yaitu : kata yaa dari kalimat "Yaa Muhammad", ia mengira bahwa makna "yaa" di sini adalah panggilan meminta tolong dan bantuan darurat, namun sayangnya pemahaman ini keliru karena dua Alasan:

1. Nidaa' di sini sama sekali tidak bermakna panggilan Istighatsah karena seandainya maknanya demikian maka seharusnya lelaki yang menyeru Abdullah Bin Umar – radhiyallahu 'Anhuma – untuk mengucapkan "ya Muhammad" akan berkata: "Istaghits"(beristighatsahlah), dan ternyata lelaki tersebut tidak mengucapkan kata itu, melainkan berkata: "Udzkur" (sebutlah). Ini menunjukkan menguatkan bahwa makna Nidaa' di sini bukanlah Nidaa' istighatsah melainkan hanya menyebut nama orang yang dicintai saja.”


TANGGAPAN: “Pernyataan tersebut keliru dari dua hal:

Pertama) Dr Firanda tidak mengerti makna istighatsah, yaitu berdoa kepada Allah disertai dengan memanggil nama orang yang dicintai oleh Allah, dan tidak harus dengan mengatakan tolong-tolong-tolooooong …. Bukan seperti itu maksud istighatsah. Hal ini sebagaimana dapat dibaca dalam hadits Dharir (lelaki tuna netra yang datang kepada Nabi SAW, lalu disuruh berdoa disertai dengan memanggil nama Nabi SAW.

Kedua) kalimat udzkur dalam atsar tersebut tidak bermakna, sebutlah, akan tetapi bermakna panggillah, yaitu bermakna doa atau ud’u. Dalam kitab-kitab Qamus, kata dzikr atau udzkur memiliki beberapa makna, antara lain, panggillah. Seandainya, pernyataan murid Ibnu Umar tersebut tidak bermakna panggillah, tetapi hanya bermakna sebutlah, tentu Ibnu Umar akan berkata, Muhammad, bukan Ya Muhammad.”

FIRANDA: “2. Memanggil nama seorang yang paling dicintai konon adalah obat mati rasa di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliyyah, dan banyak contoh Syair mereka yang menceritakan kenyataan tersebut, di antaranya adalah perkataan seorang penyair:

وقال جميلُ بثينةَ:
وأنتِ لعَيْنِيْ قُرَّةٌ حين نَلْتَقِيْ *وذِكْرُكِ يَشفِيْني إذا خَدَرتْ رجلي
Berkata Jamil Butsainah :
Engkau di mataku adalah sesuatu yang indah ketika kita bertemu, dan apabila kakiku mati rasa maka menyebut namamu akan mengobatiku
وقال الموصلي:
واللهِ ما خَدَرَتْ رجلي وما عَثَرَتْ*إلا ذكرتُكِ حتى يَذْهبَ الخدَرُ
Al-Maushili berkata:
Demi Allah, tiadalah kakiku keram dan sakit, kecuali menyebutmu sehingga mati rasa itu sembuh.
Atas anggapan bahwa Nidaa' di sini bermakna Istighatsah, lantas apakah para penyair ini ketika kaki mereka keram dan demi kesembuhannya kemudian mereka menyebut nama kekasihnya seraya beristighatsah kepada para wanita pujaan mereka tersebut? tentunya tidak.

Apakah setiap orang yang tertimpa penyakit wabilkhusus mati rasa jika ia menyebut nama orang yang paling ia cintai dan ternyata pemilik nama tersebut adalah orang fasiq atau kafir, maka akankah terjadi kesembuhan? betapa mustahilnya islam akan mengajarkan ummatnya memohon pertolongan darurat dari musibah (yang jalan kesembuhannya hanyalah Allah) kepada makhluk, apalagi kepada makhluk yang fasiq dan kafir. Maka dari sisi ini juga akan tertolak anggapan bahwa Nidaa'nya Abdullah Bin Umar –Radhiyallahu 'Anhuma- dalam hadits ini adalah bermakna Istighatsah. Wallaahuaklam.”


TANGGAPAN: “Pandangan ilmu medis, apalagi medis dari Jahiliyah, tidak bisa dijadikan alasan untuk merubah makna dan maksud dalil-dalil syar’iy. Justru ilmu medis tersebut yang harus diikutkan terhadap dalil-dalil Syar’iy. Dalam hadits shahih diriwayatkan:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنَّ أَخِى اسْتَطْلَقَ بَطْنُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « اسْقِهِ عَسَلاً ». فَسَقَاهُ ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ إِنِّى سَقَيْتُهُ عَسَلاً فَلَمْ يَزِدْهُ إِلاَّ اسْتِطْلاَقًا. فَقَالَ لَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ جَاءَ الرَّابِعَةَ فَقَالَ « اسْقِهِ عَسَلاً ». فَقَالَ لَقَدْ سَقَيْتُهُ فَلَمْ يَزِدْهُ إِلاَّ اسْتِطْلاَقًا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « صَدَقَ اللهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيكَ ». فَسَقَاهُ فَبَرَأَ.
“Abu Sa’id al-Khudri berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu berkata: “Sesungguhnya saudaraku perutnya diare”. Rasulullah SAW bersabda: “Minumkan madu padanya.” Lalu laki-laki melakukannya, kemudian datang lagi lalu berkata: “Aku meminumkannya madu, tetapi justru tambah parah diarenya.” Lalu Nabi SAW bersabda lagi tiga kali. Kemudian pada keempat kalinya, laki-laki itu datang lagi, maka Nabi SAW bersabda: “Minumkan madu padanya.” Ia menjawab: “Aku telah meminumkan madu padanya, tetapi ia tambah diare.” Rasulullah SAW bersabda: “Maha Benar Allah, dan perut saudaramu berdusta.” Lalu ia meminumkannya, kemudian ia sembuh.” (HR Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.”
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa dalil syar’iy harus didahulukan dari pada teori medis yang masih bersifat asumtif.

Disamping itu, Ibnu Taimiyah, menyebukan atsar Ibnu Umar di atas dalam kitab al-Kalim al-Thayyib, kalimat-kalimat baik untuk berdoa kepada Allah, bukan dalam kitab ilmu kedokteran.”

FIRANDA: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam beberapa pernyataan justru melarang istighatsah, tetapi Anda justru mengutip bahwa Syaikhul Islam menganjurkan istighatsah. Bukankah kutipan Anda harus dipertanggungjawabkan?”

TANGGAPAN: “Memang kata sebagian ulama, Syaikh Ibnu Taimiyah itu tak obahnya seperti pasar. Kamu bisa membeli makanan dan obat untuk kebaikan kamu di pasar. Sebaliknya di pasar kamu juga bisa membeli racun, baigon atau apapun untuk kamu bunuh diri. Nah, Ibnu Taimiyah memang seperti itu, pernyataan-pernyataan yang beliau tulis dalam kitab-kitabnya seringkali saling bertentangan dan saling menafikan. Karena sebagaimana dikatakan oleh para ulama, Ibnu Taimiyah itu tidak punya guru yang menuntunnya, sehingga ilmu nya tidak sistimatis dan tidak berpegang pada satu kaedah baku dalam banyak pernyataannya.” Wallahu a’lam.

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
Read more ...

Selasa, 28 Mei 2013

Debat Ustadz Idrus Ramli Dengan Wahabi Al-Hila'i [Video]

Debat Ustadz Muhammad Idrus Ramli (Ahlussunnah Wal Jama'ah) Dengan Wahabi Al-Hila'i [Video]

fakta wahabi
Video Bagian Pertama



Video Bagian Kedua







Semoga Bermanfaat.
Read more ...

Dialog Terbuka Antara KH Muhammad Idrus Ramli asy-Syafi’i Dengan Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi


video fakta wahabi
Untuk memberikan pemantapan terhadap pemahaman ahlussunnah wal jama’ah di Balikpapan, Nahdlatul Ulama melalui PCNU Balikpapan menggelar Dialog Terbuka Antara KH Muhammad Idrus Ramli asy-Syafi’i dengan Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi seorang tokoh Wahabi. Dialog yang bertema “Internalisasi Nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) di Era Global” ini dikemas sekaligus dengan acara bedah buku “Kiai NU atau Wahabi Yang Sesat Tanpa Sadar? Jawaban Terhadap Buku-Buku Mahrus Ali”, yang ditulis oleh KH Muhammad Idrus Ramli bersama Habib Muhammad Syafiq Al-’Aidrus. Dialog terbuka ini digelar pada tanggal 18 Desember 2011 di Masjid Agung At-Taqwa Balikpapan dan diikuti oleh sekitar 1000 orang lebih.

Perlu diketahui, selama ini Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi yang sering mengisi kajian di Radio IDC FM Balikpapan dalam ceramahnya di berbagai tempat dan juga melalui radio ini tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mensyirikkan amalan-amalan yang khususnya dilakukan mayoritas muslim Nahdliyyin yang melakukan istighatsah, tawassul, dan ziarah kubur. Tak ayal, warga Nahdliyyin Balikpapan sangat menunggu kehadirannya dalam acara dialog tersebut. Sehingga ketika Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi diketahui kehadirannya, suasana menjadi tegang. Para peserta menunggu apa yang akan dibicarakan oleh kedua pembicara berbeda aliran itu.

KH Muhammad Idrus Ramli asy-Syafi’i diberi waktu untuk mengawali dialog dengan memaparkan hakikat istighatsah dan tawassul beserta dalil-dalilnya dari hadits-hadits shahih dan amaliah para sahabat. Usai KH Muhammad Idrus Ramli asy-Syafi’i, moderator memberi kesempatan dan meminta Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi untuk memberikan tanggapannya.

Namun, jawaban Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi ternyata tidak memuaskan. Ia justru mengaku tidak memusyrikkan orang yang melakukan istighatsah dan tawassul, karena dasarnya sangat kuat sebagaiman dipaparkan oleh KH Muhammad Idrus Ramli di awal. Jawaban tersebut membuat para peserta yang hadir tertawa dan bersorak sorai, karena selama ini memang warga Balikpapan sering mendengar sendiri pernyataan Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi yang memusyrikkan istighatsah. Tetapi dalam dialog tersebut, Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi justru tidak mengakuinya.

Kemudian moderator meminta tanggapan Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi tentang ziarah umat Islam ke makam para auliya’ atau wali songo, apakah syirik atau tidak. Ternyata Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi menjawab secara diplomatis, bahwa ziarah kubur dapat mengingatkan kita pada kematian, sehingga dibolehkan. Akhirnya, KH Muhammad Idrus Ramli asy-Syafi’i memaparkan ziarah kubur dalam berbagai aspeknya beserta dalil-dalilnya. Setelah KH Muhammad Idrus Ramli asy-Syafi’i memaparkan hal ini secara detail beserta dalil-dalilnya, Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi segera meninggalkan acara dan berpamitan tidak bisa melanjutkan dialog dengan alasan ada acara lain di luar.

Melihat ulah Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi yang kabur melarikan diri setelah dirinya tidak berkutik itu, para hadirin semuanya tertawa. Selanjutnya acara dialog dilanjutkan tanpa kehadiran pembanding dari pihak Salafi Wahabi hingga selesai.

Demikianlah sedikit ulasan jalannya dialog terbuka antara KH Muhammad Idrus Ramli asy-Syafi’i dengan Ustadz Adzro’i Abdusysyukur as-Salafi yang kabur melarikan diri sebelum acara selesai. Untuk lebih jelasnya, anda dapat simak sendiri video acara dialog tersbut dan silahkan anda simpulkan sendiri mana yang menurut anda menjadi jalan pilihan terbaik. Semoga bermanfaat dan matur nuwun.

Video Pertama



Video Kedua





Semoga bermanfaat.
Read more ...

Jumat, 24 Mei 2013

Download Kitab Ihya Ulumuddin dan Terjemahnya Jilid I dan II



Kitab Ihya Ulumuddin adalah karya seorang ulama besar, Hujjatul Islam, Al Imam Abu Hamid Ghozali atau Imam Ghozali adalah kitab besar yang sangat berpengaruh di kalangan umat Islam. Walaupun umur kitab ini sudah ratusan tahun, namun hingga kini, kitab ini tetap menjadi rujukan utama bagi para penempuh jalan sufi.
Kitab ini berisi ajaran tentang Adab, ibadah, tauhid, akidah dan tasawuf yang sangat mendalam. Kitab ini merupakan hasil perenungan yang mendalam dari Imam Ghozali tentang berbagai hal, khususnya tentang pensucian hati.
Seorang ulama besar lainnya al-Imam an-Nawawi pernah berkata: “Jika semua kitab Islam hilang, naudzubillah, dan yang tersisa hanya kitab Ihya’ maka ia mencukupi semua kitab yang hilang itu.”





Download Kitab PDF
Mediafire

Download untuk HP format JAR
4Shared 

Download Terjemahan Jilid I
4Shared


تحميل كتاب احياء علوم الدين
Download Per Bab

ربع العبادات
ربع العادات
ربع المهلكات
ربع المنجيات

Untuk terjemahan dan Audio Mp3 silahkan kunjungi
ihyaulumuddinterjemah.wordpress.com

Atau yang mau mendownload terjemah Ihya Ulumuddin Jilid I bisa di download disini
dan terjemah Ihya Ulumuddin Jilid II bisa download disini



Read more ...
Designed By