Breaking News

Senin, 24 Februari 2014

Melafadzkan Niat Ketika Akan Melaksanakan Sholat Menurut Para Imam Madzhibul Arba’ah Bukanlah Bid’ah Dholalah


 

HUKUM MELAFADZKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA WAHABI
Sebagaimana kita kita ketahui bahwasanya para ulama Wahabi memvonis dan memfatwakan bid’ah dholalah (karena mereka hanya mengenal sebutan bid’ah itu hanya untuk satu macam saja, yaitu bid’ah dholalah, yang pelakunya di ancam masuk ke dalam neraka) kepada kaum muslimin yang dalam praktek sholatnya melafadzkan niat ketika akan melakukan Takbirotul ihram. Fatwa- Fatwa yg membabi buta ini diantaranya dapat kita lihat di bawah ini :

FATWA LAJNAH DAIMAH YANG DIKETUAI OLEH SYEKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZZ :

فتاوى اللجنة الدائمة - المجموعة الأولى - (ج 6 / ص 319)
السؤال الثاني من الفتوى رقم ( 2444 )
س2: ما حكم التلفظ بالنية مثل قوله: (نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح)؟
ج2: الصلاة عبادة، والعبادات توقيفية لا يشرع فيها إلا ما دل عليه القرآن الكريم أو السنة الصحيحة المطهرة، ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه تلفظ في صلاة فرضا كانت أم نافلة بالنية، ولو وقع ذلك منه لنقله أصحابه رضي الله عنهم وعملوا به، لكن لم يحصل ذلك فكان التلفظ بالنية في الصلاة مطلقا بدعة، وقد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد » (1) وقال: « وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة » (2) . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Link:http://alifta.com/Fatawa/FatawaSubjects.aspx?languagename=ar&View=Page&HajjEntryID=0&HajjEntryName=&RamadanEntryID=0&RamadanEntryName=&NodeID=647&PageID=2087&SectionID=3&SubjectPageTitlesID=23518&MarkIndex=2&0

Terjemah :

Soal : “Apa hukum mengucapkan niat seperti  mengucapkan :

نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajah-Nya yang mulia.”

Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (tata caranya ditentukan oleh syariat, harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi shalallaahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau mengucapkan niat shalat, baik shalat sunnah maupun shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini, pastilah para sahabat meriwayatkan dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam dan tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya. Akan tetapi semua ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.”

Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam juga bersabda :

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”

Wabillaahittaufiq wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478, Maktabah Asy Syamilah)

MENURUT IBNU UTSAIMIN :

Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu ’anhum bahwasanya mereka melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)

Link : http://muslimah.or.id/.../serba-serbi-niat-shalat-1...

MENURUT ALBANI :

تلخيص صفة الصلاة – (ص 13)
وأما التلفظ بها بلسانه فبدعة مخالفة للسنة ولم يقل بها أحد من متبوعي المقلدين من الأئمة
“Adapun melafadzkan niat dengan lisannya maka hal tersebut adalah Bid’ah, menyelisihi sunnah dan tidak ada seorangpun dari pengikut orang-orang yang taqlid kepada para imam yang mengucapkannya. (Talkhisu Shifati Shalatinnabiyyi hal.13, Maktabah Syamilah )
Link : http://islamport.com/w/alb/Web/381/13.htm

HUKUM MELALAFADZKAN NIAT MENURUT PARA IMAM MADZAHIBUL  ARBA’AH

Ada beberapa keterangan yg bisa di baca kitab Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az Zuhailiy :

الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 137)
محل النية باتفاق الفقهاء وفي كل موضع: القلب وجوباً، ولا تكفي باللسان قطعاً، ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها (2) ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.
Tempatnya niat menurut kesepakatan para ulama fiqh dan di semua tempat secara wajib adalah di dalam hati, maka secara pasti tidak cukup dan tidak disyaratkan menggunakan lisan. Tetapi menurut jumhur ulama, selain golongan Malikiyyah hukumnya adalah disunnahkan mengucapkan niat, untuk membantu hati untuk menghadirkannya, agar pengucapannya bisa menolong untuk berdzikir (mengingat). Sedang yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat, karena hal tersebut tidak pernah di nukil dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, demikian juga tidak dinukil dari para imam yg empat.

Di halaman lain :

الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 331)
والأولى عند المالكية ترك التلفظ بالنية، ويسن عند الشافعية والحنابلة: التلفظ بها، إلا أن المذهب عند الحنابلة أنه يستحب التلفظ بها سراً، ويكره الجهر بها وتكرارها.
Yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat. Dan menurut Ulama Syafi’iyyah dan Hambaliyyah disunnahkan untuk melafadzkan niat, hanya saja menurut qoul madzhab Hanabilah disunnahkan melafadzkannya dengan pelan, dimakruhkan membaca dengan keras dan mengulang-ulangi niat.

Di halaman lain :

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 682)
ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية،والأولى تركه في صلاة أو غيرها.
.
Menurut Jumhur ulama selain Malikiyyah, disunnahkan melafadzkan niyat. Menurut Ulama Malikiyyah boleh mengucapkannya akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya, baik di dalam sholat atau selainnya.

Yg ini tambahan menurut madzhab Maliki :

الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 684)
والأولى ترك التلفظ بها، إلا الموسوس فيستحب له التلفظ ليذهب عنه اللبس
Yang lebih utama adalah meninggalkan melafadzkan niat, kecuali bagi orang yang was-was, maka disunnahkan melafadzkannya agar terhindar dari kesamaran.

Memang terdapat keterangan dari ulama Hanafiyyah yang mengatakan bid’ah melafadzkan niat sebagaimana keterangan di bawah ini :

Ibnu Najim Al Mishry Al Hanafi di dalam kitab Al Bahrur Roiq juz 3 hal 92-93, Maktabah Syamilah :

البحر الرائق - (ج 3 / ص 92-93)
وَقَدْ اخْتَلَفَ كَلَامُ الْمَشَايِخِ فِي التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ فَذَكَرَهُ فِي مُنْيَةِ الْمُصَلِّي أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ وَصَحَّحَهُ فِي الْمُجْتَبَى وَفِي الْهِدَايَةِ وَالْكَافِي وَالتَّبْيِينِ أَنَّهُ يَحْسُنُ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ وَفِي الِاخْتِيَارِ مَعْزِيًّا إلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ سُنَّةٌ وَهَكَذَا فِي الْمُحِيطِ وَ الْبَدَائِعِ وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ إلَّا أَنْ لَا يُمْكِنَهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ يُبَاحُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِهِمْ أَنَّ السُّنَّةَ الِاقْتِصَارُ عَلَى نِيَّةِ الْقَلْبِ ، فَإِنْ عَبَّرَ عَنْهُ بِلِسَانِهِ جَازَ وَنُقِلَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ عَنْ بَعْضِهِمْ الْكَرَاهَةُ وَظَاهِرُ مَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ اخْتِيَارُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ فَإِنَّهُ قَالَ : قَالَ بَعْضُ الْحُفَّاظِ : لَمْ يَثْبُتْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الِافْتِتَاحِ أُصَلِّي كَذَا وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ بَلْ الْمَنْقُولُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { كَانَ إذَا قَامَ إلَى الصَّلَاةِ كَبَّرَ } وَهَذِهِ بِدْعَةٌ .
ا هـ .
وَقَدْ يُفْهَمُ مِنْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ أَنَّهُ لَا يَحْسُنُ لِغَيْرِ هَذَا الْقَصْدِ وَهَذَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَغْلِبُ عَلَيْهِ تَفَرُّقُ خَاطِرِهِ فَإِذَا ذَكَرَ بِلِسَانِهِ كَانَ عَوْنًا عَلَى جَمْعِهِ ، ثُمَّ رَأَيْته فِي التَّجْنِيسِ قَالَ وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ ؛ لِأَنَّهُ عَمَلُهُ وَالتَّكَلُّمُ لَا مُعْتَبَرَ بِهِ وَمَنْ اخْتَارَهُ اخْتَارَهُ لِتَجْتَمِعَ عَزِيمَتُهُ .
ا هـ .
“Para Masyayikh berbeda pendapat mengenai melafadzkan niat dengan menggunakan lisan. Di terangkan dalam kitab Munyatul Musholli, hukumnya adalah Mustahab (di sunahkan), demikian ini adalah qoul yang terpilih dan di shohihkkan di dalalm kitab Al Mujtaba, Al Hidayah,Al Kafi dan At Tabyiin, hal tersebut dianggap bagus karena bisa mengumpulkan Azimah (niat). Dan di dalam kitab Ikhtiyar ma’ziyyan yg (disandarkan penukilannya) kepada Muhammad bin al Hasan, bahwasanya hal tersebut adalah Sunnah, demikkian juga keterangan di dalam kitab Al Mabsuth dan Badai’. Sedangkan di dlam kitab al Qunyah hal tersebut adalah Bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan, maka menjadi mubah. Dan di nukil dari sebagian ulama yang disunnahkan adalah meringkas niat di dalam hati, apabila di ucapkan di lisannya maka boleh. Dan di nukil dari syarah Al Munyah dari sebagaian ulama bahwasanya hal tersebuat adalah makruh. Dan dhohirnya keterangan yanga ada di kitab Fathul Qodir bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah, tidak tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaii wa sallam baik dari jalur shahih maupun dhoif bahwasanya beliau ketika mengawali sholat mengucapkan : Usholli kadza (Saya akan sholat begini), juga tidak pernah tsabit riwayat dari sahabat maupun tabi’in, akan tetapi penukilan yang ada adalah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri untuk melaksanakkan sholat, beliau bertakbir, maka permasalahan ini adalah bid’ah. Selesai (pembahasan).

Namun apakah yang di maksud dengan ucapan bid’ah dan sunnah dalam ibarat diatas menurut ulama Hanafiyyah ??? Bisa dibaca disini :

البحر الرائق - (ج 3 / ص 93)
وَزَادَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ أَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَيْضًا فَتَحَرَّرَ مِنْ هَذَا أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ عِنْدَ قَصْدِ جَمْعِ الْعَزِيمَةِ ، وَقَدْ اسْتَفَاضَ ظُهُورُ الْعَمَلِ بِذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَعْصَارِ فِي عَامَّةِ الْأَمْصَارِ فَلَعَلَّ الْقَائِلَ بِالسُّنِّيَّةِ أَرَادَ بِهَا الطَّرِيقَةَ الْحَسَنَةَ لَا طَرِيقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَقِيَ الْكَلَامُ فِي كَيْفِيَّةِ التَّلَفُّظِ بِهَا
Dan terdapat keterangan tambahan dalam kitab Syarhul Munyah bahwasanya hal tersebut (melafadzkan niat) itu tidak di nukil dari para imam yang empat juga. Maka beliau memeriksa lagi dari keterangan ini bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah hasanah ketika bermaksud untuk mengumpulkan niat. Dan telah tersiar luas mengenai pengamalan hal tersebut pada banyak masa di umumnya semua tempat, maka barangkali ulama yang mengucapkan sunnah, yang di maksud adalah Thoriqoh hasanah (cara yang baik) bukan cara (yang pernah di lakukan) nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pembicaraan di dalam tata cara melafadzkan niat.

KESIMPULAN DARI IBARAT-IBARAT DIATAS :

Tidak ada satupun dari ulama Madzhibul Arba’ah yang memfatwakan Bid’ah Dholalah bagi orang yang melafadzkan niat ketika akan sholat. Menurut penjelasan ulama Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir hukumnya boleh namun menyelisihi keutamaan (Khilaful Aula, tidak sampai Makruh), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat hukumnya adalah sunnah.
Sedang menurut Jumhur ulama dan kesepakatan para pengikut madzhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) hukumnya adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum Takbiratul Ihram itu dapat membantu untuk menghadirkan dan mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Sedang mengenai ucapan bid’ah di dalam istilah sebagian ulama Hanafiyyah juga sama sekali tidak diarahkan kepada bid’ah dholalah.

TUJUAN MELAFADZANKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA
Mari kita baca keterangan para ulama di bawah ini :

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 :

فتح المعين - (ص 16)
( و ) سن ( نطق بمنوي ) قبل التكبير ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati dan untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :

نهاية المحتاج -
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ ،
“Disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati , agar terhindar dari was-was serta menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.

Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :

فتح الوهاب -
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati."

Diperjelas di dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal :

حاشية الجمل –
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ .
"Dan sebuah ibarat dari Syarah Imam Romli, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was, serta untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Selesai (pembahasannya)."

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) :

مغني المحتاج -
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "

Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat :

ويندب النطق قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب
"Dan disunnahkan mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"

Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] :

إعانة الطالبين –
 ( قوله وسن نطق بمنوي ) أي ولا يجب فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر إذ العبرة بما في القلب
 ( قوله ليساعد اللسان القلب ) أي ولأنه أبعد من الوسواس وقوله وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[Ucapan muallif : Disunnahkan mengucapkan niat] maksudnya tidak wajib, maka apabila hatinya berniat shalat Dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat Asar, maka tidak masalah, karena yang dianggap adalah apa yang ada didalam hati. [Ucapan muallif : Agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was dan menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, maksudnya mengucapkan niat.”

Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :

( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ .
“Dan disunnahkan mengucapkan niat sesaat sebelum takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Di dalam Kitab Matan Al-Minhaj li Syaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :

منهج الطلاب -
ونطق قبيل التكبير
"(Disunnahkan) mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram)"

Di dalam kitab Safinatun Naja karya  Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :

النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Tempatnya niat adalah di dalam hati, sedangkan melafadzkan niat dengan menggunakan lisan hukumnya adalah sunnah"

Di dalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz)  :

أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
"Adapun melafadzkan niat, maka hukumnya adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati"

Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, di dalam kitab Minhajul Qawim (1/191) :

فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
"Fashal di dalam menerangkan sunnah-sunnah shalat. Sunnah-sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram di dalam sholat fardhu dan sunnah, agar lisan dapat membantu hati, serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"

Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon :

قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
"Ucapan muallif : (Tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan melafadzkan niat di dalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"

Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" :

ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"Dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena hal tersebut dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "

Di dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1 :

ومحل النية القلب؛ فلا يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"Dan tempatnya niat adalah hati, maka tiada disyaratkan melafadzkannya, tetapi disunnahkan (melafadzkan niat) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkannya"
Hawasyi Asy-Syarwaniy karya Abdul Hamid Al Makkiy Asy Syarwaniy (1/240) :

حواشي الشرواني والعبادي - (ج 1 / ص 240)
ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
"Termasuk diantara kesunahan sholat adalah melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"

Abdurrahman Muhammad AL Hanafiy yang di kenal dengan Syaikhiy Zaadah dalam kitab Majma’al Anhar juz 1 hal 232 :

مجمع الأنهر - (ج 1 / ص -233232)
( وَضَمُّ التَّلَفُّظِ إلَى الْقَصْدِ أَفْضَلُ ) لِمَا فِيهِ مِنْ اسْتِحْضَارِ الْقَلْبِ لِاجْتِمَاعِ الْعَزِيمَةِ بِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ : النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَلُ .
وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهَا بِدْعَةٌ إلَّا إذَا كَانَ لَا يُمْكِنُهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ تُبَاحُ
“(Mengumpulkan melafadzkan niat kepada Qoshdu (niat) itu lebih utama) karena hal tersebut bisa menghadirkan hati untuk mengumpulkan Azimah (niat). Muhammad bin Al Hasan berkata : Niat dengan hati itu wajib dan menyebutknya dengan lisan itu sunnah, sedangkan mengumpulkan keduanya (hati dan lisan) adalah Afdhol (lebih utama). Namun di dalam kitab Qunyah hal tersebut adalah bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan maka menjadi mubah.

Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat Juz 1 hal. 393, Makktabah Syamilah :

شرح منتهى الإرادات - (ج 1 / ص 393)
 وَتَلَفُّظُهُ بِمَا نَوَاهُ تَأْكِيدٌ
"Sedangkan pelafadz-an seseorang dengan apa yang diniatkannya adalah merupakan ta'kid (penguat)."

Berkata Ibnu Qudamah Al Maqdisiy  Al Hambaliy di dalam kitab Al Mughniy :

المغني - (ج 2 / ص 319)
وَإِنْ لَفَظَ بِمَا نَوَاهُ ، كَانَ تَأْكِيدًا .
Apabila seseorang yang sholat melafadzkan apa yang diniatinya, maka hal tersebut menjadi Ta’kid (penguat)  (Al Mughniy Juz 2 hal 319, Maktabah Syamilah).

KESIMPULAN DARI SEMUA KETERANGAN ULAMA DIATAS :

Tujuan dari melafadzkan niat adalah agar lisan dapat menghadirkan dan mengingatkan hati, yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah dipergunakan untuk ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.


ISTINBATH HUKUM DARI ULAMA YANG MENYUNAHKAN MELAFDZKAN NIAT

Ulama yang menyunahkan melafadzkan niat kketika akan sholat menqiyaskan dengan melafadzkan niat dalam ibadah Haji, sebagaimana kita ketahui dalam hadis, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam melafadzkan niat ketika menunaikan ibadah Haji :

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم(
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)

Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551, Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan :

نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”

Redaksinya begini :

فقه السنة - (ج 1 / ص 654(
روى واحد منهم: أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول: " نويت العمرة، أو نويت الحج ".

CATATAN : Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat diatas ketika beliau menjalankan ibadah haji, namun sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah (melafadzkan niyat) ketika akan mengerjakan sholat.

Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh Al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) :

تحفة المحتاج في شرح المنهاج -
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ الْمُنْدَفِعِ بِهِ التَّشْنِيعُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sesaat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syadz ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji yang bisa digunakan untuk menolak adanya celaan bahwa kesunahan ini tidak di nukil (dari hadis) ”

Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan :

نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
"Ya, disunnahkan mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, karena sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka kami menqiyaskannya ke dalam Ibadah-ibadah yang lain, sedangkan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaan terjadinya"

Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :

معجم ابن المقرئ -
317 - أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله أكبر »
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata : “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.”

Perlu diketahui bahwa Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :

واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah :

أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“Selamanya seseorang tidak boleh mengatakan di dalam sesuatu, baik hukum halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”

قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi'i berkata) :  Jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya di dalam Al-Qur'an maka ini adalah hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya di dalam as-Sunnah maka ini hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).

Jadi maksud perkataan Imam Syafi'i diatas adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya secara shorih di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?

Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum Takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat shalat tetaplah sah, sedang melafadzkan niat saja tanpa meniatkan dalam hati maka tidak mencukupi (tidak sah sholatnya), karena tempatnya niat adalah di dalam hati. Maka melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat (karena dilakukan sebelum mengerjakan sholat, yaitu Takkbirotul Ihram) sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini :

Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :

فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“Apabila dia berniat dengan hati tanpa lisannya, maka hal tersebut sudah mencukupi”

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, di dalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة) hal 101, Maktabah Syamilah :

كفاية الأخيار - (101)
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان مع غفلة القلب
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah di i’tibar dengan hati, maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan bersamaan dengan lupanya hati”
Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة  dalam kitab Fiqhus Sunnah Juz 1 hal 133, Maktabah Syamilah :

فقه السنة - (ج 1 / ص 133)
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“Tempatnya niat adalah di dalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”

Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat :

)النِّيَةُ) وَهِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Namun anehnya, nash-nash ibarat diatas ini sering di salah fahami oleh para wahabi mengenai tidak diperbolehkannya melafadzkan niat. Mana ada kata atau kalimat yang melarang melafadzkan niat dalam ibarat-ibarat diatas ?

Dari semua paparan diatas, kita bisa mengetahui bagaimana perbedaan pandangan ulama-ulama salaf dan ulama- ulama Wahabi mengenai permasalahan melafadzkan niat ketika akan melaksanakan sholat. Padahal selama ini kita sering mendengar klaim dan slogan Wahabi yang selalu mengataskan madzhab dan manhaj mereka adalah mengikuti Salafush Sholih. Pertanyaan : Lalu Salafus Sholih manakah yang diikuti oleh Wahabi dalam permasalahan ini ?

Wallohu A’lam

Sumber
Read more ...

Minggu, 09 Februari 2014

Dalil Doa dan Amalan Mengusap Mata Saat Adzan


Ketika muadzin membaca lafadz syahadat Rasul “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” biasanya ada sebagian orang yang mencium jempolnya terus diusapkan ke mata. Berikut adalah tulisan Ustadz Ma'ruf Khozin tentang penjelasan para ulama mengenai hal itu.

Masalah ini tidak berkaitan dengan hukum sunnah atau yang lain bila dilakukan dalam adzan, namun sebuah doa yang dilakukan beberapa ulama khususnya yang bermadzhab Malikiyah. Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Maghrabi berkata:

وَرُوِيَ عَنْ الْخَضِرِ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ يَقُولُ : أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ مَرْحَبًا بِحَبِيبِي وَقُرَّةِ عَيْنِي مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يُقَبِّلُ إبْهَامَيْهِ ، وَيَجْعَلُهُمَا عَلَى عَيْنَيْهِ لَمْ يَعْمَ ، وَلَمْ يَرْمَدْ أَبَدًا (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 3 / ص 355)

Diriwayatkan dari Nabi Khidhir As. bahwa ia berkata: “Barangsiapa yang mendengar bacaan muadzin “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, lalu ia berdoa “Marhaban bihabibiy waqurrati ainiy Muhammadibni Abdillah Saw.”, lalu mengecup dua jari jempolnya dan diletakkan (diusapkan) ke kedua matanya, maka ia tidak akan mengalami buta dan sakit mata selamanya.” (Mawahib al-Jalil Syarh Mukhtashar asy-Syaikh Khalil juz 3 halaman 355).

Bahkan dalam referensi ulama Malikiyah tidak sekedar dijelaskan ‘tata caranya’, namun juga faedahnya:

( فَائِدَةٌ ) قَالَ فِي الْمَسَائِلِ الْمَلْقُوطَةِ : حَدَّثَنَا الْفَقِيهُ الصَّدِيقُ الصَّدُوقُ الصَّالِحُ الْأَزْكَى الْعَالِمُ الْأَوْفَى الْمُجْتَهِدُ الْمُجَاوِرُ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الْمُتَجَرِّدُ الْأَرْضَى صَدْرُ الدِّينِ بْنُ سَيِّدِنَا الصَّالِحِ بَهَاءِ الدِّينِ عُثْمَانَ بْنِ عَلِيٍّ الْفَاسِيِّ حَفِظَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ : لَقِيتُ الشَّيْخَ الْعَالِمَ الْمُتَفَنِّنَ الْمُفَسِّرَ الْمُحَدِّثَ الْمَشْهُورَ الْفَضَائِلُ نُورَ الدِّينِ الْخُرَاسَانِيَّ بِمَدِينَةِ شِيرَازَ ، وَكُنْتُ عِنْدَهُ فِي وَقْتِ الْأَذَانِ فَلَمَّا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَقُولُ : أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَبَّلَ الشَّيْخُ نُورُ الدِّينِ إبْهَامَيْ يَدَيْهِ الْيُمْنَى وَالْيُسْرَى وَمَسَحَ بِالظُّفْرَيْنِ أَجْفَانَ عَيْنَيْهِ عِنْدَ كُلِّ تَشَهُّدٍ مَرَّةً بَدَأَ بِالْمُوقِ مِنْ نَاحِيَةِ الْأَنْفِ ، وَخَتَمَ بِاللَّحَاظِ مِنْ نَاحِيَةِ الصُّدْغِ ، قَالَ فَسَأَلَتْهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ : إنِّي كُنْتُ أَفْعَلُهُ مِنْ غَيْرِ رِوَايَةِ حَدِيثٍ ، ثُمَّ تَرَكْتُهُ فَمَرِضَتْ عَيْنَايَ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ ، فَقَالَ لِي لِمَ تَرَكْتَ مَسْحَ عَيْنَيْكَ عِنْدَ ذِكْرِي فِي الْأَذَانِ إنْ أَرَدْتَ أَنْ تَبْرَأَ عَيْنَاكَ فَعُدْ إلَى الْمَسْحِ أَوْ كَمَا قَالَ فَاسْتَيْقَظْتَ وَمَسَحْتَ فَبَرِئَتْ عَيْنَايَ وَلَمْ يُعَاوِدْنِي مَرَضُهُمَا إلَى الْآنَ . (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل للشيخ ابي عبد الله محمد بن محمد بن عبد الرحمن المغربي - ج 3 / ص 354 وحاشية العدوي على شرح كفاية الطالب الرباني للشيخ علي ابي الحسن المالكي - ج 2 / ص 281)

“(Faedah) disebutkan dalam kitab al-Masail al-Malquthah, bahwa telah bercerita kepada kami ahli fiqh yang sangat terpercaya, yang hsaleh, bersih, berilmu sempurna, seorang mujtahid, bertetangga dengan Masjid al-Haram, menyendiri, Shadruddin bin Sayyidina Shaleh Bahauddin Utsman bin Ali al-Fasi, hafidzahullah, ia berkata: “Saya bertemu dengan seorang syaikh yang ahli di bidang banyak ilmu, ahli tafsir, ahli hadits, yang populer keutamaannya, Nuruddin al-Khurasan di Kota Syiraz. Saya berada di dekatnya saat adzan. Ketika ia mendengar ucapan muadzin “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, maka Syaikh Nuruddin mengecup kedua jari jempolnya, kanan dan kiri, lalu mengusapkan dengan kedua kuku ke kelopak matanya setiap bacaan syahadat, dimulai dari ujung mata yang lurus dengan hidung lalu mengenyamping ke arah pelipis.

Saya (Shadruddin) bertanya kepadanya tentang hal itu, maka ia menjawab: “Dulu saya melakukannya tanpa riwayat hadits, lalu saya meninggalkannya. Maka kedua mata saya sakit dan saya mimpi bertemu Rasulullah Saw. dan bersabda kepadaku: “Kenapa kamu tinggalkan mengusap kedua matamu ketika menyebutku dalam adzan. Jika kamu ingin kedua matamu sembuh maka ulangilah mengusap matamu.”

Lalu saya terbangun dan mengusap kedua mataku. Dan sampai sekarang tidak pernah sakit mata lagi.” (Mawahib al-Jalil juz 3 halaman 354 dan Hasyiyah al-Adawi juz 2 halaman 281).

Kendati sudah masyhur dilakukan sebagian ulama, namun ulama Malikiyah menegaskan hal tersebut bukan bersumber dari hadits:

وَاشْتَهَرَ عِنْدَ بَعْضِ النَّاسِ وِرْدٌ إِلَّا قَوْلَ الْمُؤَذِّنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّهِ يُقَبِّلُوْنَ إِبْهَامَهُمْ وَيَمُرُّوْنُ بِهَا عَلَى أَعْيُنِهِمْ قَائِلِيْنَ: مَرْحَبًاً بِحَبِيْبِي وَقُرَّةِ عَيْنِي مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ، وَهَذَا لَمْ يَرِدْ فِي حَدِيْثٍ (إرْشَادُ السَّالِك: للشيخ عبد الرحمن شهاب الدين البغدادي - ج 1 / ص 27)

“Telah masyhur di sebagian ulama sebuah wirid, kecuali saat ucapan muadzin “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, lalu mereka mengecup dua jari jempolnya dan diusapkan ke kedua matanya, kemudian mereka berdoa “Marhaban bihabibiy waqurrati ‘ainiy Muhammadibni Abdillah Saw”. Hal ini tidak bersumber dari hadits.” (Syaikh Syihabuddin al-Baghdadi dalam Irsyad as-Salik juz 1 halaman 27).

Sementara dalam madzhab Syafi’iyah penjelasan tersebut terdapat dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 1 halaman 281 yang mengutip dari Hasyiyah Abi Jamrah karya asy-Syaikh asy-Syinwani. Saya sendiri (Ustadz Ma’ruf Khozin) mendapat ijazah ini dari Syaikh Abdul Malik bin KH. Fathul Bari al-Makki, yang hadir saat itu adalah Alm. KH. Zainullah bin KH. Bukhari, abah saya Alm. H. Khozin Yahya dan saya sendiri, sekitar tahun 1990.

Sya'roni As-Samfuriy.
Read more ...

Rabu, 05 Februari 2014

Masihkan mempertahankan akidah rusak wahai Wahabi ?? (Ibnu Taimiyyah ulama panutan utama wahabi menuduh imam Tirmidzi jahmiyyah)

Imam Tirmidzi (210-279 H) termasuk ulama salaf shaleh yang menjadi rujukan seluruh ulama Ahli hadits Internasional. sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al Jami’, atau biasa dikenal dengan kitab Jami’ Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits terkenal.


Bagaimana imam Tirmidzi dalam pandangan ulama panutan utama wahabi; Ibnu Taimiyyah al-Harrani ? simak, perhatikan dan renungkan, semoga anda wahai wahabi mendapat hidayat dari Allah…

Disebutkan dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi syarh kitab sunan At-Tirmidzi bahwasanya imam at-Tirmidzi mengatakan dalam kitab sunannya tentang hadits :



“ Demi yang nyawa Muhammad yang berada di Tangan-Nya, seandainya kamu melepaskan seorang lelaki yang berpaut kepada seutas tali ke bumi yang paling di bawah, niscaya ia turun ke atas Allah. Kemudian Nabi Saw membaca ayat: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”, Imam Tirmidzi mengatakan : “ Ini hadits gharib dari sisi ini, sebagian Ahli Ilmu menafsirkan hadits ini sebagai berikut : “ Sesungguhnya yang dimaksud adalah turun atas pengetahuan, kemampuan dan kekuasaan Allah, sedangkan ilmu Allah, kemampuan dan kekuasaan-Nya ada di setiap tempat dan Dia di atas Arsy sebagaimana Dia mensifatkan dalam kitab-Nya “. (Tuhfah al-Ahwadzi : 9/187)

Apa komentar Ibnu Taimiyyah al-Harrani yang juga didukung oleh muridnya Ibnul Qayyim tentang pentakwilan imam at-Tirmidzi di atas ??

Simak dan perhatikan :



“ Demikian juga takwilnya at-Tirmidzi yang mentakwilkannya dengan ilmu Allah adalah kerusakan yang jelas termasuk jenis takwil kaum Jahmiyyah (kaum yang menolak sifat-sifat Allah) “. (ar-Risalah al-Arsyiyyah, cetakan Dar al-Fath asy-Syariqah halaman : 47)

Perhatikan komentar Ibnu Taimiyyah terhadap pentakwilan imam Tirmidzi, Ibnu Taimiyyah menilai imam Tirmidzi yang merupakan salah satu imam Salaf Shaleh ahli hadits sebagai pentakwillan yang jelas rusak dan pentakwilan kaum Jahmiyyah. Fa laa haula wa laa quwwat illa billah...atas dasar inilah para pengekoranya hingga saat ini selalu terus menyesatkan kaum mayoritas (asy'Ariyyah) yang mengikuti manhaj ulama salaf seperti imam Tirmidzi di dalam mentakwil teks mutaysabihaat, padahal imam Tirmidzi termasuk pemimpin ulama salaf shaleh dan mengatakan takwilnya itu bersumber dari sebagian ahli ilmu.

Jadi siapakah yang mengikuti ulama salaf ?? dan siapakah yang bertentangan dengan ulama salaf ??
Kaum Asy'ariyyah dihujat dan disesatkan oleh wahabi, maka tidak heran sebab Ibnu Taimiyyah pun menghujat dan menyesatkan imam Tirmidzi...

Klik
Read more ...

Imam Abu Hanifah manusia paling berbahaya bagi umat Islam. (Muqbil bin Hadi, syaikh Wahabi)

Seorang imam panutan kaum muslimin, seorang imam besar madzhab dari 4 madzhab, seorang ulama salaf yang sangat agung, tidak luput menjadi sorotan, hujatan dan cacian oleh wahabi-salafi si manhaj salaf palsu atas nama jarh wa ta'dil.


Imam Abu Hanifah adalah seorang jahmi, penyembah berhala, paling bahanya manusia bagi umat Islam (Di tulis oleh syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i)

Dalam salah satu karya Muqbil bin Hadi yang berjudul Nasyru ash-Shahifah fi dzikri ash-Shahih min aqwal aimmatil jarh wat ta'dil fi Abi Hanifah (artinya : Membeberkan lembaran tentang menyebutkan ucapan-ucapan sahih dari para imam jarh wa ta'dil terkait Abu Hanifah)

Sampul kitab :



Di kitab itu Muqbil bin Hadi menampilkan riwayat para imam yang mencaci imam Abu Hanifah, di antaranya :




Makna yang saya garis bawahi :

" Imam Abu Hanifah berkata : " Seandainya seseorang menyembah sandal ini untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka aku berpendapat tidak apa-apa ",

" Apakah Abu Hanifah seorang jahmi ? Abu Yusuf menjawab : iya, dia seorang jahmi ".

Dalam pandangan syaikh Muqbil, imam Abu Hanifah telah membolehkan menyembah sandal untuk bertaqarrub kepada Allah, naudzu billahi min dzaalikal kidzb...

Dan dalam pandangannya, imam Abu Hanifah seorang jahmi.

Dalam halaman lainnya, syaikh Muqbil menukil :




" Tidak ada seorang anak yang dilahirkan di Kufah yang lebih berbahaya bagi umat selain Abu Hanifah ".

Di halaman lain, Muqbil menukil :




" Abu Hanifah diminta bertaubat berulang-ulang karena ucapan zindiqnya".

===============

Hebat, Muqbil lebih memilih riwayat-riwayat palsu yang menjelaskan cacian para imam kepada imam Abu Hanifah ketimbang riwayat sahih dan jelas yang memuji kepribadian imam Abu Hanifah.

al-Hafidz Abu Nu'aim berkata :

 حدثنا محمد بن إبراهيم بن علي ، قال: سمعت حمزة بن علي البصري يقول: سمعت الربيع يقول: سمعت الشافعي يقول:«الناس عيال على أبي حنيفة في الفقه». وقال حرملة بن يحيى: سمعت محمد بن إدريسالشافعي يقول: «من أراد أن يتبحر في الفقه، فهو عيال على أبي حنيفة». قال: و سمعته-يعني الشافعي- يقول: «كان أبو حنيفة ممن وفق له الفقه
" Telah menceritakan padaku, Muhamamd bin Ibrahim bin Ali (Abu Bakar al-Aththar, tsiqah), berkata : Aku mendengar Hamzah bin Ali al-Bashri berkata : " Aku telah mendengar Rabi' berkata : Aku telah mendengar imam Syafi'i berkata : " Manusia butuh terhadap fiqih imam Abu Hanifah ". Harmalah bin Yahya berkata : " Aku mendengar imam Syafi'i berkata : Barangsiapa yang ingin mendalami ilmu fiqih, maka ia butuh kepada imam Abu Hanifah ". Ia berkata : " Aku mendengar imam Syafi'i berkata : " Imam Abu Hanifah adalah orang yang termasuk diistimewakan dalam fiqih ".

Ad-Dzahabi berkata :

كلامأبي حنيفة في الفقه أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل

" Ucapan imam Abu Hanifah tentang fiqih lebih lembut dari gandum, tidak mencelanya kecuali orang bodoh ". (Siyar a'laam an-Nubala : 6/404)

Al-Hafidz Ibnu Katsir :

الإمامأبو حنيفة... فقيه العراق، وأحد أئمة الإسلام، والسادة الأعلام، وأحد أركانالعلماء، وأحد الأئمة الأربعة أصحاب المذاهب المتبوعة، وهو أقدمهم وفاة

" Imam ABu Hanifah, seorang ahli fiqih Iraq, salah satu imam Islam, pemimpin yang alim, salah satu rukun ulama, salahs atu imam madzhab yang dikuti, dan paling dahulu wafatnya " (Al-Bidayah : 10/110)

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan :

كانأبو حنيفة أفقه أهل الأرض في زمانه

" Imam ABu Hanifah, seorang yang paling mengerti ilmu fiqih di muka bumi ini pada zamannya ". (al-Faqih wal mutfaqqih : 2/73)

Muhammad bin Muzahim berkata :

 ابن المبارك أيضاً: «لولاأن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس

" Ibnu Mubarak juga mengatakan :" Seandainya Allah tidak membantuku dengan perantara Abu Hanifah dan Sufyan, maka aku sama seperti manusia lainnya ".

klik
Read more ...

Selasa, 04 Februari 2014

Hadits Shahih tentang Keutamaan Surat Yasin


Pertanyaan:

Benarkah ada hadis sohih tentang keutamaan surat yasin?

Jawaban:

Pertama: "Barangsiapa membaca (surat) Yasin pada malam hari dengan mengharap keridoan Allah, ia akan diampuni (dosanya)."

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam "Shahih"nya, Ibnus Sunni dalam "Amalul Yaumi wal Lailah", Al Baihaqi dalam "Syuabul Iman" dan lain-lain.

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya tentang hadits ini, "Sanadnya bagus."

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya "Nataijul Afkar fi Takhriji Ahaditsil Adzkar" berkata tentang hadits tersebut:

هذا حديث حسن

"Ini adalah hadits hasan."

Imam Suyuthi mengatakan tentang hadits ini:

هذا إسناد على شرط الصحيح

"Ini adalah sanad yang sesuai standar shahih." (Sumber: Kitab "Al-La'ali Al-Mashnu'ah" karya Imam Suyuthi)

Imam Syaukani berkata:

حديث من قرأ يس ابتغاء وجه الله غفر له رواه البيهقي عن أبي هريرة مرفوعا وإسناده على شرط الصحيح وأخرجه أبو نعيم وأخرجه الخطيب فلا وجه لذكره في كتب الموضوعات

"Hadits: Barangsiapa membaca Yasin dengan mengharap ridho Allah, ia akan diampuni. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Hurairah secara marfu' dan sanadnya sesuai standar Shahih. Diriwayatkan juga oleh Abu Nu'aim dan Al-Khathib. Maka, tidak ada alasan memasukkan hadits tersebut ke dalam kitab hadits-hadits maudhu' (palsu)."

(Sumber: Al-Fawaid Al-Majmu'ah karya Imam Syaukani 1/303 Bab Fadhlul Qur'an, Maktabah Syamilah)


Kedua: "Bacakanlah surat Yasin atas orang yang hampir mati di antara kamu." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. (Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani)

Imam Syaukani berkata dalam "Al-Fathur Rabbani" tentang hadits tersebut:

والتنصيص على هذه السورة إنما هو لمزيد فضلها وشرفها

"Disebutkannya nama surat tersebut hanya dikarenakan oleh adanya keutamaan dan kemuliaan yang lebih padanya."

Apakah itu mencakup orang yg hampir mati saja ato termasuk yg sudah mati?

Dalam At-Taysiir, Al-Munawi berkata:

وفي رواية ذكرها ابن القيم عند ( موتاكم ) أي من حضره الموت من المسلمين لأنّ الميت لا يقرأ عليه

"..dalam riwayat yang disebutkan Ibnul Qayyim: yang dimaksud "mautakum" adalah muslim yang akan meninggal dunia, karena mayyit tidak perlu lagi dibacakan."

Kemudian beliau mengatakan:

أو المراد اقرؤها عليه بعد موته والأولى الجمع 

"Atau bisa juga maksudnya adalah bacakanlah setelah kematiannya. Yang paling utama adalah digabungkan."

Berarti dibaca sebelum dan setelah meninggal. Wallahu a'lam.

قال ابن القيم وخص يس لما فيها من التوحيد والمعاد والبشرى بالجنة لأهل التوحيد وغبطة من مات عليه لقوله يا ليت قومي يعلمون

Ibnul Qayyim mengatakan, "Dikhususkannya Yasin karena di dalamnya terkandung ajaran tauhid, tempat kembali, berita gembira tentang surga untuk ahli tauhid dan kegembiraan orang yang meninggal di atas tauhid karena firman-Nya, "Seandainya kaumku mengetahui..." (At-Taysiir 1/390)

Sumber 
Read more ...

Salafus Sholeh Bertabarruk dengan Nabi SAW?


Dalam "Musnad Ahmad" (5/422) disebutkan dari Daud bin Abi Shalih ia berkata:

"Suatu hari Marwan mendapati seorang lelaki menempelkan wajahnya pada kuburan. Marwan bertanya pada lelaki itu, "Tahukah apa yang sedang kamu perbuat itu?" lelaki itu menoleh dan ternyata ia adalah Abu Ayyub lalu menjawab, "Ya, aku sedang mendatangi Rasulullah SAW dan bukan sedang mendatangi batu ini. Aku mendengar Rasulullah SAW pernah bersabda: Janganlah kamu tangisi agama ini selama masih ditangani oleh para ahlinya. Tapi tangisilah ia apabila ia ditangani oleh yang bukan ahlinya."

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim (4/560) lalu ia berkata, "Hadits ini shahih sanadnya dan belum dimuat oleh Bukhari dan Muslim." Adz-Dzahabi menambahkan dalam Talkhishnya, "Shahih."

Fathimah Mengambil Segenggam Tanah Makam Nabi SAW

Ibnu Asakir dalam "Tuhfah" meriwayatkan bahwa Fathimah pernah mendatangi kuburan Nabi SAW lalu mengambil segenggam tanah kuburan tersebut dan meltakkannya pada kedua matanya sambil menangis.

Kisah ini disebutkan juga oleh Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (2/213), As-Samhudi dalam "Wafaul Wafa" (2/444), Al-Qasthallani dalam "Irsyadus Sari" (2/390), Ar-Rahibani dalam "Mathalib Ulin Nuha" (1/926) dan Ali Al-Qari dalam "Mirqatul Mafatih" (11/108).

Bilal Mengusapkan Wajahnya di kuburan Nabi SAW

Dalam "Tarikh Dimasyq" karangan Ibnu Asakir disebutkan bahwa Bilal pernah bermimpi bertemu Nabi SAW. Dalam mimpi tersebut Nabi SAW bersabda, "Kekeringan apa yang telah melandamu ini wahai Bilal? Bilakah datang waktumu untuk mengunjungiku?" lalu Bilal tersadar dalam keadaan sedih. Setelah itu ia menaiki kendaraannya menuju Madinah, mendatangi kuburan Nabi SAW lalu menangis di situ sambil mengusapkan wajahnya pada kuburan Nabi SAW.

Lalu datanglah Al-Hasan dan Al-Husain kemudian mereka berdua memeluknya dan menciumnya lalu berkata, "Wahai Bilal, kami rindu mendengarkan adzanmu." Bilal pun memenuhi permintaan mereka berdua, ia lalu mengumandangkan adzan dari atas atap. Ketika terdengar lantunan suaranya mengucapkan "Allahu Akbar Allahu Akbar" kota Madinah bergetar, ketika ia mengumandangan syahadat bertambah lagi goncangannya, hingga ketika ia meneriakkan "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah" para penduduk Madinah keluar dari rumah-rumah mereka sambil berkata, "Apakah Rasulullah hidup kembali?" Sungguh tiada hari yang paling banyak tangisan laki-laki dan perempuan di Madinah semenjak wafatnya Rasulullah SAW melebihi hari itu."

As-Subki berkata dalam "Syifaus Siqam" hal. 39, "Kami telah meriwayatkan kisah itu dengan sanad yang bagus dan tidak perlu lagi meneliti dua sanad yang telah disebutkan oleh Ibnu Asakir itu meskipun para perawinya sudah sangat populer dan terkenal."

Kisah ini juga disebutkan oleh Ibnul Atsir dalam "Usdul Ghabah" (1/208) As-Samhudi dalam "Wafaul Wafa" (2/408) lalu ia berkata, "Sanadnya bagus." Asy-Syaukani berkata dalam "Nailul Authar" (3/105), "Telah diriwayatkan perkara ziarah ke makam Nabi SAW ini dari sejumlah sahabat di antaranya adalah Bilal sebagaimana dalam riwayat Ibnu Asakir, dengan sanad yang bagus."

Dalam kitab "Al-'Ilal wa Ma'rifatur Rijaal" (2/492), disebutkan bahwa Abdullah pernah bertanya kepada ayahnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, tentang seseorang yang mengusap mimbar Nabi SAW dan mengalap berkah dengan usapan tersebut serta menciumnya, begitu juga dengan kuburan dengan niat bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT? Imam Ahmad menjawab: "Tidak apa-apa." Dalam kitab "Wafaul Wafa" (4/1414) juga disebutkan seperti itu.

Imam Dzahabi berkata dalam "Mu'jam Syuyukh"nya halaman 55: "Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar tidak suka mengusap kuburan Nabi SAW. Saya (Dzahabi) berkata: ia tidak suka dengan hal itu karena menganggapnya sebagai tindakan yang kurang sopan. Imam Ahmad pernah ditanya tentang mengusap dan mencium kuburan Nabi SAW dan beliau tidak mempermasalahkannya. Kabar ini diriwayatkan oleh anaknya sendiri yaitu Abdullah bin Ahmad. Kalau ada yang bertanya: mengapa hal itu tidak dilakukan oleh para sahabat? Maka jawabannya adalah: sebab mereka dahulu sudah sering bertemu langsung dengan beliau sehingga sudah cukup puas dengan hal itu, mereka mencium tangan beliau bahkan hampir saja mereka berkelahi karena berebut air bekas wudhu Nabi SAW. Mereka pun membagi-bagi rambut beliau yang suci di waktu Haji Akbar. Apabila beliau meludah, hampir saja air ludah beliau tidak sampai di tanah karena telah ditadahi oleh tangan sahabatnya lalu air ludah itu diusap-usapkan di wajahnya. Adapun kita yang tidak mendapatkan jatah yang sedemikian besar itu, kita hanya bisa berebut menggapai kuburannya dengan cara beriltizam (menempelkan), tabjil (mengagungkan), istilam (mengusap) dan taqbil (menciumnya). Tidakkah anda lihat bagaimana yang dahulu dilakukan oleh Tsabit Al-Bunani? Beliau mencium tangan Anas bin Malik dan meletakkannya di wajahnya sambil berkata: Ini adalah tangan yang pernah menyentuh tangan Rasulullah SAW."

As-Sindi dalam Syarh Sunan Nasai (1/222) berkata setelah menyebutkan hadits tentang shalat Nabi SAW di Thur Sina: "Ini merupakan dalil yang kuat dalam masalah mencari jejak orang-orang shalih, bertabarruk dengannya dan beribadah di situ."

An-Nasai meriwayatkan (5/248) dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW pernah menunjuk sebuah tempat yang di situ ada sebatang pohon besar lalu beliau bersabda, "Di bawah pohon besar itu telah dilahirkan 70 nabi." Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (2/238), Malik (1/423) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban (14/137).

Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya "At-Tamhid" (13/64-66) begitu juga dalam "Al-Istidzkar" (4/406) berkata: "Hadits ini menjadi dalil tentang tabarruk dengan jejak para nabi dan orang-orang shalih."

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam "Fathul Baari" (1/571) berkata: "Dalam riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf bahwa Nabi SAW pernah shalat di lembah Ar-Rauha lalu beliau bersabda: Di tempat ini dahulu shalat 70 nabi."

Ibnu Hajar kemudian berkomentar, "Dapat dipahami dari perbuatan Ibnu Umar ini (dalil) dianjurkannya mencari jejak Nabi SAW dan bertabarruk dengannya."

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Asma' mengambil jubbah yang dahulu dipakai oleh Rasulullah SAW kemudian mencucinya dan berkata, "Kami mencucinya untuk orang-orang sakit supaya diberi kesembuhan dengan jubbah itu."

 Sumber
Read more ...

Senin, 03 Februari 2014

Fatwa Imam Syaukani tentang Tahlilan dan Yasinan


Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah Asy-Syaukani (1173-1250 H / 1760-1834 M) adalah seorang mujtahid dan termasuk ulama besar Yaman, berasal dari daerah Shan'a, pakar fikih, hadits, tafsir dan ushul. Karangan beliau mencapai 114 buah. Beliau termasuk ulama yang anti taklid dan menyeru pada ijtihad. Kendati seperti itu beliau memberi fatwa yang menjawab tradisi sosial seperti yang terjadi di Indonesia yakni Tahlilan, baik rangkaian berkumpulnya, ngaji Yasin bersama, menghadiahkan kepada orang yang wafat, dan sebagainya. Berikut kutipan lengkapnya:

 Pertanyaan Ke-5
Intinya adalah pertanyan tentang tradisi yang berlaku di sebagian negara dengan berkumpul di masjid untuk membaca al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam syariah, apakah perkumpulan semacam itu boleh atau tidak?
Beliau menjawab:
“Tidak diragukan lagi apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh. Sebab pada dasarnya perkumpulannya sendiri tidak diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti membaca al-Quran dan sebagainya. Dan tidaklah dilarang menjadikan bacaan al-Quran itu untuk orang yang meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada dasarnya seperti dalam hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal. Ini adalah hadis hasan. Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di depan mayit atau di kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya, untuk mayit di masjid atau di rumahnya."
Beliau mengakhiri fatwanya dengan ucapan beliau:

"Barangsiapa menganggap bahwa perkumpulan yang terbebas dari perbuatan haram adalah bid'ah, maka sungguh ia telah keliru. Sesungguhnya bid'ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam masalah agama dan ini tidak termasuk di dalamnya." (Ar-Rasail al-Salafiyah, Syaikh Ali bin Muhammad Asy-Syaukani hal 83-85)

Sumber 
Read more ...

Sabtu, 01 Februari 2014

Kitab Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah : bolehkan Dzikir Berjama’ah dan Tahlilan

Ibnu Taimiyah Membolehkan Dzikir Berjama’ah dan Tahlilan


Tahlilan adalah sebuah tradisi ritual yang komponen bacaannya terdiri dari beberapa ayat al-Qur’an, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat, dan lain-lain. Bacaan tersebut dihadiahkan kepada orang-orang yang telah wafat. Hal tersebut terkadang dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah). Hal inilah yang membuat kita berseberangan dengan paradigma kaum salafi wahabi yang menyatakan bahwa amaliah semacam ini dikatakan bid’ah sesat dan pelakunya masuk neraka. Bahkan kami temui sebuah artikel dari wahabi yang mengatakan sesatnya dzikir berjama’ah ala Ust. Arifin Ilham. Tudingan yang semacam ini tentunya tidak tepat, karena tradisi tahlilan dan dzikir berjama’ah yang berkembang di nusantara ini memiliki landasan-landasan dalil dari al-Quran dan Sunnah.

Pengikut Wahabi sepertinya tidak tahu (atau mungkin lupa) mengenai fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah (Ulama yang menjadi rujukan utama kaum salafi wahabi) yang menganggap dzikir berjama’ah dan tahlilan termasuk amal ibadah yang paling utama dan sangat besar pahalanya!.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata :
وَسُئِلَ عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم‏:‏ هذا الذكر بدعة وجهركم فى الذكر بدعة، وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون، ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات، ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة، ويصلون على النبى صلى الله عليه وسلم، والمنكر يعمل السماع مرات بالتصفيق، ويبطل الذكر فى وقت عمل السماع‏؟‏
فأجاب‏:‏
الاجتماع لذكر الله، واستماع كتابه، والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات فى الأوقات‏.‏ ففى الصحيح عن/ النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال‏:‏ ‏(‏إن للَّه ملائكة سياحين فى الأرض، فإذا مروا بقوم يذكرون الله، تنادوا هلموا إلى حاجتكم‏)‏ وذكر الحديث، وفيه ‏(‏وجدناهم يسبحونك ويحمدونك‏)‏‏.‏ لكن ينبغى أن يكون هذا أحياناً فى بعض الأوقات، والأمكنة، فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه فى الجماعات‏:‏ من الصلوات الخمس فى الجماعات، ومن الجمعات، والأعياد، ونحو ذلك‏.‏
وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة، أو القراءة، أو الذكر، أو الدعاء، طرفى النهار وزلفاً من الليل، وغير ذلك، فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثاً، فما سن عمله على وجه الاجتماع كالمكتوبات، فعل كذلك‏.‏ وما سن المداومة عليه على وجه الانفراد من الأوراد، عمل كذلك، كما كان الصحابة ـ رضى الله عنهم ـ يجتمعون أحياناً، يأمرون أحدهم يقرأ، والباقون يستمعون‏.‏ وكان عمر بن الخطاب يقول‏:‏ يا أبا موسى ذكرنا ربنا، فيقرأ وهم يستمعون، وكان من الصحابة من يقول‏:‏ اجلسوا بنا نؤمن ساعة، وصلى النبى صلى الله عليه وسلم بأصحابه التطوع فى جماعة مرات، وخرج على الصحابة من أهل الصفة، وفيهم قارئ يقرأ، فجلس معهم يستمع‏.‏
/وما يحصل عند السماع والذكر المشروع من وجل القلب، ودمع العين، واقشعرار الجسوم، فهذا أفضل الأحوال التى نطق بها الكتاب والسنة‏.‏
وأما الاضطراب الشديد، والغشى والموت والصيحات، فهذا إن كان صاحبه مغلوبا عليه، لم يُلَم عليه، كما قد كان يكون فى التابعين ومن بعدهم‏.‏ فإن منشأه قوة الوارد على القلب مع ضعف القلب‏.‏ والقوة، والتمكن أفضل، كما هو حال النبى صلى الله عليه وسلم والصحابة، وأما السكون، قسوة وجفاء، فهذا مذموم لا خير فيه‏.‏
وأما ما ذكر من السماع، فالمشروع الذى تصلح به القلوب، ويكون وسيلتها إلى ربها بصلة ما بينه وبينها، هو سماع كتاب الله الذى هو سماع خيار هذه الأمة، لاسيما وقد قال صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏(‏ليس منا من لم يتغن بالقرآن‏)‏ وقال‏:‏ ‏(‏زَيِّنوا القرآن بأصواتكم‏)‏ وهو السماع الممدوح فى الكتاب والسنة‏.‏ لكن لما نسى بعض الأمة حظاً من هذا السماع الذى ذكروا به، ألقى بينهم العداوة والبغضاء، فأحدث قوم سماع القصائد والتصفيق والغناء مضاهاة لما ذمه الله من المكاء والتصدية، والمشابهة لما ابتدعه النصارى‏.‏ وقابلهم قوم قست قلوبهم عن ذكر الله، وما نزل من الحق، وقست قلوبهم فهى كالحجارة أو أشد قسوة مضاهاة لما عابه الله على اليهود‏.‏ والدين الوسط هو ما عليه خيار هذه الأمة قديماً وحديثاً‏.‏ والله أعلم‏.‏
Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia memprotes ahli dzikir (berjama’ah) “Ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang sudah wafat, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah (Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah), mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jawab: Berkumpul untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubat (amal mendekatkan diri kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati sebuah kaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat) berseru : “Silahkan sampaikan hajat kalian”. Dan disebutkan di dalam hadits tersebut, terdapat redaksi “Dan kami menemukan mereka bertasbih kepada-Mu dan bertahmid memuji-Mu”, akan tetapi selayaknya hal ini di hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berketerusan dalam jama’ah seperti shalat 5 waktu (dilakukan) dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya, maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang. (Majmu’ al-Fatawa [22/520-521])
Khusus mengenai menghadiahkan pahala kepada mayit, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”.
Dengan demikian apakah kaum Salafi Wahabi berani mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah yang menganjurkan tahlilan dan dzikir berjama’ah termasuk ahli bid’ah dan masuk neraka? ^_^


Sumber
Read more ...
Designed By