Breaking News

Senin, 16 September 2013

PESAN & WASIAT HABIB MUNZIR (mohon dibaca & mohon doanya)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Berikut ini kami sampaikan pesan dari Habib Munzir Almusawa yang kami dapat dari kawan-kawan pecinta Majelis Rasulullah.


Malam ini aku tersandar di pembaringan dan terpaku bertafakkur…, airmata terus mengalir, alangkah lemahnya hamba ini menghadapi gelombak ombak…

Dihadapanku acara esok malam di monas, sedangkan acara malam minggu membuat dadaku pecah, ketika sakit dikepala belakangku kambuh, dan sakitnya terasa seluruh urat panas membara sampai ke kuku dan tulang… dan puncak sakitnya adalah di kepala bagian belakang…

Malam minggu biasanya kutemui 15-20 ribu muslimin, namun tubuh yg sudah rapuh ini terus merangkak menuju majelis yg kukira akan menemui jamaah yg lebih banyak..

Ternyata yg kutemui hanya sekitar 300 orang saja, serasa meledak dadaku karena sedih dan menahan sakit, ingin rasanya kujatuhkan tubuhku dipangggung dan terserah apa yg akan terjadi..

Dg tubuh yg terus menahan sakit aku bertahan, mataku nanar dan panas, wajah dan telinga serasa menjadi tebal bagai ditampar berkali kali.. keluhan sakit adalah sebab peradangan otak yg terus menjadi jadi
Aku terus menoleh kekiri dan kanan, berharap para kekasihku datang berbondong bondong meramaikan acara, namun hanya beberapa puluh saja duduk di shaf, dan sisanya belasan orang berdiri disekitar panggung…, gelombang jamaah tidak tiba juga, tak lama tiba konvoi pun mungkin hanya 50 orang saja
Aku terhenyak, kepalaku semakin sakit, seluruh tubuhku seakan berteriak kesakitan tak kuasa menahan sakitnya.. Allah.. Allah,..Allah… wahai tubuh penuh dosa kau harus bertahan…

Ceramah selesai ,, acara ditutup, aku melangkah ke mobil dg lemah dan ingin kuteriakkan pada semua orang jangan satupun menyentuh kulitku karena sangat terasa sakitnya.. namun aku harus menerima nasibku untuk dikerubuti, mereka datang dan setia padaku.., mereka orang orang berjiwa Muhammad saw, aku tak boleh kecewakan mereka

Aku membatin memandangi jumlah yg sangat sedikit dihadapan panggung besar dan lapangan bola ini……….. 12 tahun aku berdakwah, inilah hasil dakwahku, sisanya adalah buih di lautan..
Sampai dimarkas kerebahkan tubuh penuh derita dg hati yg hancur, ketika mata hampir terlelap maka aku terhentak bagai dibentak syaitan, esok malam acara monas, bagaimana nasibmu munzir….!, adakah akan seperti ini ini…????, hujan akan turun dank au terpaku kecewa dihadapan guru mulia..???
Aku bagai tersengat stroom tegangan tinggi, menangis sekeras kerasnya… sakit dikepalaku sudah tak tertahan, jika kuhantamkan kepala ini ke tembok hingga kepala ini hancur tdak akan terasa sakitnya karena sudah dikalahkan oleh sakit yg jaub lebih berat..

Tubuhku gemetar, lalu aku berkata : ainiy, bantu aku membuka jubah dan sorbanku dan gamisku, bantu aku rebah, ini sudah larut malam, makanan apa yg ada ainiy?, saya lapar, dan perlu makan sedikit untuk makan obat, ia berkata : jam segini wahai habib sudah tdk ada apa2, banyak restoran padang dan penjual makanana masih tutup pula karena liburan panjang..,

Baiklah, buatkan indomi saja, sekedar pengganjal untuk makan obat..
Prof sudah mengatakan, jika sakit di kepala tak mau hilang dg obat penahan sakit yg saya berikan, habib harus segera ke rscm untuk suntik otak…

Berkali kali memang ia menembuskan jarum sepanjang hampir 15cm itu kedalam otakku sedalam dalamnya.. ah,,, tidak ada waktu untuk opname.. aku harus bertahan…

Dihadapankau acara monas,pasrah pada Allah.. lalu saat mata hampir terpejam pikiranku dihentakkan lagi dg beban berikutnya, 12 rabiul awal pada 26 februari…., bulan depan…!!!, lalu kedatangan guru mulia pada sekitar maret….!!, mestilah ada acara akbar pula..!, lalu 27 rajab isra mikraj..!, lalu nisfu sya;ban..!!, lalu badr pada pertengahan ramadhan..!!, lalu habisnya massa kontrak markas MR dibulan juni…

Aku teringat mimpiku beberapa minggu yg lalu, aku berdiri dg pakaian lusuh bagai kuli yg bekerja sepanjang hari, dihadapanku Rasulullah saw berdiri di pintu kemah besar dan megah, seraya bersabda : “semua orang tak tega melihat kau kelelahan wahai munzir, aku lebih tak tega lagi…, kembalilah padaku, masuklah kedalam kemahku dan istirahatlah…

Ku jenguk dalam kemah mewah itu ada guru mulia, seraya berkata :kalau aku bisa keluar dan masuk kesini kapan saja, tapi engkau wahai munzir jika masuk kemah ini kau tak akan kembali ke dunia..
Maka Rasul saw terus mengajakku masuk, “masuklah.. kau sudah kelelahan.., kau tak punya rumah di dunia(memang saya hingga saat ini masih belum punya rumah) , tak ada rumah untukmu di dunia, karena rumahmu adalah disini bersamaku.., serumah denganku.., seatap dg ku…, makan dan mium bersamaku .. masuklah,,,

Lalu aku berkata : lalu bagaimana dg Fatah Jakarta? (Fatah tegaknya panji kedamaian Rasul saw), maka beberapa orang menjawab dibelakangku : wafatmu akan membangkitkan ribuan hati utk meneruskan cita citamu,..!!, masuklah,,,!

Lalu malaikat Izrail as menggenggamku dari belakang, ia memegang dua pundakku, terasa seluruh uratku sudah digenggamannya, seraya berkata : mari… kuantar kau masuk.. mari…
Maka kutepis tangannnya, dan aku berkata, saya masih mau membantu guru mulia saya…, maka Rasul saw memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku..

Aku terbangun…
Semalam ketika aku rebah dalam kegelapan kulihat dua tamu bertubuh cahaya, namun wajahnya tidak bertentuk kecuali hanya cahaya, ia memperkenalkan bahwa ia adalah Izrail as..
Kukatakan padanya : belum… belum.. aku masih ingin bakti pada guru muliaku.. pergilah dulu, maka ia pun menghilang raib begitu saja.

Tahun 1993 aku bermimpi berlutut dikaki Rasul saw, menangis rindu tak kuat untuk ingin jumpa, maka Sang Nabi saw menepu pundakku… tenang dan sabarlah..sebelum usiamu mencapaii 40 tahun kau sudah kumpul bersamaku”

Usia saya kini 37 tahuh pada 23 feb 73, dan usia saya 38 tahun pada 19 muharram ini.
Peradangan otak ini adalah penyakit terakhirku, aku senang wafat dg penyakit ini, karena Rasul saw beberapa bulan sebelum wafatnya terus nebgeluhkan sakit kepala..
Salam rinduku untuk kalian semua jamaah Majelis Rasulullah saw kelak, jika terjadi sesuatu padaku maka teruskan perjuanganku.. ampuni kesalahanku.., kita akab jumpa kelak dg perjumpaan yg abadi..
Amiin..

Kalau usiaku ditakdirkan lebih maka kita terus berjuang semampunya, tapi mohon jangan siksa hari hariku.. hanya itu yg kuminta..

Semoga Allah panjangkan umur beliau untuk berdakwah di jalan Allah dan Rasulullah. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...

Ada Orang yang Mengaku sebagai Muhaddits? Cek Dulu Apakah Kriteria-kriteria Berikut ini Sudah Terpenuhi?


Bismillahirrahmaanirrahiim.

Menjadi seseorang ahli hadits yang mencapai derajat sebagai Muhaddits, apalagi derajat muhadditsul muhadditsiin (muhadditsnya para muhaddits), sungguh tidak enteng dan tidak mudah kriteria persyaratan serta tanggungjawabnya. Sehingga tidak sembarangan orang boleh mendakwakan bahwa dirinya sendiri atau orang lain telah mencapai derajat muhaddits, ia harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang sangat berat dan harus pula diakui oleh ulama’-ulama’ lainnya yang memiliki kompetensi. Untuk mengetahui bagaimana beratnya dan ketatnya kriteria-kriteria tersebut, ada baiknya kita simak apa yang disampaikan oleh al-Imam Taajuddin as-Subki rahimahullah yang tercantum di dalam salah satu kitab karya beliau yaitu kitab Mu’id an-Ni’am wa Mubiid an-Niqam.


Ada suatu kelompok orang yang mengkaji kitab Masyaariq al-Anwaar karya ash-Shaaghaaniy, dan bahkan ditambah pula dengan mengkaji kitab Mashaabih karya al-Baghawi, lalu mereka mengira hanya dengan kriteria yang sedemikian itu saja maka mereka dapat mencapai derajat sebagai muhaddits. Maka sejatinya pendapat mereka itu merupakan wujud kebodohan mereka terhadap ilmu hadits, meskipun mereka hafal isi kedua kitab tersebut di luar kepala, dan ditambah lagi dengan dua kitab lagi yang semisal kedua kitab tadi, maka belumlah mereka mencapai derajat sebagai muhaddits, dan tidak akan mengantarkan mereka mencapai derajat muhaddits sedikitpun hingga onta dapat masuk ke lubang jarum. (Taajuddin As Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam, halaman 81)


Maka apabila mereka menyatakan bahwasanya  mereka telah sampai pada derajat tinggi di dalam bidang ilmu hadits –menurut persangkaan mereka— yaitu hanya cukup dengan menyibukkan diri mengkaji kitab Jami’ul Ushul karya ibnu al-Atsir, dan ditambah lagi dengan kitab ‘Ulum al’-Hadits karya ibnu Sholah atau kitab ringkasannya yang berjudul at-Taqrib wa at-Taysir karya imam an-Nawawi, atau kitab lain yang semisalnya, lalu mereka mendakwa, “Barang siapa yang mencapai derajat ini, maka ia telah menjadi seorang muhadditsnya para muhaddits, dan dapat diumpamakan seperti Bukhari zaman ini,” atau dengan perkataan-perkataan dusta mereka yang lainnya, maka sesungguhnya hal-hal yang telah kami sebutkan tadi ia tidak dapat dihitung sebagai seorang muhaddits sedikitpun hanya dengan bermodalkan kadar ilmu yang seperti itu. (Tajuddin As Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam, halaman 81-82)


Sesungguhnya yang disebut muhaddits adalah mereka yang mengetahui Isnaad, ‘ilal, nama-nama rijal, al-‘aali dan an-naazil, hafal banyak matan, menyimak Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, dan ditambahkan pula dengannya seribu juz daripada kitab-kitab hadits. Dan yang demikian ini adalah derajat yang paling rendah dari seorang muhaddits. (Tajuddin As Subki, kitab Mu’id an-Ni’am wa mubid an-Niqam, halaman 82-83)

Selain itu mari kita simak juga kitab Tadrib ar-Rawi fii Syarhi Taqriib an-Nawawi karya al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah. Di kitab tersebut disebutkan mengenai kriteria Muhaddits dan al-Hafizh. Mengenai kriteria al-Hafizh, al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menukil pendapat dari al-Imam Taqiyyuddin as-Subki:


Dan telah berkata Syaikh Taqiyyuddin as-Subki: “Bahwasanya ia telah bertanya kepada al-Hafizh Jamaluddin al-Mizzi perihal batasan-batasan jumlah banyaknya hafalan yang ditentukan bagi seseorang yang bergelar al-Hafizh? Maka Syaikh al-Mizzi menjawab: Perihal ini dikembalikan kepada para pakarnya. Maka aku (Syaikh Taqiyyuddin As-Subki) bertanya: Dimana ditemukan pakarnya? Sangat langka tentunya, jawab syaikh al-Mizzi: Sangat sedikit memang. Minimal orang yang bergelar al-Hafizh mengetahui para perawi hadits, baik biografinya, perilakunya, dan negerinya, yang ia ketahui lebih banyak daripada yang tidak diketahui. Agar lebih jelas mengenai permasalahan ini kepada khalayak ramai, aku (Syaikh Taqiyyuddin as-Subki) berkata: Orang yang semacam ini sangat langka di zaman ini.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 15)

Adapun mengenai kriteria Muhaddits, dijelaskan lagi oleh beliau dengan menukil pendapat beberapa ulama diantaranya:


Dan berkata Syaikh Fatkhuddin ibn Sayyidunnaas: “Dan adapun muhaddits di zaman kami adalah orang yang menghabiskan waktunya dengan hadits-hadits baik secara riwayat maupun dirayah, dan mengumpulkan riwayat-riwayat, mengetahui sebagian besar para perawi di masanya, ia termasuk orang yang unggul di bidang ini dan dikenal kebagusan daya hafalnya serta masyhur kedhabitannya (tingkat ketelitiannya), maka apabila ia memiliki keluasan di dalam hadits hingga ia mengetahui guru-gurunya, dan guru-guru daripada guru-gurunya, tingkatan demi tingkatan, sekiranya yang ia ketahui daripada tiap tingkatan lebih banyak daripada yang tidak ia ketahui, maka orang ini disebut sebagai al-Hafizh.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 15)


Dan sungguh telah menetapkan para salaf mengenai muhaddits dan al-Hafizh dengan makna, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id as-Sam’aani dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Zur’ah ar-Razi, ia berkata, “Aku mendengar Abu Bakr bin Abi Syaibah berkata: Barang siapa yang tidak menuliskan hadits sebanyak dua puluh ribu hadits secara imla’ maka ia tidak terhitung sebagai ahli hadits.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 13)


Di dalam kitab al-Kaamil karya ibnu ‘Adiy dari jalur an-Nufailiy, ia berkata: “Aku mendengar Husyaiman berkata: Barang siapa yang tidak menghafalkan hadits, maka ia tidak termasuk daripada ahli hadits.” (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 13)

Berdasarkan keterangan dari kitab Tadrib ar-Rawi diatas, maka salah satu syarat menjadi seorang muhaddits adalah menghafal hadits. Tentunya menghafalnya tidak sebatas menghafal hadits puluhan atau ratusan hadits saja, akan tetapi mencapai ratusan ribu hingga jutaan hadits beserta sanad perawinya dan hukum-hukum yang menyertainya.


Dan diriwayatkan mengenai kadar banyaknya hafalan hadits seorang yang bergelar al-Hafizh, telah berkata imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: Aku susun kitab al-Musnad dan aku memilihnya dari 750.000 hadits. Dan telah berkata Abu Zur’ah ar-Raziy: Bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal hafal Satu juta hadits. Dan telah berkata Yahya bin Ma’iin: Aku telah menulis satu juta hadits dengan tanganku sendiri. Dan telah berkata al-Bukhari: Aku menghafal seratus ribu hadits shahih, dan dua ratus ribu hadits selain hadits shahih. Dan telah berkata Muslim: Aku karang kitab musnad ini dari tiga ratus ribu hadits shahih. Dan telah berkata Abu Dawud: Aku tulis apa-apa dari Rasulillah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebanyak lima ratus ribu hadits, lalu aku memilih daripadanya untuk aku tulis di kitab as-Sunan. (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 16)


Dan telah berkata al-Hakim di dalam al-Madkhal: Bahwasanya salah seorang dari para Huffazh hafal sebanyak 500.000 hadits. Aku mendengar Abu Ja’far ar-Razi berkata: Aku mendengar Abu Abdillah bin Warah berkata: Aku bersama Ishaq bin Ibrahim Naisaburi, maka berkata seorang laki-laki dari Iraq: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata: Hadits shahih yang aku hafal sebanyak 700.000 lebih, dan lelaki ini, yakni Abu Zur’ah, sungguh ia telah menghafal 700.000 hadits, berkata al-Baihaqi: aku meriwayatkan semua yang shahih daripada hadits-hadits Nabi dan perkataan para shahabat dan Tabi’iin. (Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, juz 1, halaman 16)

Lihatlah, para imam kita, hafal ratusan ribu hingga jutaan hadits!
  1. Imam Ahmad bin Hanbal hafal 700.000 hingga satu juta hadits
  2. Imam Yahya bin Ma’iin hafal satu juta hadits.
  3. Imam al-Bukhari hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits selain hadits shahih.
  4. Imam Muslim hafal 300.000 hadits shahih.
  5. Imam Abu Dawud hafal 500.000 hadits
Para imam tersebut tidak hanya hafal matan hadits saja, akan tetapi semua ilmu yang berkaitan dengan hadits seperti isnaad, ‘ilal, nama-nama rijal, al-‘aali dan an-naazil sebagaimana yang disebutkan oleh Taajuddin as-Subki di awal pembahasan.

Terakhir, sebagai bahan renungan, jika pada zamannya imam Taqiyyuddin as-Subki (Sekitar abad 7 H) jumlah orang yang memenuhi syarat mendapat gelar al-Hafizh saja dapat dibilang langka, apalagi di zaman kita sekarang ini, abad 14 H? Jika ada seseorang yang tiba-tiba mengaku atau “dimunculkan/diorbitkan/dikarbitkan” oleh kalangan tertentu sebagai muhaddits zaman ini atau Bukhari-nya zaman ini kemudian dengan seenaknya ia mengkritik hadits-hadits yang diriwayatkan oleh  para imam muhaddits diatas, mengacak-acak karya imam-imam besar tersebut, sedangkan syarat-syarat paling minimal untuk mendapat legitimasi derajat muhaddits saja tidak terpenuhi, maka sejatinya ia telah merusak Islam dari dalam.


Referensi:
1, Kitab Mu’id an-Ni’am wa Mubid an-Niqam, karya imam Taajuddin as-Subki.
2. Kitab Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, Karya imam Jalaluddin as-Suyuthi.

Sumber

ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...

Hukum Menghidangkan Makanan Kenduri Kematian Menurut al-Imam Ibnu Hajar al-Haytami



Telah ditanya al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami -semoga Allah Ta’aala selalu memberikan manfaat dengan beliau- mengenai permasalahan menyediakan makanan bagi orang ta’ziyah yang umum dilakukan di negeri Yaman, yang mana hal tersebut kadang dilakukan oleh orang lain (bukan keluarga) namun semua pengeluaran (biaya) dimintakan kepada ahli waris dan kadang-kadang dikerjakan oleh salah seorang ahli waris dan semua biaya dimintakan kepada ahli waris yang lain. Maka bagaimanakah hukumnya (menyediakan makanan tersebut)?

al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjawab:
Bila menyediakan makanan bagi orang-orang yang  berta’ziyah tersebut mendorong kepada maksiat seperti niyahah maka hukumnya haram secara mutlaq (baik yang melakukannya pewaris atau orang lain, menggunakan harta mahjur ‘alaih ataupun tidak) dan jika menyediakan makanan tersebut tidak mendorong kepada maksiat dan dilakukan oleh orang lain tanpa ada izin dari pewaris hukumnya boleh dan tidak dapat dimintakan biaya kepada ahli waris karena ia melakukan tabarru’ (kebaikan). Demikian juga diperbolehkan jika dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa ada izin dari ahli waris lainnya maka tidak dapat dimintakan ganti biayanya kepada ahli waris lainnya.

Dan haram bagi pewaris atau orang yang menerima wasiat melakukan hal tersebut (menyediakan makanan bagi orang yang berta’ziah) dari harta peninggalan bila ada sebagian ahli waris yang belum mukallaf atau mahjur ‘alaih (orang yang tidak dibolehkan mempergunakan harta) karena boros (safih).
Bila si mayat mewasiatkannya (penyediaan makanan untuk orang yang berta’ziah) maka jika atas jalan haram atau makruh maka masiatnya tidak berlaku. Dan bila tidak (bukan atas jalan haram atau makhruh) maka wasiat tersebut berlaku hanya dari 1/3 harta si mayat jika tidak di izinkan oleh ahli waris untuk lebih dari kadar 1/3 harta mayat, maka pada saat demikian boleh dikerjakan oleh orang yang di wasiatkan. Wallahu a’lam.


Kesimpulan:

Dari jawaban al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dapat disimpulkan bahwa hukum menyediakan makanan pada hari kematian adalah;

1. Dihukumi Haram, apabila :
a. Pemberian makanan tersebut untuk mendorong orang-orang melakukan kemaksiatan seperti niyahah atau meratapi kematian. (Faktanya di masyarakat tidak pernah kita melihat ada orang yang menyediakan makanan dengan tujuan untuk niyahah seperti ini)
b. Di ambil dari harta warisan sedangkan di antara ahli waris ada yang belum baligh atau mahjur `alaih (misalnya orang gila)

2. Dihukumi Boleh, apabila:
a. Menggunakan harta selain harta warisan
b. Menggunakan harta warisan atas dasar persetujuan semua ahli waris.
c. Dikerjakan oleh sebagian ahli waris dari harta miliknya sendiri (selain harta warisan) atau harta warisan yang menjadi bagiannya.

3. Apabila orang yang wafat tersebut pernah mewasiatkan untuk menyediakan makanan pada hari kematiannya, maka pelaksanaan wasiat tersebut hanya berlaku pada kasus dimana menghidangkan makanan dihukumi boleh, sedangkan pada kasus haram atau makruh maka wasiat tersebut tidak berlaku.

Sumber


ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ 


Read more ...

Habib Rizieq : Wahabi Memfitnah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab


fakta wahabi
Kelompok Wahabi atau Salafi Wahabi selalu membanggakan diri nya sebagai kelompok pembela Ahlusunah yang murni dan pengikut setia ajaran SYEKH MUHAMAD BIN ABDUL WAHAB padahal dalam buku-buku yang mereka karang sangat bertentangan oleh apa yang di ajarkan SYEKH MUHAMAD BIN ABDUL WAHAB bahkan menjurus pada penyimpangan.

Berikut ini penjelasan dari Habib Rizieq Syihab atas beberapa fitnah yang sering di lontarkan oleh kelompok Wahabi dalam setiap dakwah nya.

12 FITNAH TERHADAP SYEKH MUHAMAD BIN ABDUL WAHAB.

1. Aku di Fitnah Telah membatalkan para Imam Madzhab.

2. Aku di Fitnah Telah mengatakan bahwa umat islam sejak 600 tahun yang lalu mereka semuanya sesat.

3. Aku di Fitnah Telah mengajar orang untuk Ijtidad keluar dari Madzhab.

4. Aku di Fitnah katanya saya Telah tidak Taqlid.

5. Aku di Fitnah Bahwa Perbedaan ulama adalah Adzab/siksa.

6. Aku di Fitnah bahwa saya mengkafirkan orang TAWASUL kepada orang Sholeh.

7. Aku di Fitnah Telah mengkafirkan Imam Qusyayri dengan Kitab BURDAHNYA.

8. Aku di Fitnah Andaikata aku mampu menghancurkan Rumahnya Nabi Niscaya Aku hancurkan Rumah Nabi.

9. Aku di Fitnah andai Punya kemampuan niscaya aku Ambil Mizabnya Ka'bah untuk diganti dengan Kayu.

10. Aku di Fitnah katanya Telah Mengingkari BERZIARAH KUBUR NABI.

11. Aku di Fitnah Katanya Telah melarang Berziarah Kubur kepada kedua orang Tua.

12. Aku di Fitnah katanya Telah mengkafirkan orang yang besumpah kepada Selain Allah.

Simak videonya berikut ini :






Semoga wahabiyyun kelas ustadz sampai kelas jama'ahnya tobat dari kesalahannya. Aamiin.
Read more ...

Ustadz Muhammad Idrus Ramli Menjawab Abul Jauzaa' Mengenai Atsar Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma


Ini adalah jawaban dari ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Abul Jauzaa' Al Wahabi diblognya mengenai Atsar Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Muhammad Idrus Ramli menjawab Abul Jauzaa' mengenai KEBOHONGAN DAN KEBODOHAN ILMIAH ABUL JAUZAA’, TENTANG ATSAR IBNU UMAR radhiyallahu ‘anhuma

SETELAH SAYA MENULIS CATATAN TENTANG KESHAHIHAN ATSAR IBNU ‘UMAR radhiyallahu ‘anhuma, KETIKA KAKINYA MATI RASA, LALU MENGATAKAN “YA MUHAMMAD”, SEBAGIAN TEMAN FB MEMBERITAHUKAN BAHWA ABUL JAUZAA’ (USTADZ WAHABI), MENULIS BANTAHAN TERHADAP TULISAN TERSEBUT. SETELAH SAYA LIHAT, TERNYATA ABUL JAUZAA’ MENDHA’IFKAN ATSAR TERSEBUT DENGAN BERTAKLID BUTA KEPADA PARA PENULIS DI MULTAQA AHLI HADATS (NAMA SITUS WAHABI). OLEH KARENA ITU, TULISAN INI AKAN MENGUNGKAP KEBOHONGAN ILMIAH ABUL JAUZAA’.

SUNNI: “Di antara dalil istighatsah adalah, atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: خَدِرَتْ رِجْلُ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ " يَا مُحَمَّدُ "

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, ia berkata : Kaki Ibnu ‘Umar pernah mati rasa (kesemutan). Lalu seorang laki-laki berkata kepadanya : “Sebutlah orang yang paling engkau cintai”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Wahai Muhammad” [Al-Adabul-Mufrad no. 964].

Atsar tersebut telah kami buktikan keshahihannya dalam catatan kami di fans page ini, pada beberapa waktu yang lalu.”

WAHABI: “Riwayat tersebut lemah dengan alasan ‘an’anah Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Memang Sufyaan al-Tsauri dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari Zuhair bin Mu’aawiyyah, seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya (di akhir usia Abu Ishaaq).”.

SUNNI: “Telah saya jelaskan dalam tulisan saya, bahwa ikhtilath nya Abu Ishaq tidak berpengaruh dalam periwayatan haditsnya. Terutama berkaitan dengan atsar Ibnu Umar di atas. Terbukti riwayat Zuhair dari Abu Ishaq, setelah mengalami ikhtilath, sama dengan riwayat Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum ikhtilath. Sehingga antara riwayat Sufyan al-Tsauri dan riwayat Zuhair bin Mu’awiyah saling menguatkan. Riwayatnya Sufyan semakin kuat dengan mutaba’ah nya Zuhair. Sedangkan riwayat Zuhair, seandainya memang lemah, menjadi kuat dengan riwayat Sufyan al-Tsauri. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits??? Sedangkan terkait dengan ‘an’anah nya Abu Ishaq al-Sabi’i, telah kami jawab, terselamatkan dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq yang diriwayatkan oleh al-Harbi dalam Ghariibul-Hadiits 2/673 : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, dari orang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar. Syu’bah berkata :

كفيتكم تدليس ثلاثة: الأعمش وأبو إسحاق وقتادة

“Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga orang : al-A’masy, Abu Ishaq, dan Qatadah” [Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no. 29].”

Dengan demikian, kelemahan riwayat Sufyan al-Tsauri karena factor ‘an’anah nya Abu Ishaq, terlematkan dan dihukumi muttashil (sambung), dengan riwayatnya Syu’bah dari Abu Ishaq berkaitan dengan atsar tersebut. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???”

WAHABI: “Tapi bagaimanapun riwayat Syu’bah tetap lemah, karena terdapat perawi mubham (tidak jelas identitasnya), antara Abu Ishaq dengan Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma.”

SUNNI: “Bukankah lemahnya riwayat Syu’bah, karena factor perawi yang mubham, telah dikuatkan oleh riwayat Sufyan al-Tsauri dan Zuhair bin Mu’awiyah yang menyebutkan bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad. Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan:

الثالث: إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان دون الحسن لذاته.

“Apabila suatu hadits diriwayatkan dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, maka akan hilang kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu, tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).

Dalam pernyataan al-Imam an-Nawawi dan as-Suyuthi di atas, hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalur yang dha’if, apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis dan jahalah, kelemahannya menjadi hilang karena ada jalur lain yang menguatkan dan menjelaskan. Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas sekali antara riwayat Syu’bah, Sufyan al-Tsauri dan Zuhair saling menguatkan. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???

WAHABI: “Atsar Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum di atas, juga diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 168, tetapi riwayat ini lemah dengan sebab Muhammad bin Khidaasy, seorang yang majhuul. Juga diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 170, tetapi riwayat dari jalur ini lemah dengan sebab Muhammad Mush’ab, dan al-Haitsam bin Hanasy juga seorang yang majhuul.”

SUNNI: “Anda terlalu gegabah dalam menghukumi ketiga perawi yang Anda sebutkan sebagai perawi lemah dan majhul. Berikut penjelasan status ketiga perawi yang Anda zhalimi itu.

1) Muhammad bin Khidasy, sepertinya beliau Mahmud bin Khidasy al-Thaliqani, hanya terkadang dalam sebagian kitab ditulis Muhammad bin Khidasy. Beliau seorang al-imam al-hafizh al-tsiqah, sebagaimana disebutkan oleh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal. Meriwayatkan dari Husyaim, Ibnu al-Mubarak, Fudhail bin Iyadh, Sufyan bin Uyainah dan seangkatannya. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Nairuz al-Anmathi, perawi atsar Ibnu Umar dalam riwayat Ibnus-Sunniy.

2) Muhammad bin Mush’ab al-Qarqasani, kata al-Dzahabi, fiihi dhu’fun (terdapat kelemahan), dalam artian status kelemahan Muhammad bin Mush’ab adalah kelemahan yang ringan (khafif), bukan kelemahan mutlak. Bukan pula perawi lemah, dalam level menengah ke bawah, akan tetapi masih di atas mereka. Oleh karena itu, al-Tirmidzi masih men-shahih kan haditsnya. Anehnya, kelompok anti istighatsah hanya mengutip pendapat ulama yang menganggap nya lemah saja. Sementara para ulama yang menilainya adil dan tsiqah, tidak mereka kutip. Di antara ulama yang menilai nya adil adalah Ibnu Adi dalam al-Kamil, Ahmad bin Hanbal dan al-Bukhari dalam al-Tarikh. Perawi yang statusnya diperselisihkan antara lemah dan adil, haditsnya bernilai hasan, sebagaimana dalam ilmu mushthalah hadits. (Kalau Anda ingin tahu, redaksi bahasa Arabnya, akan kami kemukakan dalam catatan selanjutnya).

3) Al-Haitsam bin Hanasy, bukan perawi majhul, akan tetapi perawi yang tidak diragukan ke-tsiqah-annya. Beliau meriwayatkan hadits dari dua orang sahabat Ibnu Umar dan Hanzhalah bin Rabi’ah al-Usaidi al-Katib (sekretaris wahyu). Ulama yang meriwayatkan dari al-Haitsam bin Hanasy adalah Abu Ishaq al-Sabi’i dan Salamah bin Kuhail. Silahkan Anda cek dalam Ibnu Abi Hatim al-Jarh wa al-Ta’dil; al-Daraquthni, al-Mu’talif wa al-Mukhtalif; dan Abu Nu’aim al-Ashfihani, Ma’rifah al-Shahabah.

Dengan demikian, riwayat Ibnu al-Sunni melalui kedua jalur tersebut, kelemahannya hanya karena faktor ‘an’anah, dan telah dikuatkan oleh riwayat Syu’bah di atas, sehingga posisinya menjadi shahih atau hasan lighairihi. Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan:

الثالث: إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان دون الحسن لذاته.

“Apabila suatu hadits diriwayatkan dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, akan hilang kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu, tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).

WAHABI: “Itu kan mushthalah hadits ulama dulu. Kami mengikuti mushthalah hadits yang sekarang.”

SUNNI: “Apakah Anda pengikut al-Albani?”

WAHABI: “Ya tentu. Siapa lagi kalau bukan al-Albani.”

SUNNI: “Menurut kaedah yang pernah dikemukakan oleh al-Albani, atsar Ibnu Umar tersebut seharusnya shahih dan menjadi hujjah. Al-Albani berkata dalam kitab nya Tamam al-Minnah:

تقوية الحديث بكثرة الطرق ليس على اطلاقه : من المشهور عند اهل العلم أن الحديث اذا جاء من طرق متعددة فإنه يتقوى بها ويصير حجة وان كان كل طريق منها على انفراده ضعيفا. ولكن هذا ليس على اطلاقه بل هو مقيد عند المحققين منهم بما اذا كان ضعف رواته في مختلف طرقه ناشئا من سوء حفظهم، لا من تهمة في صدقهم او دينهم، وإلا فإنه لا يتقوى مهما كثرت طرقه.

“Menilai kuatnya hadits berdasarkan banyaknya jalur tidak bersifat mutlak. Di antara yang populer menurut ahli ilmu, bahwa suatu hadits apabila datang dari jalur yang banyak, maka dapat menjadi kuat dan menjadi hujjah, meskipun masing-masing jalur secara parsial bernilah lemah. Tetapi ini tidak bersifat mutlak. Akan tetapi dibatasi menurut muhaqqiqin dari ahli ilmu, dengan batasan apabila kelemahan perawinya dalam berbagai jalurnya timbul dari hapalan mereka yang buruk, bukan karena kejujuran dan agama mereka yang dicurigai. Kalau tidak demikian, maka tidak bisa kuar meskipun jalur-jalurnya banyak.” (Al-Albani, Tamam al-Minnah, hal. 31).

Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas (meskipun sebenarnya kita tidak butuh pada al-Albani, karena kaedah tersebut berlaku umum dalam kitab-kitab mushthalah hadits), atsar Ibnu Umar di atas harus dinilah kuat dan menjadi hujjah, karena jalurnya banyak, dan kelemahannya bukan karena faktor perawinya tidak jujur, pendusta atau fasiq, akan tetapi karena faktor ‘an’anah.”

WAHABI: “Apakah riwayat Syu’bah (jalur kedua) dapat menguatkan riwayat Ats-Tsauriy dan Zuhair (jalur pertama) – sehingga dapat disimpulkan bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’d ?.
Jawabnya : Tidak, dengan sebab :
1. Riwayat Ats-Tsauriy tidak shahih hingga ‘Abdurrahmaan karena ‘an’anah Abu Ishaaq, sedangkan riwayat Syu’bah shahih hingga perawi mubham tersebut. Atau dengan kalimat singkat : Riwayat Syu’bah lebih shahih hingga tingkatan syaikh-nya Abu Ishaaq daripada riwayat Ats-Tsauriy.”

SUNNI: “Penilaian Anda bahwa atsar tersebut lemah, sesuai dengan kaedah ilmu mushthalah hadats (bid’ah) yang Anda ikuti. Kalau berdasarkan ilmu mushthalah hadits, seperti kami ketengahkan pernyataan para ulama di atas, riwayat atsar di atas, harusnya dinilai shahih.”

WAHABI: “2. Jalur riwayat ketiga dan keempat oleh Ibnus-Sunni, di mana Abu Ishaq meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Syu’bah dan al-Haitsam bin Hanasy, merupakan qarinah tambahan adanya idlthiraab dalam periwayatan Abu Ishaaq, sehingga hadits tersebut lemah.”

SUNNI: “Anda sungguh lucu dan mengherankan. Seorang wanita yang berduka cita karena anaknya mati, akan sangat terhibur dengan humor Anda dalam menghukumi hadits. Anda tidak mengerti kriteria hadits mudltharib, tapi dalam catatan-catatan Anda, seakan-akan Anda sudah sangat alim melebihi al-Baihaqi, al-Dzahabi dan al-Suyuthi dalam bidang hadits. Anda harus tahu, bahwa menghukumi suatu riwayat itu mudltharib, harus membuktikan adanya pertentangan dalam sanad atau matan. Dan sebelum menghukumi bahwa suatu riwayat dikatakan mudltharib, harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:

Pertama, apabila kedua riwayat tersebut dapat digabungkan, maka harus digabungkan. Khawatir riwayat tersebut bertentangan hanya secara lahiriah, sedangkan pada hakikatnya, tidak bertentangan.

Kedua, jika tidak bisa digabungkan, maka solusinya dilakukan tarjih, mana yang lebih kuat dari sekian riwayat tersebut.

Ketiga, kalau tarjih tidak bisa dilakukah, karena semua riwayatnya memiliki kekuatan yang sejajar, maka hadits tersebut dihukumi tawaqquf, dan menunjukkan bahwa riwayat tersebut lemah. Ini sebenarnya yang harus Anda ketahui. Oleh karena itu, banyak sekali hadits mudltharib, tetapi tidak mempengaruhi dalam melemahkan hadits tersebut menurut para ulama huffazh.

Sekarang, sebelum saya menjelaskan lebih jauh pernyataan para ulama dalam mushthalah hadits, saya akan membantah Anda dengan pernyataan Ibnu Taimiyah, yang di-ma’shum-kan oleh kaum Wahabi, bahkan selevel dengan ke-ma’shum-an imam-imam Syiah di mata orang Syi’ah. Ibnu Taimiyah berkata:

إِنَّ أَبَا إسْحَاقَ كَانَ الْحَدِيثُ يَكُونُ عِنْدَهُ عَنْ جَمَاعَةٍ يَرْوِيه عَنْ هَذَا تَارَةً وَعَنْ هَذَا تَارَةً كَمَا كَانَ الزُّهْرِيُّ يَرْوِي الْحَدِيثَ تَارَةً عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَتَارَةً عَنْ أَبِي سَلَمَةَ وَتَارَةً يَجْمَعُهُمَا فَمَنْ لَا يَعْرِفُهُ فَيُحَدِّثُ بِهِ تَارَةً عَنْ هَذَا وَتَارَةً عَنْ هَذَا يَظُنُّ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّ ذَلِكَ غَلَطٌ وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ. (مجموع فتاوى ابن تيمية، 18/25).

“Sesungguhnya Abu Ishaq, hadits miliknya diriwayatkan dari banyak orang. Ia terkadang meriwayatkan dari ini, dan terkadang dari ini. Sebagaimana al-Zuhri meriwayatkan hadits terkada dari jalur Sa’id bin al-Musayyab dan terkadang dari jalur Abu Salamah, dan terkadang menggabungkan keduanya. Orang yang tidak tahu, maka menyampaikan haditsnya, kadang dari ini dan kadang dari ini. Sebagian manusia beraumsi bahwa riwayat tersebut keliru. Padahal keduanya shahih.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 18 hal. 25).

Pernyataan Ibnu Taimiyah, bagi kaum Wahabi sama dengan wahyu. Di sini Anda berada antara dua pilihan, yang termanispun dari keduanya pasti terasa pahit. Ada kalanya Anda salahkan imam Anda atau Anda harus mengakui kesalahan dan kebohongan Anda dalam ilmu hadits.

Al-Hafizh al-Sakhawi berkata dalam Fath al-Mughits:

إن اختلاف الرواة في اسم رجل أو نسبه لا يؤثر ذلك لأنه إن كان الرجل ثقة كما هو مقتضى صنيع من صحح هذا الحديث فلا ضير كا تقدم في كل من المعل والمنكر لا سيما وفي الصحيحين مما اختلف فيه على راويه جملة أحاديث وبذلك يرد على من ذهب من أهل الحديث إلى أن الاختلاف يدل على عدم الضبط في الجملة فيضر ذلك ولو كانت رواته ثقات إلا أن يقوم دليل على أنه عند الراوي المختلف عليه عنهما جميعا أو بالطريقتين جميعا والحق إنه لا يضر فإنه كيف ما دار كان على ثقة

“Perselisihan para perawi tentang nama seseorang atau nasabnya tidak akan berpengaruh. Karena apabila orang tersebut tsiqah, dipercaya, sebagaimana yang telah menjadi tuntutan sikap orang yang men-shahihkan hadits ini, maka tidaklah berbahaya sebagaimana telah dikemukakan, dalam hadits mu’all dan munkar. Lebih-lebih dalam Bukhari-Muslim, di antara perawi yang diperselisihkan, terdapat banyak hadits. Dengan demikian, dapat dibantah terhadap kalangan ahli hadits yang berpendapat bahwa perbedaan menunjukkan tidak adanya dhabth secara umum sehingga membahayakan meskipun para perawinya dipercaya, kecuali jika ada dalil bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh sang perawi yang diperselisihkan itu dari keduanya atau dengan kedua jalur itu. Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidaklah berbahaya, karena bagaimanapun, riwayat tersebut melalui perawi yang tsiqah.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, Fath al-Mughits, juz1 hal. 239).

Al-Imam al-Hafizh Ibnu Daqiqil-‘Id berkata dalam kitabnya al-Iqtirah fi Fann al-Ishthilah sebagai berikut:

الثامن عشر - المضطرب :
وهو أحد أسباب التعليل عندهم وموجبات الضعف للحديث .
والأمر فيه منقسم ، فإن كان أحد الوجوه مروياً من وجه ضعيف والآخر من وجه قوي ، فلا تعليل والعمل بالقويِّ متعيَّن .
وإن لم يكن كذلك ، فإن أمكن الجمع بين تلك الوجوه بحيثُ يمكن أن يكون المتكلم معبِّراً باللفظين الواردين عن معنى واحد ، فلا إشكال أيضاً ، مثل أن يكون في أحد الوجهين قد قال الراوي : عن رجل . وفي الوجه الآخر سُمِّي رجلاً ، فهذا يمكن أن يكون ذلك المُسمَّى ، هو ذلك المبهم ، فلا تعارض .
وإن لم يكن كذلك ، بأن يسمى مثلاً الراوي باسم معين في رواية ، ويسمى آخر باسم آخر في رواية أخرى . فهذا محل نظر إذ يتعارض فيه أمران :
أحدهما : أنه يجوز أن يكون عن الرجلين معاً .
الثاني : أن يغلب على الظن أنَّ الراوي واحد ، اختلف فيه .
فههنا لا يخلو إما أن يكون / الرجلان معاً ثقتين أو لا .
فإن كانا ثقتين ، فههنا مقتضى مذاهب الفقهاء والأصوليين أن لا يضر هذا الاختلاف ؛ لأنه إن كان الحديث عن هذا المعيَّن ، فهو عدل .
وإن كان عن الآخر ، فهو عدل ، فكيفما انقلبنا ، انقلبنا إلى عدل ، فلا يَضُرُّ هذا الاختلاف .

Silahkan Anda artikan sendiri.

Al-Imam al-Zarkasyi berkata dalam al-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah:

( قوله ) " المضطرب هو الذي يختلف الرواة فيه فيرويه بعضهم على وجه وبعضهم على وجه آخر مخالف " ينبغي أن يقال " على وجه يؤثر " ليخرج ما لو روي الحديث عن رجل مرة وعن آخر أخرى قال ابن حزم " فهذا قوة للحديث وزيادة في دلائل صحته كما إذا روى الأعمش الحديث عن سهيل بن أبي صالح عن أبيه عن أبي هريرة ويرويه [ غير ] الأعمش عن [ سهيل عن ] أبيه عن أبي سعيد إذ من الممكن أن يكون أبو صالح سمع الحديث من أبي هريرة وأبي سعيد معا فرواه مرة عن هذا ومرة عن هذا " انتهى

“Mudltharib adalah, hadits yang dipertentangkan oleh para perawi, sehingga sebagian perawi meriwayatkannya dari satu jalur, dan sebagian dari jalur lain yang bertentangan. Hendaknya, dikatakan, dari jalur lain yang berpengaruh, agar dapat mengecualikan seandainya suatu hadits, diriwayatkan dari seseorang dalam suatu saat, dari orang lain pada saat yang lain. Ibnu Hazm berkata, ini justru kekuatan bagi hadits dan menambah bukti-bukti keshahihannya. Sebagaimana misalnya apabila al-A’masy meriwayatkan hadits dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya dari Abu Hurairah. Lalu selain al-A’masy meriwayatkannya dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Sa’id. Karena ada kemungkinan Abu Shaleh, memang mendengar hadits tersebut dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id. Sehingga ia terkadang meriwayatkannya dari ini, dan terkadang dari ini.” (Al-Zarkasyi, an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah, juz 2 hal. 224).


WAHABI: “Selain itu, matan riwayat tersebut juga mengandung nakarah dengan adanya permintaan doa kepada selain Allah ta’ala ketika tertimpa musibah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)” [QS. An-Nam : 62].”

SUNNI: “Pada dasarnya, atsar di atas tidak mengandung nakarah. Yang mengandung nakarah justru otak Anda, karena taklid buta kepada Ibnu Taimiyah, yang melarang istighatsah dengan Nabi SAW atau wali yang sudah wafat. Sudah kami tegaskan, bahwa sebelum Ibnu Taimiyah tidak ada yang melarang istighatsah. Larangan istighatsah adalah murni kebohongan Ibnu Taimiyah. Kalau Anda tidak percaya, silahkan Anda buktikan, bahwa Ibnu Taimiyah tidak berbohong. Kami sudah berkali-kali membuktikan kebohongan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ayat al-Qur’an yang Anda kemukakan, tidak mengandung larangan istighatsah. Karena dalam ber-istighatsah, seorang Mukmin meyakini bahwa Allah SWT sebagai Tuhan dan mustaghats bih (yang dimintai tolong) secara haqiqi, sedangkan nabi atau wali yang dipanggil, hanya sebagai mustaghats bih secara majazi. Oleh karena itu, doa istighatsah telah berlangsung dan diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Di antara bukti bahwa istighatsah telah berlangsung sejak masa Rasulullah SAW adalah hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah SAW yang diajarkan agar berdoa dengan redaksi berikut ini:

(اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ).
“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan”.

Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW ini. Ia orang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya. Akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah ketika dia tidak berada di hadapan Nabi SAW (tidak di majlis Rasul SAW ) dan kembali ke majlis Rasul SAW dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang menjadi saksi mata atas peristiwa ini, mengajarkan petunjuk tersebut kepada orang lain pada masa Khalifah Utsman bin Affan RA, yang tengah mengajukan permohonan kepadanya. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta tersebut pada masa Rasul SAW. Setelah itu ia mendatangi Utsman bin Affan dan akhirnya ia disambut oleh beliau dan permohonannya dipenuhi. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ulama ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al-Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan menilainya hasan shahih, al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, Ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majah, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Shaghir dan al-Du’â’ dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah dan al-Da’awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits terkemudian (muta’akhkhirin), hadits di atas disebutkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari, al-Syaukani dan lain-lain.

Hadits ini adalah dalil dibolehkannya ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Nabi SAW pada saat Nabi SAW masih hidup, di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman bin Hunayf kepada tamu Sayidina Utsman, karena hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi SAW hidup, tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (16605), al-Tirmidzi (3502) dan menilainya hasan shahih, al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah (h. 417), Ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majah (I/441), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (IX/19) dan al-Du’â’ (II/1298) dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/313, 519) dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (VI/166) dan al-Da’awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits terkemudian (muta’akhkhirin), hadits di atas disebutkan dan dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari dan lain-lain.
Jika ada yang mengatakan bahwa makna:

(اَللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ).

adalah:

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ.

dengan dalil perkataan Nabi SAW di awal hadits:

إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ.

“Jika engkau mau, engkau bisa bersabar. Dan jika engkau mau, aku akan mendoakan kamu.”

dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi SAW ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang ber-tawassul dan ber-istighatsah adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan!

Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa dalam rangkaian hadits di atas, tidak disebutkan Nabi SAW benar-benar mendoakan orang buta itu. Yang disebutkan dalam riwayat itu adalah bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudhu’, Rasulullah SAW kembali mengajar para sahabat hingga orang buta itu datang lagi dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits di atas:

فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرٌّ قَطُّ.

“Lalu laki-laki buta itu melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW, dan demi Allah kita belum berpisah dan belum lama dalam majlis Rasulullah SAW, tiba-tiba laki-laki itu kembali datang ke majlis dan telah bisa melihat, seakan-akan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.

Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi SAW di awal hadits tersebut adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta itu, bukan mendoakannya secara langsung:

. . . وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.

“Apabila kamu mau, aku akan mengajarkan doa agar engkau berdoa dengannya”.

Jadi pemaknaan lafazh بنبينا dalam hadits di atas dengan بدعاء نبينا itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi ber-tawassul dengan redaksi nida’ (memanggil) sekalipun tidak di hadapan nabi atau wali adalah boleh berdasarkan hadits ini tanpa dilakukan penakwilan dan tanpa memperkirakan terjadinya kalimat yang dibuang.

Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi atau wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya tawassul dan istighatsah dengan para nabi atau wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jadi hadits ini membantah pendapat sebagian orang bahwa ber-tawassul hanya boleh dengan al-hayy al-hadhir (nabi atau wali yang masih hidup dan dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya. Dalam hal ini, Muhammad bin Ali al-Syaukani mengatakan:

وَفِي الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَعَ اعْتِقَادِ اَنَّ الْفَاعِلَ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَنَّهُ الْمُعْطِيْ الْمَانِعُ، مَا شَاءَ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ. (الإمام الشوكاني، تحفة الذاكرين، ص/180).

“Hadits ini menjadi dalil bolehnya ber-tawassul dengan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dengan keyakinan bahwa yang memberi dan menolak secara hakiki adalah Allah. Sesuatu yang dikehendaki Allah akan terjadi. Sesuatu yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi.” (Al-Syaukani, Tuhfat al-Dzakirin, hal. 180).

Dalam bagian lain (Tuhfat al-Dzakirin, hal. 72 dan al-Dur al-Nadhid, hal. 5) al-Syaukani juga mengatakan bahwa ber-tawassul kepada selain nabi seperti orang-orang saleh dan para wali, juga dibolehkan.

Al-Syaukani termasuk tokoh yang diakui oleh kelompok Wahhabi dan dianggap sebagai salah satu pelopor gerakan ijtihad dan anti madzhab. Mereka mengatakan bahwa al-Syaukani sejajar dengan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sebagaimana mereka sebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Muyassarah (juz I, hal. 139-143) yang diterbitkan oleh organisasi al-Nadwah al-‘Alamiyyah li al-Syabab al-Islami di Riyadh Saudi Arabia.

WAHABI: “Anda dalam menjelaskan dalil-dalil istighatsah, mengambil hadits dan atsar dari mana-mana. Itu bukti bahwa Anda sangat membela istighatsah.”

SUNNI: “Alhamdulillah, kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam menetapkan hukum-hukum syar’i, termasuk kebolehan istighatsah mengambil dalil-dalil dari berbagai kitab, dan semuanya bukan kitab sampah. Akan tetapi kitab-kitab yang memang diakui oleh para ulama ahli hadits. Hal ini berbeda dengan Anda, yang melarang dan mengkafirkan istighatsah, hanya mengambil dari informasi bohong si narapidana, Ibnu Taimiyah. Silahkan Anda buktikan, bahwa sebelum Ibnu Taimiyah ada ulama salaf yang melarang istighatsah. Kalau perlu, Anda cari dalam kitab-kitab sampah sebelum Ibnu Taimiyah, kalau memang ulama yang melarang istighatsah. Pasti tidak akan Anda dapatkan. Bukti bahwa ajaran anti istighatsah, adalah ajaran tidak benar, sesat dan menyesatkan.”

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli



Read more ...
Designed By